*AZYUMARDI AZRA,
Guru Besar Sejarah, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
DATA BUKU:
Judul: Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW Dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih
Penulis: M. Quraish Shihab
Penerbit: Lentera Hati, Jakarta.
Cetakan: I, Juni 2011
Tebal: xiii + 1166 halaman
ISBN: 978-979-9048-87-5
Sosok Nabi Muhammad SAW, tidak diragukan lagi, merupakan salah satu di antara sedikit orang—dalam kesimpulan Michael Hart (1978)—yang sangat memengaruhi perjalanan sejarah. Bukan hanya dalam bidang keagamaan, melainkan juga hampir di seluruh aspek kehidupan. Hart bahkan menempatkan Rasulullah pada urutan pertama dari 100 figur yang paling berpengaruh. Karena itu, sosoknya menjadi obyek penelitian dan penulisan yang tidak pernah habis-habisnya.
Buku karya Profesor M. Quraish Shihab ini merupakan riwayat Rasulullah paling mutakhir dalam bahasa Indonesia. Buku orisinal ini bukan terjemahan seperti umumnya, melainkan merupakan karya luar biasa dan amat substantif. Sebab, karya komprehensif ini memaparkan sekaligus menganalisis secara kritis berbagai karya lain tentang riwayat Nabi Muhammad SAW.
Historisitas dan Mitologi
Karya ini memiliki distingsi yang sekaligus merupakan kekuatan pokok, yaitu penekanan yang kuat pada historisitas Nabi Muhammad SAW dengan mendasarkan diri pada sumber-sumber historis yang keabsahannya tidak diragukan lagi. Selain Al-Quran yang tidak tergoyahkan historisitasnya—walau ada kalangan orientalis klasik mempersoalkan—penulis juga mendasarkan periwayatannya pada hadis-hadis (hadits-hadits) sahih.
Mengapa hadis-hadis sahih? Lagi-lagi, kalangan orientalis, seperti Ignaz Goldziher (1850-1921, Introduction to Islamic Theology and Law, 1981) dan Joseph Schacht (1902-1969, Origins of Muhammadan Jurisprudence, 1950) bahkan menolak eksistensi hadis sebagai bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Menurut mereka, hadis-hadis itu baru ada setelah abad pertama dan kedua Hijriah. Namun, MM Azami (Studies in Hadith Methodology and Literature, 1978) dan Fazlur Rahman (1911-88, Islamic Methodology in History, 1965) dengan meyakinkan membuktikan kekeliruan Schacht dan Goldziher tersebut. Rahman berargumen, sangat absurd jika Muhammad, sebagai figur historis yang amat penting, tidak menyatakan dan berbuat sesuatu yang menjadi bagian penting dari memori kolektif para sahabatnya, yang kemudian dicatat dan menjadi hadis.
Namun, harus diakui juga tidak semua hadis dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Para muhadditsun (ahli hadis)—yang sejak masa paling awal memeriksa, menguji, dan menapis hadis—menemukan tidak hanya hadis-hadis dha’if (lemah), tetapi juga palsu. Yang terakhir ini tidak hanya menyangkut soal keagamaan, tetapi juga politik. Sudah menjadi pengetahuan para muhadditsun dan muarrikhun (sejarawan), bahwa terdapat “hadis-hadis” politik dan keagamaan untuk mendukung kepentingan “sektarian” dan partisan sejak masa pertikaian. Bahkan, termasuk pula “al-fitnah al-kubra” antara pihak Ali ibn Abi Talib dengan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan.
Sejauh menyangkut sirah Nabi Muhammad SAW, terdapat hadis-hadis” Israiliyat, yang banyak bersumber dari riwayat Biblikal yang laten dalam memori kolektif bangsa Semitik—lingkungan sosio-kultural, di mana Islam pertama kali disampaikan Nabi Muhammad SAW. Karena itulah, mitologi Biblikal (Israiliyat) akhirnya sedikit banyak masuk ke dalam biografi Rasulullah melalui para penulis sirah yang tidak kritis. Bahkan, tidak juga melakukan pengujian terhadap “hadis-hadis” dhaif yang sebenarnya merupakan biblical account atau periwayatan biblikal alias Israiliyat.
Sebab itulah, sebagian penulis biografi Nabi Muhammad, khususnya Husayn Haykal (1933), menolak menggunakan sumber-sumber hadis yang mengandung “mitologi”, termasuk yang berkaitan dengan mukjizat Rasulullah. Hasilnya, sosok Rasulullah dalam biografi karya Haykal tampil lebih banyak sebagai “manusia biasa”, tidak sebagai seorang Nabi yang memang memiliki berbagai kelebihan dan keistimewaan. Dengan cara itu, Haykal telah mereduksi sosok Muhammad SAW.
Sebaliknya, Profesor Quraish Shihab terlihat mengambil “jalan tengah” di antara kedua kecenderungan itu, yakni kecenderungan “mitologis” dan kecenderungan “reduksionis”. Ia menekankan pentingnya hadis, dalam hal ini hadis shahih yang umumnya mutawatir sebagai sumber kedua setelah Al Quran. Hasilnya, Profesor Quraish Shihab menampilkan sosok Muhammad bukan hanya sebagai manusia biasa, melainkan sekaligus juga figur Nabi/Rasul yang memiliki kelebihan, keunggulan, dan keistimewaan yang tidak tertandingi. Dengan begitu, Quraish Shihab mampu tetap berada dalam ranah historisitas karena mendasarkan periwayatannya pada sumber-sumber otentik, yakni Al Quran dan hadi sahih.
Klasik dan Kontemporer
Lebih jauh, karya Quraish Shihab ini memiliki keunggulan yang jarang ditemui dalam sirah dan biografi Nabi Muhammad SAW lainnya. Boleh jadi, orang yang mendengar istilah sirah bakal berpikir, riwayat Nabi ini merupakan classical account (riwayat klasik) tentang Rasulullah, yang berpusat hanya pada peristiwa-peristiwa seputar kehidupannya.
Anggapan seperti ini keliru, karena sirah karya Quraish Shihab ini menggabungkan periwayatan klasik dengan hujjah, argumen, wacana akademis, dan bukti kontemporer tentang hal atau kejadian tertentu menyangkut Rasulullah. Hal ini terlihat dengan kelincahan Quraish Shihab mengutip dan mendiskusikan argumen pakar lain, mulai dari yang non-Muslim, seperti James Houston Baxter, Boswors Smith sampai pemikir dan aktivis muslim modern, seperti Abu al-Hasan al-Nadwi, Sayyid Quthb, dan Mutawalli al-Sya’rawi.
Penggabungan nuansa “klasik” dan “kontemporer” itu juga tecermin dalam alur penulisan yang dianut Quraish Shihab. Seperti lazimnya dibicarakan dan diadopsi dalam penulisan karya-karya sejarah. Secara sederhana, terdapat dua kecenderungan penulisan sejarah: pendekatan tematik dan annalistik (dari tahun ke tahun).
Dalam konteks itu terlihat sirah ini terbagi ke dalam dua bagian besar. Pertama, bersifat tematik; mulai dari “kondisi umum masyarakat menjelang kelahiran Muhammad SAW” sampai “prosesi hijrah”. Kedua, bersifat annalistik; dalam periode Madinah sampai wafatnya Rasulullah. Periwayatan annalistik ini mengingatkan orang tidak hanya kepada Al-Tabari yang menulis karya terkenalnya Tarikh al-Umam wa al-Muluk, tetapi juga kepada “Mazhab Annales” Perancis di masa kontemporer. Wallahu a’lam bis-sawab. (Keterangan pelengkap diambil dari website Lentera Hati)
Karya ini memiliki distingsi yang sekaligus merupakan kekuatan pokok, yaitu penekanan yang kuat pada historisitas Nabi Muhammad SAW dengan mendasarkan diri pada sumber-sumber historis yang keabsahannya tidak diragukan lagi. Selain Al-Quran yang tidak tergoyahkan historisitasnya—walau ada kalangan orientalis klasik mempersoalkan—penulis juga mendasarkan periwayatannya pada hadis-hadis (hadits-hadits) sahih.
Mengapa hadis-hadis sahih? Lagi-lagi, kalangan orientalis, seperti Ignaz Goldziher (1850-1921, Introduction to Islamic Theology and Law, 1981) dan Joseph Schacht (1902-1969, Origins of Muhammadan Jurisprudence, 1950) bahkan menolak eksistensi hadis sebagai bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Menurut mereka, hadis-hadis itu baru ada setelah abad pertama dan kedua Hijriah. Namun, MM Azami (Studies in Hadith Methodology and Literature, 1978) dan Fazlur Rahman (1911-88, Islamic Methodology in History, 1965) dengan meyakinkan membuktikan kekeliruan Schacht dan Goldziher tersebut. Rahman berargumen, sangat absurd jika Muhammad, sebagai figur historis yang amat penting, tidak menyatakan dan berbuat sesuatu yang menjadi bagian penting dari memori kolektif para sahabatnya, yang kemudian dicatat dan menjadi hadis.
Namun, harus diakui juga tidak semua hadis dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Para muhadditsun (ahli hadis)—yang sejak masa paling awal memeriksa, menguji, dan menapis hadis—menemukan tidak hanya hadis-hadis dha’if (lemah), tetapi juga palsu. Yang terakhir ini tidak hanya menyangkut soal keagamaan, tetapi juga politik. Sudah menjadi pengetahuan para muhadditsun dan muarrikhun (sejarawan), bahwa terdapat “hadis-hadis” politik dan keagamaan untuk mendukung kepentingan “sektarian” dan partisan sejak masa pertikaian. Bahkan, termasuk pula “al-fitnah al-kubra” antara pihak Ali ibn Abi Talib dengan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan.
Sejauh menyangkut sirah Nabi Muhammad SAW, terdapat hadis-hadis” Israiliyat, yang banyak bersumber dari riwayat Biblikal yang laten dalam memori kolektif bangsa Semitik—lingkungan sosio-kultural, di mana Islam pertama kali disampaikan Nabi Muhammad SAW. Karena itulah, mitologi Biblikal (Israiliyat) akhirnya sedikit banyak masuk ke dalam biografi Rasulullah melalui para penulis sirah yang tidak kritis. Bahkan, tidak juga melakukan pengujian terhadap “hadis-hadis” dhaif yang sebenarnya merupakan biblical account atau periwayatan biblikal alias Israiliyat.
Sebab itulah, sebagian penulis biografi Nabi Muhammad, khususnya Husayn Haykal (1933), menolak menggunakan sumber-sumber hadis yang mengandung “mitologi”, termasuk yang berkaitan dengan mukjizat Rasulullah. Hasilnya, sosok Rasulullah dalam biografi karya Haykal tampil lebih banyak sebagai “manusia biasa”, tidak sebagai seorang Nabi yang memang memiliki berbagai kelebihan dan keistimewaan. Dengan cara itu, Haykal telah mereduksi sosok Muhammad SAW.
Sebaliknya, Profesor Quraish Shihab terlihat mengambil “jalan tengah” di antara kedua kecenderungan itu, yakni kecenderungan “mitologis” dan kecenderungan “reduksionis”. Ia menekankan pentingnya hadis, dalam hal ini hadis shahih yang umumnya mutawatir sebagai sumber kedua setelah Al Quran. Hasilnya, Profesor Quraish Shihab menampilkan sosok Muhammad bukan hanya sebagai manusia biasa, melainkan sekaligus juga figur Nabi/Rasul yang memiliki kelebihan, keunggulan, dan keistimewaan yang tidak tertandingi. Dengan begitu, Quraish Shihab mampu tetap berada dalam ranah historisitas karena mendasarkan periwayatannya pada sumber-sumber otentik, yakni Al Quran dan hadi sahih.
Klasik dan Kontemporer
Lebih jauh, karya Quraish Shihab ini memiliki keunggulan yang jarang ditemui dalam sirah dan biografi Nabi Muhammad SAW lainnya. Boleh jadi, orang yang mendengar istilah sirah bakal berpikir, riwayat Nabi ini merupakan classical account (riwayat klasik) tentang Rasulullah, yang berpusat hanya pada peristiwa-peristiwa seputar kehidupannya.
Anggapan seperti ini keliru, karena sirah karya Quraish Shihab ini menggabungkan periwayatan klasik dengan hujjah, argumen, wacana akademis, dan bukti kontemporer tentang hal atau kejadian tertentu menyangkut Rasulullah. Hal ini terlihat dengan kelincahan Quraish Shihab mengutip dan mendiskusikan argumen pakar lain, mulai dari yang non-Muslim, seperti James Houston Baxter, Boswors Smith sampai pemikir dan aktivis muslim modern, seperti Abu al-Hasan al-Nadwi, Sayyid Quthb, dan Mutawalli al-Sya’rawi.
Penggabungan nuansa “klasik” dan “kontemporer” itu juga tecermin dalam alur penulisan yang dianut Quraish Shihab. Seperti lazimnya dibicarakan dan diadopsi dalam penulisan karya-karya sejarah. Secara sederhana, terdapat dua kecenderungan penulisan sejarah: pendekatan tematik dan annalistik (dari tahun ke tahun).
Dalam konteks itu terlihat sirah ini terbagi ke dalam dua bagian besar. Pertama, bersifat tematik; mulai dari “kondisi umum masyarakat menjelang kelahiran Muhammad SAW” sampai “prosesi hijrah”. Kedua, bersifat annalistik; dalam periode Madinah sampai wafatnya Rasulullah. Periwayatan annalistik ini mengingatkan orang tidak hanya kepada Al-Tabari yang menulis karya terkenalnya Tarikh al-Umam wa al-Muluk, tetapi juga kepada “Mazhab Annales” Perancis di masa kontemporer. Wallahu a’lam bis-sawab. (Keterangan pelengkap diambil dari website Lentera Hati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar