KH. Jalaluddin Rakhmat
Pada suatu saat, Rasulullah saw berwudhu. Segera sesudah itu, para sahabat sibuk memperebutkan bekas air wudhu Nabi yang mulia. Ketika menceritakan hal ini, Imam Bukhari sampai menulis: “Para sahabat bahkan hampir berkelahi untuk memperoleh bekas air wudhu Rasulullah itu.” (lihat Shahîh Bukhâri 1: 59105 dan Fathul Bâri 1: 256-408)
Dalam fikih, sebagaimana kita ketahui, air bekas dipakai atau air musta’mal tidak boleh dipakai lagi untuk berwudhu kecuali, menurut Imam Syafii, air bekas wudhu Rasulullah saw. Meskipun merupakan air musta’mal, air itu tetap bisa dipakai berwudhu.
Mengapa para sahabat berebut untuk memperoleh bekas wudhu Rasulullah saw –sampai sahabat lain yang tidak kebagian pun menggesekkan tangannya kepada tangan orang lain yang mendapat air wudhu bekas Rasulullah saw? Karena mereka percaya bahwa bekas sentuhan tangan Rasulullah saw yang suci itu mampu mendatangkan berkah.
Al-Quran menyatakan di mana pun Rasulullah berada, beliau akan selalu mendatangkan berkah untuk sekitarnya. Dalam surat Al-Isra ayat 1, Allah swt berfirman: Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya….
Rasulullah mendatangkan berkah tidak hanya untuk para sahabatnya, tetapi juga untuk seluruh alam semesta. Dalam Al-Quran, Allah swt berfirman: Dan tiadalah kami mengutusmu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya: 107) Berkah adalah termasuk kepada ‘rahmat’ yang disebutkan dalam ayat tersebut. Riwayat lain dalam Shahih Bukhari menyebutkan: Suatu hari, Rasulullah saw memanggil dua orang sahabatnya; ‘Amr bin ‘Ash dan Bilal bin Rabah. Saat itu Rasulullah sedang berwudhu. Kemudian Rasulullah memercikkan ludahnya pada air bekas wudhu. Beliau menyuruh dua orang sahabat tersebut untuk meminum air itu. “Ada berkah pada air itu,” ucap Rasulullah saw. Kedua orang itu amat percaya akan berkah dalam air wudhu itu sehingga mereka langsung meminumnya.
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa cawan yang pernah memperoleh tetesan keringat Rasulullah saw itu sering dipinjam oleh banyak sahabat yang lain. Jika ada orang yang sakit, cawan itu dipinjam untuk diisi dengan air. Orang yang sakit itu lalu meminumnya. Ia sembuh karena berkah air yang dimasukkan ke dalam cawan tempat Rasulullah saw pernah meneteskan keringatnya.
Anda boleh tidak percaya. Tetapi saya amat meyakininya karena peristiwa itu terdapat dalam kitab-kitab hadis yang sahih. Air tersebut mengandung berkah. Air yang biasanya hanya untuk menghapuskan haus juga dapat digunakan untuk mengobati penyakit. Berkah adalah tambahan yang terdapat dalam sesuatu. Jika suatu makanan hanya mengenyangkan saja, makanan itu hanyalah makanan biasa. Tetapi jika makanan itu menjadi obat dan bermanfaat, bukan saja untuk diri kita tetapi juga untuk orang lain, makanan itu menjadi makanan yang mengandung berkah. Oleh karena itulah, sebelum makan, kita dianjurkan berdoa, “Allâhumma bârik lanâ fî mâ razaqtanâ, Ya Allah, berkahilah apa yang telah Engkau rizkikan kepada kami….” Rezeki yang mendatangkan berkah adalah rezeki yang walaupun sedikit, mendatangkan manfaat yang besar.
Begitu pula dengan hidup. Hidup yang penuh berkah tidak dihitung berdasarkan panjang pendeknya usia, melainkan berdasarkan manfaat yang diberikannya. Tentu saja yang paling ideal adalah hidup yang panjang usianya dan panjang pula amalnya. Menurut Rasulullah saw seperti itulah manusia yang paling baik. Namun bila ada orang yang berusia pendek tapi hidupnya mendatangkan manfaat untuk orang sekitarnya, hidupnya adalah hidup yang penuh berkah.
Tempat pun ada yang dapat mendatangkan berkah. Bila dahulu orang mengambil berkah dari orang yang menebarkannya; yaitu Rasulullah saw, maka kita sekarang mencari berkah dari tempat yang memancarkannya; misalnya Masjidil Haram. Majelis-majelis pengajian dan tempat-tempat yang pernah dikunjungi orang salih juga adalah tempat-tempat yang mampu mendatangkan berkah.
Ketika Rasulullah saw hijrah ke Madinah, ada seorang ibu yang datang sambil membawa anak kecil. “Ya Rasulallah,” pinta ibu itu, “ini anakku. Izinkan dia untuk berkhidmat kepadamu dengan menjadi khadammu.” Anak itu bernama Anas bin Malik. Suatu hari, Anas mengundang Rasulullah saw untuk makan di rumahnya. Rasulullah saw bertanya, “Di mana tempat salatmu? Tunjukkanlah kepadaku.” Rasulullah lalu salat di tempat itu. Setelah salat, beliau mencelupkan tangannya yang mulia ke sebuah bejana dan memercikkannya ke sudut rumah tempat ia salat.
Setelah Rasulullah saw meninggal dunia, rumah Anas banyak dikunjungi para sahabat dan tabi’in yang tak sempat berjumpa dengan Rasulullah. Mereka ingin salat di tempat Rasulullah saw pernah salat. Tempat itu dipandang sebagai tempat yang mendatangkan berkah. Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Imam Al-Nawawi menganggap riwayat ini sebagai dalil tentang bolehnya mengambil berkah dari orang yang saleh.
Jika kita mengharapkan rumah kita mengandung berkah, undanglah orang-orang salih yang berakhlak baik, ahli ibadah, dan alim. Mintalah mereka untuk salat di tempat itu seperti Rasulullah saw salat di tempat Anas bin Malik.
Berkah, menurut Islam, adalah sesuatu yang menyebar. Jika orang saleh datang di suatu tempat, keberkahan itu menyebar ke tempat-tempat di sekelilingnya. Rasulullah saw memerintahkan kita untuk makan bersama orang-orang salih. Insya Allah, makanan yang kita makan itu adalah makanan yang penuh berkah.
manteb gan.....
BalasHapus