Cari Blog Ini

Jumat, 08 Februari 2013

Pendidikan Islam Dan Peradaban Modern

Pembicaraan mengenai pendidikan dan peradaban sangat erat kaitannya. Peradaban haruslah dipahami sebagai keadaan kebudayaan. Secara sederhana, peradaban dapat diartikan sebagai keadaan kebudayaan dari suatu kelompok sosial yang menggambarkan tingkat dalam pencapaian tertentu dalam bidang-bidang kesenian, industri, ilmu pengetahuan, pemerintahan, moral dan wawasan pemikiran. Suatu tingkat pencapaian kebudayaan, tidak bisa tidak, pasti memerlukan suatu usaha, sarana atau sebuah proses. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa usaha atau ikhtiar, sarana dan proses tersebut adalah belajar. Edward T. Hall menegaskan bahwa Culture is learned behavior (Edward T. Hill, 1973: 38) Karena kebudayaan dipahami sebagai suatu yang dipelajari dan proses kuncinya adalah belajar, kemudian meneruskan apa yang dipelajari dan mengubahnya, maka dengan sendirinya hal tersebut melahirkan makna tentang adanya unsur pendidikan. Kemungkinan ini, karena pendidikan biasanya diartikan sebagai seperangkat proses penyebab belajar, yang tugasnya di masyarakat mencakup empat hal, yaitu : (1) meneruskan kebudayaan, (2) membantu individu memilih peranan sosial dan mengajari untuk melakukan peranan itu, (3) mengintegrasikan identitas individu dan subkultur ke dalam lingkup kebudayaan yang lebih luas, (4) menjadi sumber inovasi sosial dan kebudayaan.( Abdullah Fadjar , 1991: 3). Jika diteliti lebih jauh ternyata potensi-potensi dasar manusia dan budaya saling berinteraksi satu sama lain. Manusia mempunyai potensi dasar sebagai potensi yang melengkapi manusia untuk tegaknya peradaban dan kebudayaan Islam.Namun hal tersebut tidak dapat terjadi tanpa adanya proses pendidikan. Dengan demikian, Drikarya mengemukakan beberapa tugas pendidikan sebagai berikut : a. Membantu anak didik pada tarap humanisasi, yaitu menunjukkan anak didik pada perkembangan yang lebih tinggi melalui kebudayaan. b.Membantu anak didik pada tarap hominisasi, yaitu menjadikan manusia dari tarap potensial ke tarap maksimal yang dapat memberi arti hidup sebanyak-banyaknya. c. Pemanusiaan manusia ke tarap manusia paripurna. d. Pembudayaan manusia ke tarap berdikari. e. Internalisasi nilai-nilai yang disepakati (Abu Ahmadi, Nur Uhbiaty, 1991;70) Berdasarkan pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa tugas pendidikan adalah mempertinggi kecerdasan dan kemampuan dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi beserta manfaat dan aplikasinya, dan dapat meningkatkan kualitas hidup dengan memelihara, mengembangkan serta meningkatkan budaya dan lingkungan serta memperluas pandangan hidup sebagai manusia yang komunikatif terhadap keluarga, masyarakat, bangsa dan sesama manusia. Dengan demikian, keterjalinan hubungan fungsional antara pendidikan dan peradaban atau kebudayaan menunjuk pada dua arah pokok. Pertama, bersifat reflektif, dan Kedua, bersifat progressif. Arah yang bersifat reflektif artinya bahwa pendidikan menggambarkan corak dan arus kebudayaan yang sedang berlangsung. Ini sejalan dengan tugas pendidikan untuk meneruskan dan mentransmikan kebudayaan. Bersifat progressif dimaksudkan bahwa pendidikan memperbaharui dan mengembangkan kebudayaan agar kemajuan dapat tercapai. Ini sejalan dengan tugas pendidikan untuk mengubah atau mentransformasikan kebudayaan. Hampir menjadi semacam kesepakatan umum, bahwa peradaban masa depan adalah peradaban yang dalam banyak hal didominasi oleh ilmu pengetahuan (khususnya sains), yang pada tingkat praksis dan penerapan menjadi teknologi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa maju atau mundurnya suatu masyarakat di masa kini dan masa yang akan datang sangat bergantung pada tingkat penguasaan ilmu dan kemajuan sains khususnya. Oleh karena itu, tugas pendidikan Islam selanjutnya adalah mewariskan nilai-nilai budaya Islami dalam berbagai aspek kehidupan, karena kebudayaan Islam akan mati bila nilai-nilai dan norma-norma Islam tidak berfungsi dan belum diwariskan kepada generasi muslim berikutnya. Kenyataan menunjukkan bahwa keberadaan paradaban dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari lahirnya Islam itu sendiri. Islam lahir dengan membawa sejuta peradaban dan kebudayaan masyarakat, yang kalau diukur jarak waktu yang dipakai dalam tonggak-tonggak sejarah, Islam telah berhasil mencapainya hanya dalam tempo yang sekejap saja. Keberhasilan ini dapat diperoleh karena Islam memiliki kemampuan untuk memelihara prinsip dan identitasnya, dan pada saat yang sama, keberhasilan ini membuka kesempatan untuk menampilkan berbagai corak masyarakat yang masing-masing berdiri di atas prinsip dan identitas itu. Sejarah telah mencatat bahwa perkembangan budaya dan peradaban Islam telah mencapai kejayaannya pada masa khalifah Abbasiah di dunia Islam Timur yang berpusat di Bagdad, dan masa kekhalifahan Amawiyah di dunia Islam Barat dengan pusatnya di Cordova (Andalusia). Pada masa kejayaannya ini, kebudayaan dan peradaban Islam telah berkembang menjadi kebudayaan dan peradaban yang sangat tinggi, yang merupakan puncak budaya dan peradaban umat manusia pada masa itu. Hal ini bukan saja mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi kaum muslimin, tetapi juga membawa kemakmuran dan kesejhteraan hidup umat manusia pada umumnya. Namun puncak peradaban dan kebudayaan yang telah dicapai oleh umat Islam tidak dapat bertahan lama, bahkan kenyataan tersebut nampaknya telah menjadi hukum sejarah, bahwa kebudayaan suatu bangsa mengalami proses tumbuh dan berkembang secara dinamis menuju puncak kejayaannya, setelah itu mengalami proses kemandegan dan kemunduran. Demikian yang dialami oleh umat Islam, bahkan kenyataan tersebut telah berbalik menjadi kepahitan yang dirasakan oleh seluruh umat Islam. M. Syarif melukiskan beberapa penyebab terjadinya kemandegan dan kemunduran kebudayan dan peradaban Islam tersebut, sebagai berikut : a. Telah berkelebihan filsafat Islam yang bercorak sufistik yang dibawa oleh al-Gazali di dunia Islam Timur, dan filsafat Islam Ibn Rusd yang bercorak rasionalistik di dunia Islam Barat. b. Al-Gazali telah berhasil dan sukses di dunia Timur hingga gagasan-gagasannya merupakan suatu aliran terpenting. c. Ibn Rusyd berhasil pula di dunia Islam Barat hingga pikiran-pikirannya menjadi terpenting pula di alam pikiran Barat (M. Syarif: 1970: 141) Di samping ketiga hal ini, umat Islam, terutama kalangan pemerintah (Khalifah, Sultan, Amir-Amir) melalaikan ilmu pengetahuan dan kebudayaan dan tidak memberi kesempatan untuk berkembang. Kalau pada mulanya para pemegang pemerintahan sangat memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dengan memberikan penghargaan yang tinggi kepada para ilmuan, maka pada masa melemahnya kehidupan dan budaya umat Islam ini para ilmuan umumnya terlibat dalam urusan pemerintahan sehingga melupakan pengembangan ilmu pengetahuan. Terjadi pemberontakan-pemberontakan yang dibarengi dengan serangan dari luar, sehingga menimbulkan kehancuran-kehancuran yang mengakibatkan terhentinya kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di dunia Islam. Sementara itu obor pemikiran Islam berpindah ke tangan kaum Nasrani. Fazlur Rahman menjelaskan tentang gejala-gejala kemunduran intlektualisme Islam sebagai berikut : “Penutupan pintu ijtihad selama abad ke 10 dan 11 Merupakan telah membawa kepada kemacetan ilmu hukum dan ilmu intelektual, khususnya yang pertama. Ilmu-ilmu intelektual yakni teologi dan pemikiran keagamaan sangat mengalami kemunduran dan menjadi miskin karena pengucilan mereka yang disengaja dari intektualisme sekuler dan karena dan karena kemunduran yang disebut terakhir ini, khususnya filsafat dan juga pengucilannya dari bentuk-bentu pemikiran keagamaan seperti yang dibawa oleh sufisme”( Fazlur Rahman,, 1984: 270).

Demikian beberapa penyebab kemandegan budaya dan peradaban yang dialami umat Islam, dan pada saat yang sama, kebudayaan dan peradaban Islam digantikan dengan peradaban bangsa-bangsa Eropa yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang dinamis menuju sistem budaya dan peradaban modern. Kebangkitan Barat modern tersebut semakin memperlemah sistem budaya dan peradaban Islam, karena secara berangsur-angsur kekuatan Barat memasuki dan menjajah dunia Islam. Melalui penjajahan itu, dunia barat mendapatkan kekayaan yang melimpah yang memungkinkan semakin memperkuat dan memperbesar keunggulan mereka terhadap budaya dan peradaban Islam, dan dengan kekayaannya pula mereka berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang merupakan sumber kekuatan dan keunggulan sistem budaya dan peradaban modern Barat. Padahal sesungguhnya peradaban Islam dalam beberapa abad mampu mengungguli peradaban yang ada di Eropa ketika itu, dan Bahkan prestasi yang dicapai sangat mempengaruhi Eropa abad pertengahan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Watt bahwa: “… telah jelas bahwa pengaruh Islam terhadap Kristen barat lebih besar daripada yang umum disadari. Islam tidak sekedar telah memberikan kepada Eropa Barat berbagai produk material dan penemuan teknologi; Tidak sekedar mendorong Eropa secara intelektual dalam bidang ilmu pengetahuan dan falsafah, tetapi mendorong Eropa untuk membentuk pandangan mereka tentang eksistensinya sendiri. Jadi sekarang ini, tugas penting bangsa Eropa barat ketika memasuki wilayah dunia yang satu adalah memperbaiki penekanan yang salah ini dan secara utuh mengakui hutang kita kepada dunia Arab dan Islam”.(Asyumardi Azra: 70) Segala prestasi yang disumbangkan umat Islam kepada dunia Barat menjadi mungkin dikarenakan Islam menempati posisi yang lebih di atas dalam segala hal dibandingkan dengan apa yang dicapai Barat ketika itu. Berdasar pada kenyataan tersebut, maka persoalan yang dihadapi dewasa ini adalah bahwa peradaban manusia berada di bawah hegemoni Barat (Mochtar Pabbottingi:1986: 1). Hal ini menjadi tantangan peradaban Islam masa kini dan mendatang. Dalam lintas sejarah, dapat dilihat bahwa pada abad ke-17 M. menjadi saksi awal era baru dalam sejarah Barat yang kemudian dikenal dengan istilah renaissance. Setelah beberapa abad dilanda kemunduran filsafat dan stagnasi pemikiran. Dan sampai saat sekarang ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi masih didominasi oleh Barat, sehingga merambah ke dalam dunia Islam. Hal ini tentunya akan berpengaruh pada beberapa aspek dalam Islam termasuk pendidikan itu sendiri. Namun, eksploitasi dan intervensi Barat, lama kelamaan menggugah, menginsafkan dan menyadarkan umat Islam atas keterbelakangan mereka, sehingga muncul suatu usaha untuk melawan dan membebaskan diri dari kekuasaan Barat. A.M. Saefuddin mengatakan bahwa pendidikan Barat menimbulkan berbagai konflik yang mengakibatkan menghilangnya filsafat dan teori-teori tentang kebenaran konsep pendidikan itu sendiri.( A.M. Saefuddin: 1991: 128). Dengan demikian, umat Islam harus senantiasa melakukan pembaharuan dalam berbagai aspek, termasuk bidang pendidikan. Pola-pola pembaharuan pendidikan Islam yang ditawarkan harus berorientasi pada tiga aspek : a. Pendidikan Islam harus berorientasi pada pola pendidikan modern di Eropa. b. Pendidikan Islam harus berorientasi dan bertujuan untuk pemurnian kembali a jaran Islam. d. Pendidikan Islam harus berorientasi pada kekayaan dan sumber budaya bangsa masing-masing (Suhairini, 1992: 113)
Read More....

Rabu, 02 Januari 2013

“Al-Lubâb: Tafsir Ringkas tentang Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari al-Qur’an” — M. Quraish Shihab

AL-LUBÂB bisa diartikan sebagai substansi (jika dikaitkan dengan wujud) atau isi dan saripati (jika dikaitkan dengan buah). Di samping merangkum pengertian “pilihan terbaik dari segala sesuatu”, kata ini juga digunakan untuk melukiskan akal yang cerdas, pikiran yang jernih, serta hati yang tenang. Buku ini berjudul ­AL-LUBÂB karena menyajikan bentuk penafsiran yang ringkas dan padat.
Dalam khazanah tafsir, gaya penyajian semacam ini dikenal dengan metode ijmali, di mana ayat-ayat al-Qur’an tidak dibahas secara terperinci, melainkan hanya makna-makna umumnya. Buku ini memperkenalkan secara singkat surah-surah al-Qur’an, baik yang berkaitan dengan intisari kandungan ayat-ayatnya, tujuan kehadiran surah tersebut, maupun pelajaran atau pesan singkat yang dikandungnya. Dengan mengetahui intisari kandungan ayat, dapat dikenal kandungan surah. Dengan menghayati tujuan surah, terbuka kemungkinan mengayunkan langkah menuju tujuan itu. Dan dengan memerhatikan pelajaran dan pesan-pesan singkat yang terhidang, tekad untuk melaksanakannya semoga semakin kukuh sehingga tercapai tingkat Ulul Albâb. Buku ini bukan saja cocok bagi kalangan remaja dan mereka yang sibuk, tetapi juga sangat bermanfaat bagi siapa saja yang ingin menangkap keutuhan pesan al-Qur’an dalam waktu singkat. (Keterangan pelengkap diambil dari website lentera hati)
Read More....

Apakah Rasulullah Saw bermuka masam ketika melihat seorang fakir di antara para orang kaya?

Empat ayat pendahuluan surah ‘Abasa secara umum merupakan penjelas bahwa Allah Swt tengah menegur dan menyalahkan seseorang pada ayat-ayat ini; berdasarkan kronologi ayat ini, di sini orang atau orang-orang kaya dan hartawan lebih memiliki prioritas atas seorang buta yang mencari kebenaran, namun siapakah orang yang tengah dicela dan ditegur pada ayat ini? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli tafsir. Yang popular di kalangan ahli tafsir (mufassir) Ahlusunnah dan Syiah adalah bahwa sebagian pemuka Quraisy seperti Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal, Abbas bin Abdul Muthhalib dan sekelompok orang lainnya datang kepada Rasulullah Saw. Ketika itu, Rasulullah Saw tengah sibuk bertabligh dan menyeru mereka kepada Islam serta berharap semoga seruan-seruan ini tertanam dan membekas pada hati-hati mereka. Saat itulah, Abdullah bin Ummi Maktum yang merupakan seorang buta (tuna netra) dan fakir memasuki majelis Rasulullah Saw. Ia meminta supaya Rasulullah Saw membacakan dan mengajarkan ayat-ayat al-Quran kepadanya. Abdullah bin Ummi Maktum berkukuh mengulang permintaannya dan tidak bersikap tenang; karena ia tidak mengetahui bahwa dengan siapa gerangan Rasulullah Saw berbicara. Sedemikian Abdullah bin Ummi Maktum memotong pembicaraan Rasulullah Saw sehingga membuat beliau kecewa kepadanya dan kekecewaan ini terlihat pada raut wajah Rasulullah Saw. Beliau kemudian membelakangi Abdullah bin Ummi Maktum dan melanjutkan pembicaraannya dengan para pemuka Quraisy.

Saat-saat seperti itulah, ayat-ayat pendahuluan surah ‘Abasa turun dan dalam hal ini Rasulullah Saw ditegur dan disalahkan atas perlakuannya kepada Abdullah bin Ummi Maktum.[1] Sandaran kelompok riwayat ini disebutkan Suyuthi dalam kitab tafsirnya Durr al-Mantsur menukil dari Aisyah, Anas dan Ibnu Abbas – namun dengan sedikit perbedaan – dan apa yang dikutip oleh Thabarsi dalam Majma al-Bayan adalah ringkasan dari riwayat-riwayat tersebut.[2] Hanya saja, tidak terdapat hal (indikasi atau bukti) yang dapat menunjukkan secara tegas bahwa yang dimaksud pada ayat ini adalah Rasulullah Saw. Satu-satunya yang dapat dijadikan sebagai bukti dalam hal ini adalah ungkapan-ungkapan yang disebutkan pada ayat-ayat 8 sampai 10 surah ini yang menyatakan, “Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendengarkan ayat-ayat Allah), sedang ia takut kepada (Allah), kamu mengabaikannya.” Tentu, Rasulullah Saw lebih baik dari siapa pun yang dimaksud dengan obyek ayat ini.[3] Namun sekelompok ahli tafsir meyakini bahwa kejadian seperti ini juga tidak terjadi dan ayat-ayat ini tidak memberikan petunjuk secara jelas bahwa yang dimaksud pada ayat-ayat yang menjadi obyek teguran Allah Swt adalah Rasulullah Saw, sebaliknya ayat tersebut sekedar memberikan berita dan tidak menunjuk secara lugas siapa pemilik berita. Dalam hal ini, terdapat beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa yang ditegur pada ayat ini bukanlah Rasulullah Saw. Beberapa indikasi tersebut antara lain adalah sebagai berikut: Kita tahu bahwa sifat bermuka masam (‘abus) bukanlah sifat Rasulullah Saw dan beliau bahkan tidak pernah sekali pun bermuka masam kepada orang-orang kafir apatah lagi kepada orang-orang beriman. Terlepas dari itu, kritikan Sayid Murtadha Rah yang dilontarkan atas riwayat-riwayat seperti ini yang menyatakan bahwa secara prinsip bukan merupakan akhlak dan kepribadian Rasulullah Saw. Sepanjang hayatnya, Rasulullah Saw sekali-kali tidak pernah bersikap ingin mengambil hati orang-orang kaya dan berpaling dari orang-orang fakir. Di samping itu, Allah Swt sendiri yang memandang Rasulullah Saw sebagai orang yang berbudi pekerti luhur dan sebelum turunnya ayat yang menjadi obyek bahasan (surah ‘Abasa), surah al-Qalam (58), sesuai dengan riwayat urutan pewahyuan surah-surah, turun setelah surah al-‘Alaq (Iqra bismihi rabbika) dimana Allah Swt berfirman, “Wa innaka l‘ala khuluqin ‘azhim” [4] bagaimana mungkin pada awal-awal pengutusanya Rasulullah Saw berbudi pekerti luhur (itu pun secara mutlak), dan Allah Swt memuji sifat ini juga secara mutlak, kemudian berpaling dan kembali menegurnya karena masalah-masalah akhlak seperti bermuka masam dan menyandarkan sifat tercela ini kepadanya (bahwa engkau lebih condong kepada orang-orang kaya meski mereka adalah orang-orang kafir dan untuk merebut hati mereka engkau berpaling dari orang-orang fakir meskipun ia adalah seorang beriman)! Terlepas dari semua ini, bukankah Rasulullah Saw sendiri yang bersabda, “(Oleh karena itu), janganlah sekali-kali kamu menujukan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati karena apa yang mereka miliki, serta berendah dirilah terhadap orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-Hijr [15]:88) Lantas bagaimana mungkin pada surah al-Hijr (15) yang diturunkan pada masa-masa dakwah Islam secara terbuka Rasulullah Saw diperintahkan untuk tidak peduli dengan harta yang dimiliki para pecinta dunia dan sebagai gantinya beliau diinstruksikan untuk bersikap rendah hati di hadapan orang-orang beriman. Pada surah ini sendiri dan dengan konteks yang sama, Rasulullah Saw dititahkan untuk berpaling dari orang-orang musyrik sebagaimana firman Allah Swt, “Maka sampaikanlah secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (Qs. Al-Hijr [15]:94) kemudian diberitakan (pada surah ‘Abasa) bahwa Rasulullah Saw alih-alih berpaling dari orang-orang musyrik, beliau justru membelakangi orang-orang beriman, dan alih-alih bersikap rendah hati di hadapan orang-orang beriman, beliau justru tawadhu di hadapan orang-orang musyrik! Di samping itu, tercelanya perbuatan yang disebutkan di atas adalah berdasarkan hukum rasionalitas dan setiap orang berakal tentu mencela perbuatan tersebut apatah lagi menyangkut Rasulullah Saw. Karena perbuatan ini tercela secara rasional maka tidak perlu lagi ada larangan literal dan lisan kepada Nabi Pamungkas Muhammad Saw. Karena setiap orang berakal dapat mengidentifikasi bahwa harta benda dan kekayaan sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai kriteria keutamaan seseorang dan mengutamakan seorang kaya disebabkan oleh kekayaannya atas orang fakir adalah perbuatan tercela.[5] Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian di atas adalah bahwa pandangan pertama (pendapat masyhur) adalah pandangan yang tertolak meski bahwa apabila Rasulullah Saw disebabkan oleh tekanan seseorang, sedikit gentar dan takut, tidak melakukan perbuatan haram, melainkan berdasarkan penafsiran seperti ini, boleh jadi Rasulullah Saw melakukan perbuatan tark aula (meninggalkan yang utama) sehingga Allah Swt menegur Rasul-Nya dan hal ini tidak bertentangan dengan sifat ishmah (kemaksuman) pada diri Rasulullah Saw. Karena pertama tujuan Rasulullah Saw tidak lain adalah melakukan penetrasi di kalangan pemuka Quraisy dan menyebarluaskan ajaran Islam melalui cara ini serta mendobrak perlawanan mereka. Kedua: Bermuka masam di hadapan seorang buta tentu tidak akan menimbulkan masalah; karena ia tidak melihat (muka masam Rasulullah Saw) di samping itu, Abdullah bin Ummi Maktum juga tidak mengindahkan adab-adab majelis; karena tatkala ia mendengar Rasulullah Saw bercakap-cakap dengan pemuka Quraisy seharusnya ia tidak memotong percakapan Rasulullah Saw.[6] [iQuest] ________________________________________
[1]. Silahkan lihat, Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 26, hal. 123-124, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1374 S. [2]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, Tafsir al-Mizân, Terjemahan Persia oleh Sayid Muhammad Baqir Musawi Hamadani, jil. 20, hal. 330, Daftar Intisyarat Islami ,Qum, Cetakan Kelima, 1374 S. [3]. Silahkan lihat, Tafsir Nemune, jil. 26, hal. 125. [4]. “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Qs. Al-Qalam [68]:4) [5]. Terjemahan Persia Tafsir al-Mizân, jil. 20, hal. 331-332. [6]. Tafsir Nemune, jil. 26, hal. 125-126.
Read More....