Cari Blog Ini

Rabu, 29 Februari 2012

Naruto Shippuden The Movei 3: Inheritors Of The Will Of Fire


File : Naruto Shippuuden Movie 3 - Hi no Ishi o Tsugu Mono (720p).mp4
Video : MPEG4 Video (H264) 1280x720 23.98fps [Video]
Audio : Japan
Subtitle : Indonesia
File size : 780 MiB
Duration : 1h 29mn
Overall bit rate : 1 214 Kbps
Directed by Masahiko Murata
Written by Junki Takegami & Masashi Kishimoto
Starring:Junko Takeuchi, Kazuhiko Inoue, Satoshi Hino, Chie Nakamura, Noriaki Sugiyama, Ryoka Yuzuki, Showtaro Morikubo, Yoichi Masukawa, Shinji Kawada, Kousuke Toriumi, Nana Mizuki, Yukari Tamura, Koichi Tochika
Music by Yasuharu Takanashi
Distributed by Toho

Sinopsis
Film Naruto shippuden movie 3 Scene dibuka ketika Kelompok 07 menyelidiki sebuah desa shinobi. Anggota team ini terdiri dari naruto, sakura, sai dan kakashi. Adegan awal terlihat sai diserang oleh sosok burung misterius.. akibat bulu dari burung tersebut akhirnya sai terjun bebas dari burung yang dikendarainya.
Movie ini juga menceritakan Flash back tentang Hiruko.. yaitu shinobi yang berasal dari desa Konoha… Hiruko adalah teman masa lalu sesama ninja orochimaru, tsunade, dan jiraiya waktu masih muda… Beda diantara yang lain Hiruko tidak sehebat ketiga Legenda Sannin tersebut. Akhirnya ia berusaha mencari jalan supaya ia bisa sehebat seperti legenda sannin tersebut. Sehingga Hiruko menguasai dan mengembangkan teknik jutsu Chimera (jutsu terlarang). Akhirnya gelagat tersebut tercium oleh Legenda sannin. Ia pun melarikan diri dan menjadi rogue ninja yang dendam terhadap Konoha.
Hiruko yang menginginkan kekuatan abadi dan sempurna dengan menggunakan kekke ginkai dari 4 elemen. Namun terdapat satu elemen yang kurang sehingga dia masih belum sempurna. Elemen itu adalah Sharingan milik kakashi. Hiruko yang dulunya merupakan Shinobi dari Konoha telah mengontrol kakashi untuk mendapatkan elemen tersebut. Sebelum Kakashi dikontrol oleh Hiruko dia berencana mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan desa dengan memasang jebakan pada sharingannya.
Sharingan akan menjadi mangekyou sharingan ketika kakhasi diserap kekuatannya oleh Hiruko sehingga dia bersama Hiruko akan terlempar ke dimensi lain berdasarkan Kekuatan Mangekyo sharingan kakashi. Namun Naruto tidak bisa menerima cara kakashi dan pergi untuk menyelamatkan Kakhasi.
Pengen tau jalan ceritanya???!!
Langsung aja ditonton filmnya “Naruto Shippuden The Movei 3: Inheritors Of The Will Of Fire”
Gimana gan tertarik tertarik dengan filmnya??



Nama : [NSIF] Download Naruto Shippuuden Movie 3 - Inheritors of the Will of Fire
File : [Mini 480p] ±60MB Mp4 HardSub
Subtitle : Indonesia
Server : IDWS Mediafire
Download : NSIF
Download episode lain di : NSIF
Read More....

Selasa, 28 Februari 2012

KEMULIAAN MANUSIA

Menurut pendapat Ar-Rumi, manusia adalah inti dari alam dan himpunan sifat alam. Di dalam jisim yang kecil itu, tergambar keadaan alam berupa berbagai kebaikan dan simpanan, keajaiban dan keindahan. Manusia adalah atom yang terbias oleh matahari. Jika matahari terbit, maka sosok bintang-bintang pun lalu tidak tampak. Manusia adalah setetes kecil yang kepadanya dituangkan lautan ilmu. Dan tiga hasta jisim manusia ternyata mampu menampung dunia. Manusialah yang menjadi tujuan penciptaan. Karena dialah alam diciptakan. Manusia adalah sebuah kutub, yang sekiranya dikelilingi oleh lingkiran dunia, sehingga apa saja yang ada dialam ini merasa iri kepadanya. Dan Allah telah mewajibkan semua yang ada didunia ini untuk taat kepada manuia.

Jalaluddin Rumi berkata;”sesungguhnya segala keindahan dan kesempurnaan diciptakan hanyalah karena engkau. Semua berada disekelilingmu. Kamulah yang membuat malaikat merasa iri. Kamu tidak memerlukan keindahan pinjaman, sebab kamu adalah keindahan dunia. Kamu adalah perantara perjanjian. Kamu adalah bait kasidah. Manusia adalah jauhar (esensi), sedangkan falak adalah aradl (non-esensi). Segalanya selaian dirimu hanyalah cabang dan banyangan. Semua yang ada didunia ini telah diwajibkan untuk berkhidmat kepadamu. Dan tercela sekali bagi jauhar, bila ia tunduk kepada aradl.”

“Sesungguhnya manusia adalah pantulan bagi sifat-sifat Allah. Manusia adalah cermin yang jujur, yang didalamnya akan tampak tanda-tanda kekuasaan-Nya.”

“Segala kesempurnaan dan keindahaan yang terlihat pada diri manusia merupakan pantulan sifat-sifat Allah. Didalamnya ilmu, keadilan, dan kelembutan Allah terpantul dengan jelas, sebagaimana memantulnya cahaya bintangkejora pada air yang mengalir.”

(Dikutip dari buku Jalaludin Rumi Sufi Penyair Terbesar, Pustaka Firdaus, 1997)

Read More....

Absolutisme vs Relativisme

Jika seekor kucing benar-benar berada di rumah, dan kita yakin bahwa "kucing ada di rumah", dan kita katakan bahwa "kucing ada di rumah", maka jelas keyakinan kita maupun proposisi yang kita nyatakan bernilai benar secara mutlak. Inilah yang saya maksudkan dengan absolutisme. Setiap peyakin kebenaran, mesti seorang absolutis. Dapatkah pernyataan ini kita buktikan secara lebih jelas?
Mari kita mulai dulu dengan menyusun beberapa struktur lingua-franca untuk pembahasan kita saat ini. Apa yang dimaksudkan dengan alam dalam pembahasan kita dalam suatu himpunan. Dalam makalh ini akan ada tiga alam; alam mental, tidak lain adalah himpunan obyek dalam fikiran manusia; alam eksternal, tidak lain adalah himpunan obeyek di luar fikiran manusia; dan alam bahasa, tidak lain himpunan bahasa yang digunakan manusia. Dalam contoh di paragraf sebelumnya, keberadaan kucing di rumah merujuk pada suatu obyek dalam alam eksternal. Sedang keyakinan akan keberadaan kucing di fikiran merujuk pada alam mental. Dan pernyatan "Kucing ada di rumah" merujuk pada alam bahasa.
Seseorang disebut absolutis, jika dan hanya jika, ia yakin ketiga alam tersebut, -mental, eksternal dan bahasa-, dalam kondisi tertentu, mungkin selaras. Artinya setiap hal yang ada di alam eksternal yang difikirkan oleh manusia mungkin ekivalen dengan fikiran manusia tentang hal itu. Lebih lanjut setiap hal dalam fikiran manusia yang dinyatakan dalam bahasa mungkin pula ekivalen dengan pernyataanya di alam bahasa.
Dengan bahasa yang lebih mudah, absolutis yakin bahwa mental manusia mungkin mencapai kebenaran mutlak tentang suatu obyek nyata, dalam arti, sesuaatu "fikiran" atau "keyakinan" dalam alam mental disebut benar jika ia mencerminkan keadaan obyektif sebenarnya di alam eksternal. Lebih jauh, absolutis, yakin bahwa bahasa mungkin digunakan untuk menyatakan kebenaran tersebut.
Sebaliknya seorang disebut relativis, jika dan hanya jika, ia bukan absolutis. Artinya, seorang disebut relativis jika salh satu aatau kedua kriteria di bawah ini terpenuhi;
1.Ia yakin bahwa tidak mungkin apa yang ada di alam eksternal ini ekivalen dengan apa yang ada di alam mental.
2.Ia yakin bahwa tidak mungkin menyatakan apa yang aada di alam mental dengan suatu bahasa yang akurat.

Poin pertama menghancurkan hubungan antara alam mental manusia dengan alam eksternal. Artinya seluruh bangunan pengetahuan dan keyakinan manusia runtuh, karena semua pengetahuan dan keyakinan manusia tidak ekivalen dengan apa pun dalam realitas sebenarnya. Poin kedua menghancurkan kemungkinan untuk mengkomunikasikan pengetahuan dan keyakinan manusia apa pun.
Relativisme sejati dalam defenisi seperti di atas tidak mempunyai signifikansi sedikitpun untuk di bahas, karena jelas semua proposisinya pun hancur. Kenapa? Karena seluruh bangunan pengetahuan dan keyakinan sendiri pun termasuk proposisi-nya (poin pertama dan poin kedua) tersebut tidak mewakili kenyataan apa pun (berdasar poin pertama), atu jika tidak, seluruh pengetahuan dan keyakinannya sendiri termasuk proposisi-nya (poin pertama dan kedua) tidak mungkin dikomunikasikan sama sekali (berdasar pon kedua).
Filsafat barat modern menyandarkan dirinya dalam berbagai relativisme parsial yang akan diuraikan di bawah ini.
Rene Descartes, yang sering disebut sebagai Bapak Filsafat Modern, mengatakan dalam "Le Discours de la Methode" :
"Berhubung indra ada kalanya menipu kita, saya berniat menganggap bahwa apa yang biasa ditampilkan oleh indra kita itu sebenarnya tidak ada. Di samping itu, mengingat bahwa ada orang-orang yang keliru ketika menalar masalah geometri yang paling sederhana, sampai-sampai melakukan paralogi, serta mengingat pila bahwa saya sendiri pun mungkin keliru seperti yang lain, maka saya buang semua penalaran yang sebelumnya pernah saya buat sebagai pembuktian. Dan terakhir karena beranggapan bahwa sekua fikiran yang muncul pada waktu kita sadar dapat juga datang ketika sedang tidur tanpa ada yang benar satu pun. Saya memutuskan untuk berpendapat bahwa segala pendapat yang pernah terlintas dalam angan-angan tidal lebih benar daripada ilusi-ilusi dalam mimpi saya. Namun segera sesudahnya saya menyadari bahwa sementara saya berfikir bahwa semuanya tidak benar, saya sebagai yang memikirkanya haruslah merupakan sesuatu. Saya perhatikan bahwa kebenaran ini : Saya berfikir, jadi saya ada (Cogito ergo sum) begitu kokoh dan meyakinkan, sehingga anggapan kaum skeptis yang paling berlebihan-pun tidak mampu menggoyahkannya."
Pertama, Descartes meyakini ketidak-absahan indera karena indera mungkin salah.
Kedua, Descartes meyakini ketidak-absahan penalaran kerana penalaran mungkin salah.
Ketiga, Descartes meyakini ketidak-absahan pemikiran karena fikiran tidak mampu membadakan yang khayal (atau mimpi) dan yang nyata.
Jelas argumentasi Descartes ini salah. Kenapa?
Pertama, karena argumentasi ini menghancurkan dirinya sendiri. Dengan tiga proposisi berturut-turut ini, jelas
1. Hubungan antara alam eksternal dan alam fikiran manusia terputus total.
2. Segala jenis penalaran apa [un nafi
3. Segala jenis pemikiranapa pun tidak absah,
Sehingga jika benar seseorang meyakini ketiga proposisi ini, tidak mungkin ia mempunyai pengetahuan ataupun keyakinan apa pun.
Kedua, dalam tiap proposisi dalam argumentasi tersebut terdapat kesalahan pengambilan kesimpulan karena terlalu menggeneralisasi. Contohnya adalah proposisi pertama, karena indera mungkin salah, maka kita mesti meyakini bahwa indera mungkin salah, tidak bisa digeneralisasikan menjadi bahwa indera selalu salah sehingga ia tidak mingkin pula ia benar. Demikian pula terjadi pada proposisi kedua dan ketiga.
Saya yakin Descartes sendiri tidak meyakini ketiga proposisi tersebut dalam artian yang hakiki. Contoh yang jelas adalah ketika Descartes menyatakan Cogito ergo sum (Aku berfikir, maka aku ada). Sebenarnya saat ini, Descaartes telah menggunakan metode penalaran silogisme Aristoteles;
Premis minor : Sesuatu yang berfikir pasti ada.
Premis minor : Aku befikir.
Konklusi : Aku ada.
Ini dapa dilihat langsung dalam pernyataan Descartes dalam dua paragraf berikutnya "La discours de la methode";
"Saya perhatikan bahwa dalam dalil "saya berfikir, jadi saya ada" tak ada suatu pun yang menjamin kebenarannya selain bahwa saya melihat dengan sangat jelas bahwa untuk berfikir saya harus ada."
Analisa historis mungkin menjelaskan kenyataan bahwa mungkin bagi kita untuk memahami "kesalahan logika" Descartes sebagai upaya untuk melawan sketisisme yang merajalela saat itu.
Lain lagi dengan Emmanuel Kant, yang membatasi alam eksternal di mana hukum logika berlaku. Menurut Kant; ilmu matematis memiliki kebenaran absolut, ilmu pengetahuan yang berasal dari pengalaman inderawi memiliki kebenaran relatif, dan subyek-subyek metafisika tak mungkin dicapai oleh akal manusia sama sekali. Pernyataan Kant ini mempunyai dua kemungkinan.
Pertama, pernyataan bahwa suyek-subyek metafisika tak mungkin dicapai oleh akal manusia dalam arti harfiah. Tapi, bagaimana mungkin kita bisa menilai pernyataan Kant ini salah atau benar, sedang pernyataan itu sendiri menyangkut hal yang meta-fisis sehingga hal ini tak mungkin dicapai oleh akal kita sama sekali?
Kedua, jika artinya subyek-subyek metafisika tak mungkin dibahasakan sama sekali oleh akal manusia. Dalam hal ini, karena proposisi hal ini pula termasuk hal yang metafisis, proposisi ini pun tak mungkin dibahasakan sama sekali. Jadi seharusnya biarkanlah proposisi ini melanglang buana dalam alam mental kita tanpa pernah dinyatakan bahkan oleh Kant sendiri.
Relativisme parsial jenis lain mungkin seperti apa yang dinyatakan oleh Ludwig Wittgenstein dalam Tractatus -nya;
"Sesuatu yang memang dapat dikatakan haruslah diungkapkan secara jelas, sedang sesuatu yang tidak dapat dikatakan sebaiknya didiamkan saja."
Secara khusus, Wittgenstein menyebutkan tiga hal yang tidak dapat diungkapkan secara jelas - yang disebutnya sebagai The Mystical-, sehingga sebaiknya didiamkan saja, yaitu ;
1. "Subyek tidak termasuk dalam lingkup dunia, melainkan hanya merupakan suatu batas dunia."
2. "Kematian bukanlah merupakan suatu peristiwa kehidupan, sebab kematian itu bukan merupakan kehidupan yang dijalani."
3. "Allah tidak menyatakan diri-Nya dalam dunia."
Jadi, jika seseorang meyakini proposisi Wittgenstein tersebut, ia tidak akan pernah mempermasalahkan adanya dirinya sendiri sebagai subyek, ada atau tidaknya kematian bahkan ada atau tidaknya Tuhan.
Relativisme parsial ala Wittgenstein tidak mengakui adanya alam mental, dan Wittgenstein langsung merelasikan alam kenyataan dengan alam bahasa. Lebih lanjut, ia membatasi alam eksternal yang dapat dirlasikan secara ekivalen dengan bahasa yang akurat, yaitu alam non-mistikal. Maka jika benar Wittgenstein berpendapat seperti ini, jelas pendapatnya salah. Kenapa?
Karena argumentasinya menghancurkan dirinya sendiri.
Pada saat Wittgeinstein membahas ketiga hal yang termasuk ke dalam The Mystcal, subyek, kematian, dan Allah, karena mereka semua tidak termasuk dalam lingkup dunia, maka dari-mana ia memperoleh kesimpula itu? Kalau dikatakan dari alam bahasa itu sendiri, bukankah menurutnya setiap proposisi harus jelas? Dan bukankah menurutnya setiap proposisi harus jelas? Dan bukankah menurutnya jelas adalah mewakili suatu keadaan faktual tertentu? Jadi secara otomatis, karena Wittgenstein memperoleh kesimpulan tentang subyek, kematian, dan Allah dari alam eksternalnya, ia musti memperolehnya dari alam mentalnya. Jadi argumentasi Wittgenstein memestikan keberadaan alam mental, minimal alam mentalnya sendiri.
Proposisi, "Sesuatu yang memang dapat dikatakan haruslah diungkapkan secara jelas, sedang sesuatu yang tidak dapat dikatakan sebaiknya didiamkan saja," Ini sendri tidak jelas. Kenapa? Karena masih bisa dipertanyakan lagi apa arti jelas dan arti "jelas" bagi setiap orang relatif. Misalnya ; mungkin kata "gaya" jelas artinya bagi seorang fisikawan, tapi tidak jelas artinya bagi fisikawan lain. Misalnya lagi dapatkan Anda menjelaskan kepada sya kapan sebuah jambu yang dimakan seseorang masih disebut jambu atau sudah menjadi bukan jambu? Jadi karena arti "jelas" itu relatif, tentu ia tidak dijamin jelas artinya bagi setiap orang. Arinya proposisi ini sendiri, didiamkan saja. Didiamkan seperti rumput yang bergoyang.
Keadaan orang yang meyakini paham relativis ini mengingatkan saya pada "Shummum bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uun." (Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali). Relativis seolah kehilangan seluruh inderanya, karena mereka sendirilah yang menafikannya. Kemudian bagaimana mereka bisa mengreksi kebenaran seluruh pengetahuan dan keyakinannya?
Kembali pada pembahasan semula, seorang yang meyakini pengetahuan ataupun keyakinan apapun mesti adalah absolutis. Kenapa? Karena jika ia tidak absolutis maka mustahil ia yakin apa pun yang ada dalam fikirannya mempuyai relasi dengan suatu yang benar-benar ada di alam nyata atau mustahil ia yakin bahwa ppernyataan keyakinan dalam alam bahasa sesuai dengan apa yang ada dalam fikirannya sendiri. Sehingga, ia tidak akan meyakini apapun atau walaupun meyakini terpaksa diam seribu bahasa akan keyakinannya tersebut.
Sebagai penutup, saya mengajak anda semua merenungi; wa qul jaa ‘al-haqqa wa zahaaqal-baathil, innal baathila kaana zahuuqa. (Dan katakan, telah tiba kebenaran dan telah lenyap kebatilan, dan sesungguhnya kebatilan itu benar-benar sirna). Yang benar tetap benar, dan harus kita katakan benar. Yang salah tetap salah, dan mestilah sirna.
Wallohu a’lam
Read More....

Rabu, 15 Februari 2012

Sosiologi Agama

A. PENDAHULUAN
Pada dasarnya agama membawa misi sebagai pembawa kedamaian dan keselarasan hidup. Baik itu agama Islam sendiri dan agama lainnya.
Namun, dalam kenyataannya tidak jarang agama bukannya menjadi pemersatu sosial tapi malah sebaliknya sebagai unsur konflik. Hal ini disebabkan dengan adanya truth klaim pada tiap-tiap pemeluknya.

Al Qur’an sebagai wahyu Allah, dalam pandangan dan keyakinan umat Islam adalah sumber kebenaran dan mutlak itu tidak akan tampak manakala tidak di pahami.
Sehingga kerukunan antaragama yang pernah dijalankan oleh pemerintah ORBA pada masa itu berjalan lancar sesuai dengan cirinya yang menekankan pada pendekatan keamanan. Lalu timbul berbagai macam kerusuhan pada saat ini baik itu di Ambon, Kupang dan Aceh sehingga program itu perlu ditanyakan kembali, bisa saja kan kita mengira karena pendekatannya itu pada masa Orde Baru berjalan lancar.

B. PLURALIS AGAMA
Agama, sebagaimana seni, sangat sulit untuk diberi batasan yang tegas. Agama, menurut Hans Kung, bukanlkah untuk didefinisikan, apalagi untuk diperdebatkan. Agama adalah sesuatu untuk dihayati dan diamalkan. Ia bukan sesuatu yang ada diluar diri manusia.

Menurut Hans Kung, agama bukan hanya menyangkut hal-hal yang teoritik, melainkan hidup sebagaimana yang kita hayati. Agama menyangkut sikap hidup, pendekatan terhadap hidup, cara hidup, dan yang terpenting adalah menyangkut perjumpaan atau relasi dengan apa yang dinamakan Rudulf Otto sebagai The Holy. Agama selalu menyangkut basic trust seseorang terhadap hidup dan menyangkut “ya” atau “tidak” terhadap hidup. Menurut Kung, secara eksistensial, sadar atau tidak, manusia membutuhkan komitmen pada makna, dan komitmen pada norma.

Dalam hal ini agama selalu berkaitan dengan manusia. Sejarah agama selalu menyertai sejarah kemanusiaan. Agama tidak akan pernah hilang dari muka bumi ini semenjak dimulainya sejarah kemanusiaan hingga ia punah. Sebab, menurut Max

Scheler (1874-192 merupakan kemampuan tersendiri yang palin g dasar dalam diri manusia. Bahkan, agama merupakan fitrah yang diturunkan yang telah menyatu dalam diri manusia semenjak kelahirannya.

Setiap agama membawa misi sebagai pembawa kedamaian dan keselarasan hidup, bukan saja antarmanusia, tetapi juga antarsesama makhluk Tuhan penghuni semesta ini. Dalam tataran historis, misi agama tidak selalu artikulatif. Saelain sebagai alat pemersatu sosial, agama pun menjadi unsur konflik. Bahkan, menurut Schimmel, dua unsur itu menyatu dalam agama. Mungkin pernyataan ini agak berlebihan. Tetapi, jika melihat perjalanan sejarah dan realitas dimuka bumi ini, pernyataan itu menemukan landasan historisnya sampai sekarang. Persoalannya, bagaimana realitas itu bisa memicu para pemelik agama untuk merefleksikan kembali ekspresi keberagamaannya yang sudah sedemikian mentradisi dalam hidup dan kehidupannya.

Berkaitan dengan itu, salah satu yang menjadi problem paling besar dalam kehidupan beragama dewasa ini, yang ditandai oleh kenyataan pluralisme, adalah bagaimana teologi suatu agama mendefinisikan diri ditengah-tengah agama lain, dengan semakin berkembangnya pemahaman mengenai pluralisme agama, berkembanglah suatu paham teologia religionum. Paham ini menekankan semakin pentingnya dewasa ini untuk berteologi dalam konteks agama.

C. KLAIM KEBENARAN
Setiap agama memiliki kebenaran. Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan pada Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Dalam tataran sosialogis, klaim kebenaran berubah menjadi simbol agama yang dipahami secara subjektif, personal, oleh setiap pemeluk agama. Ia tidak lagi utuh dan absolut. Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda ketika akan dimaknakan dan dibahasakan. Sebab, perbedaan ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari berbagai referensi dan latar belakang yang diambil orang yang meyakininya dari konsepsi ideal turun kebentuk-bentuk normatif yang bersifat kultural. Ini yang biasanya digugat oleh berbagai gerakan keagamaan pada umumnya. Mereka mengklaim telah memahami, memiliki, bahkan menjalankan secara murni dan konskuen nilai-nilai suci itu.

Kita memang sulit melepaskan kerangka (frame) subjektivitas ketika keyakinan lain yang berbeda. Meskipun ada yang berpendapat bahwa kerangka subjektif adalah cermin eksistensi yang alamiah. Lagi pula, setiap manusia mustahil menempatkan dua hal yang saling berkontradiksi satu sama lain dalam hatinya. Dengan begitu, kita tidak harus memaksakan inklusivisme “gaya kita” pada orang lain, yang menurut kita ekslusif. Sebab, bila hal ini terjadi, pemahaman kita pun sebenarnya masih terkunjung pada jerat-jerat ekskusivisme, tetapi dengan menggunakan nama inklusivisme.

Dengan demikian,pluralisme bisa muncul pada masyrakat di mana pun ia berada.ia selalu mengikuti perkembangan masyarakat yang semakin cerdas, tidak ingin dibatasi oleh sekat-sekat sektarianisme.

D. ISLAM DAN PLURALISME
Al Qur’an sebagai wahyu Allah, dalam pandangan dan keyakinan umat Islam adalah sumber kebenaran dan mutlak itu tidak akan tampak manakala Al qur’an tidak berinteraksi dengan realitas sosial, atau menurut Quraish Shihab di bumikan. Menurut Nurcholis Majid berpendapat bahwa sistem nilai plural adalah sebuah aturan Tuhan yang tidak mungkin berubah, diubah, dilawan, dan diingkari. Barang siapa yang mencoba mengingkari hukum kemajemukan budaya, maka akan timbul fenomena pergunakan yang tidak berkesudahan. Boleh dikatakan bahwa memahami pluralitas agama dan budaya merupakan bagian dari memahami agama, sebab memahami agama pada dasarnya juga memahami kebudayaan masyarakat secara menyeluruh.

Langkah bijaksana bagi setiap umat adalah belajar dari kenyataan sejarah. Yatu sejarah yang mendorong terwujudnya masyarakat plural dan integratif, oleh karena itu, agenda yang perlu diluruskan oleh islam Indonesia adalah mengubah pluralisme sebagai ideologi sebagai konkret. Tentu saja dituntut peran negara yang positif dalam memperlakukan agama. Agama bukan hanya sebagai intrumen mobilisasi politik, tetapi yang lebih penting adalah memperlakukannya sebagai sumber etika dalam interaksi, baik diantarasesama penguasa maupun sesama penguasa antar rakyat.

E. KERUKUNAN ANTARAGAMA
Konsep kerukunan antar umat beragama pernah dirumuskan dan ditetapkan oleh pemerintah Ordebaru dengan melibatkan semua tokoh agama yang ada di Indonesia, selama masa Orba. Relatif tidak konflik antar umat beragama yang berbeda. Namun ketika di Ambon, Aceh, Kupang, dan diberbagai daerah lannya terjadi berbagai kerusuhan dan tindakan kekerasan yang berbau agama.

Oleh karena itu, pengkajian ulang terhadap konsep kerukunan antar umat beragama yang selama ini diterapkan pemerintah. Maka konflik antaragama tidak bisa terhindarkan akan selalu meledak. Bila terjadi hal-hal sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, baik aspek politis, ekonomi, maupun sosial budaya.
Konflik merupakan suatu kondisi pertentangan dari dua kepentingan, yang antara keduanya saling memperebutkan, bahkan saling bertabrakan bahkan saling berlawanan. Dalam istilah Al Qur’an, konflik disebut dengan kata ‘aduw (permusuhan, pertentangan, konflik).

Khusus kata ‘aduw yang dikaitkan dengan interaksi antarmanusia dapat ditarik induksi tentang macam-macam konflik berikut :
1. Konflik sosial (Q.S 2:36;7 : 24 : 20 : 123 ; 43 : 67)
2. Konflik politik (Q.S 10 : 90; 22: 19 ; 28 :8 ; 28 : 15)
3. Konflik agama ( Q.S 4:62 ; 63 : 4; 4 : 101 ; 25 : 31)
4. Konflik budsaya (Q.S 5 : 48 ; 30 : 32)

Selain satu bagian dari kerukunan antarumat baragama adalah perlunya diadakan dialog antaragama. Agar komonikatif dan terhindar dari perdebatan teologis antarpemeluk (tokoh) agama.

F. KESIMPULAN
Dengan memperhatikan persoalan di atas, tampaknya konflik berwajah agama perlu dilihat dalam kaitan-kaitan politis, ekonomi, atau sosial budayanya. Apabila benar bahwa konflik itu murni konflik agama, maka masalah kerukunan sejati tetap hanya dapat dibangun atas dasar nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan HAM, yang - menyentuh keluhuran martabat manusia. Makin mendalam rasa keagamaan, makin mendalam pula rasa keadilan dan kemanusiaan. Seandainya tidak demikian, agama tidak mengangkat keluhuran martabat manusia.

DAFTAR PUSTAKA
Zainal Abidin, Ahmad Syafi’i., Sosiosophologi, Cv Pustaka Setia., Bandung, 2002.
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, PT Remaja Rosdakarya., Bandung., TTh.

Read More....

Selasa, 14 Februari 2012

Naruto Shippuden


Oke sob kali ini kita akan membahas seputar Naruto Shippuden...langsung aja ya..

Naruto Shippuden atau Naruto II adalah seri dari seri manga Naruto, menitikberatkan pada petualangan Uzumaki Naruto dan Haruno Sakura dan misi pencarian Uchiha Sasuke setelah ia meninggalkan Konohagakure. Pada seri ke-2 ini, pergerakan organisasi Akatsuki semakin terlihat. Naruto Shippuden juga telah dibuat versi movie-nya dengan judul Naruto Shippuden The Movie yang akan dirilis pada bulan Desember. Movie ini menceritakan tentang usaha ninja jahat dalam membangkitkan Mouryou, roh jahat yang telah dikalahkan 20 tahun yang lalu. Setelah Naruto Shippuden The Movie dirilis, hadir pula Naruto Shippuden The Movie 2: Bond. Movie ini menceritakan penyerangan sisa desa ninja Negara Langit pada Konoha. Kemudian movie, Naruto Shippūden The Movie 3: Inheritors of the Will of Fire. Di sini diceritakan Konoha dituduh sebagai dalang penyebabnya para ninja dengan Kekkei Genkai menghilang dari Sunagakure, Kirigakure, Kumogakure dan Iwagakure. dan Naruto Shippuden The movie 4: The lost Tower...serta yang terbaru adalah Naruto Shippuden The Movie 5:.....
gimana sob tertarik untuk nonton Kisah Naruto Shippuden...???
Oke...kita lanjutin di postingan yang akan datang ya sob...
terimakasih n datang lagi ya....

Next Article:
1. Seri Naruto Shippuden
2. All About Carakter

Read More....

Tips Mempercantik Tampilan Windows Bagian 3


Jika anda ingin mempercantik tapilan windows 7 anda ,saya sarankan untuk menggunakan Start menu pro dengan menggunakan software ini dapat mempercantik tampilan star menu windows 7 anda ( diatas adalah tampilan start menu pro ). Jika anda tertarik silahkan download disini...

Beriku ini adlah fasilitas yangh ada di star menu pro :

1.Daftar item menu abjad disortir, sehingga Anda dapat dengan mudah menemukan program atau perintah dengan namanya.
2.Buka setiap lokasi pada PC Anda dengan satu klik.
3.Anda dapat membuat, mengubah, dan menyusun ulang item di Menu 7. Jadi mudah untuk membuat daftar lokasi yang paling digunakan, direktori populer, dan virtual folder untuk mengaksesnya dengan satu klik.
4.Ada tombol Jalankan khusus untuk mengakses lokasi jarang digunakan tanpa menambahkannya ke dalam menu.
5.Start Menu 7 memiliki sebuah panel Power disesuaikan Buttons.
6.Power Timer Dengan fitur ini Anda dapat menunda operasi manajemen daya.

Read More....

Cara Aktivasi Windows 7 Ultimate


Postingan kali ini saya akan mencoba memberikan sedikit tips n trik buat mengaktivasi windows 7. Mengapa perlu aktivasi?? karena kalau tidak di aktivasi, kita hanya diberi waktu 30 hari untuk mencoba windows 7 ini frend, pokoknya ampun dah.... Hehehe
Oia frend.... ngomong” soal aktivasi banyak tuh tools buat aktivasi Windows 7 diantaranya:
1.Windows 7 Loader
2.WGA Remover
3.Windows 7 Toolkit
4.Windows 7 Plus Patch
5.Preffered Activator
6.Dan Lain-lain Masih banyak ko...
Tapi Kali ini yang saya bahas dengan menggunakan Windows 7 Loader....
gmana tertarik....Download aja disini...
Passwor: rama
oke frend cekidot....

Cara Aktivasinya :
1.Instal windows 7 (pas instal, bila diminta key/serial,dikosongkan aja).
2.Download Tool Windows 7 Loader.
3.Ekstrak Jalankan Windows 7 Loader.


4.Biarkan saja begitu (Default mode)
5.Klik Install
6.Tunggu hingga muncul kotak dialog yang memberitahukan proses aktivasi berhasil.
7.Restar
8.Selesai
9.Nich Hasilnya...

Selamat mencoba....
100% Tested N Worked By Me.
jgn lpa koment ya....fren....!?!?!?

Read More....

Senin, 13 Februari 2012

Mengganti Tampilan Broswer Internet Explorer


Para pembaca sekalian tentu sudah tidak asing lagi dengan browser Internet Explorer, suatu browser yang paling banyak digunakan saat ini. Setiap kali kita akan berkelana di Internet, tentu kita akan menggunakannya. Saking seringnya memakai browser IE, begitu ringkasnya, membuat kita hapal sekali dengan penampilannya. Terkadang membuat kita bosan dan ingin sesuatu yang berbeda dengan yang lain. Dengan beberapa kiat atau trik berikut ini kiranya keinginan pembaca dapat sedikit terobati.




Mengganti Title Bar (Baris Judul) IE
Pada trik yang pertama ini kita akan mengubah tulisan pada baris judul browser IE. Yang dimaksud baris judul adalah tulisan yang terletak di atas baris menu utama. Caranya adalah : Buka registry Windows dengan Regedit, yaitu dengan cara mengklik tombol Start > Run, kemudian isikan Regedit dan tekan tombol Ok. Buka key berikut ini : HKEY_CURRENT_USER\Software\Microsoft\Internet Explorer\Main Carilah value Window Title. Bila belum ada pembaca dapat membuat string value yang baru dengan memilih menu Edit > New > String Value, dan beri nama dengan “Window Title” (dengan spasi tanpa tanda kutip). Isikan value tersebut dengan “Browser idolaku” atau sesuai keinginan pembaca. Jalankan Internet Explorer. Sekarang pada baris judul browser IE akan terdapat tulisan nama homepage ditambah tulisan “Browser Idolaku”.

Mengganti Logo Statis IE
Pada saat browser IE sedang dalam proses berkoneksi dengan situs yang kita hubungi, maka akan tampak logo animasi di pojok kanan atas berupa bola dunia yang sedang berputar. Kemudian setelah halaman telah sepenuhnya ditampilkan pada browser, maka PDF logo animasi akan berhenti dan berganti dengan logo statis yang bergambar Windows. Tahapan – tahapan di bawah ini akan mengajarkan kepada pembaca untuk mengganti logo statis ini, caranya adalah sebagai berikut : Buatlah logo dengan sembarang ukuran tetapi sebaiknya berukuran 22 x 22 pixels. Pembaca dapat menggunakan program Paint yang ada di menu Accessories. Ubah ukurannya menjadi 22 x 22 pixels dengan memilih menu Image > Attributes. Bila ukuran gambarnya lebih besar dari ukuran tersebut, maka gambar akan ditampilkan dalam bentuk diperkecil. Setelah logo yang sesuai selera selesai dibuat, simpan dengan tipe bitmap ke direktori C:\Windows dengan nama logoX.bmp, misalnya. Jalankan Regedit untuk mengubah registry dan buka key berikut : HKEY_CURRENT_USER\Software\Microsoft\Internet Explorer\Toolbar Buat value baru dengan memilih menu Edit > New > String value dan beri nama dengan SmallBitmap. Isikan data value SmallBitmap tersebut dengan nama direktori dan file yang sesuai dengan yang telah pembaca buat. Dalam hal ini isikan dengan “c:\windows\logox.bmp” (tanpa tanda kutip). Nah, coba pembaca jalankan browser IE dan setelah proses koneksi ke situs selesai pembaca dapat melihat logo yang pembaca buat sendiri.

Mengganti Logo Animasi IE
Dalam trik di atas kita telah mengetahui bagaimana cara mengubah logo statis IE. Selanjutnya kita akan mencoba mengganti logo animasi IE, yaitu logo yang menunjukkan bahwa browser sedang dalam proses koneksi dengan suatu website. Berikut ini adalah satu per satu langkahnya : Buatlah sebuah file gambar bertipe bitmap dengan ukuran 25 pixel untuk lebarnya dan 660 pixel untuk tingginya. Pembaca dapat menggunakan program Paint. Kemudian buatlah gambar – gambar yang menarik pada bidang gambar yang telah kita buat itu. Atau bila ingin sederhana, cukup buat tulisan – tulisan yang menarik. Setelah selesai simpan ke direktori C:\Windows dengan nama LogoAnim.bmp. Sekali lagi kita akan bermain dengan registry Windows. Bukalah registry dengan Regedit dan cari key berikut HKEY_CURRENT_USER\Software\Microsoft\Internet Explorer\Toolbar. Pilih menu Edit > New > String Value. Selanjutnya beri nama dengan “SmBrandBitmap” dan isikan dengan data nama direktori dan file yang bersesuaian dengan nama file bitmap yang baru saja kita buat yaitu “C:\Windows\LogoAnim.bmp”. Jalankan IE. Cobalah berkoneksi ke sembarang situs di Internet, dan pembaca akan melihat logo animasi yang telah pembaca buat yaitu berupa tulisan yang berjalan. Setelah selesai akan berganti dengan logo statis yang juga telah kita buat sebelumnya. Tanpa berkoneksi dengan Internet pun pembaca dapat melihat animasinya. Caranya pilih sembarang file HTML dan perhatikan dengan jeli karena animasinya cukup cepat dan singkat. Maklum yang diakses lokal.

Mengganti “ kulit” IE
Pernah pakai WinAmp ? Para pembaca tentu sudah tidak asing lagi dengan program WinAmp yang digunakan untuk memainkan file musik dengan tipe mp3. Diantara keistimewaan WinAmp adalah dapat berganti tampilan atau “kulit” sehingga tidak membosankan. Sebenarnya hal yang sama juga dapat dilakukan pada browser IE, sehingga browser IE pun dapat berganti kulit. Inilah caranya : Buatlah gambar yang menarik dengan tipe Bitmap (bmp). Ukuran pixelnya sebaiknya adalah 797 x 135 pixels. Bila gambar yang pembaca buat berukuran lebih besar dari ukuran di atas, maka gambarnya akan ditampilkan dengan terpotong, sedangkan bila gambar yang pembaca buat berukuran lebih kecil dari ukuran tersebut, maka gambar akan ditampilkan dalam bentuk tile. Simpanlah ke direktori C:\windows dengan nama SkinIE.bmp, misalnya. Buka kembali registry dengan menggunakan Regedit dan buka key berikut ini : HKEY_CURRENT_USER\Software\Microsoft\Internet Explorer\Toolbar Langkah selanjutnya adalah membuat string value baru. Bila browser pembaca masih menggunakan Internet Explorer 4, maka buatlah string value “BackBitmap”. Dengan demikian gambar yang kita buat akan digunakan untuk “kulit” browser IE4 dan Windows Explorer. Bila pembaca menggunakan browser IE5, maka buatlah string value “BackBitmapIE5”. Yang berarti hanya browser IE5 yang akan menggunakan gambar kita sebagai “kulit”. Sedang bila pembaca menggunakan string value “BackBitmap” sedang browser IE5 telah diinstall, maka gambar kita akan digunakan oleh browser IE5 dan Windows Explorer. Selanjutnya … … terserah anda. Sebagai contoh disini dipilih “BackBitmapIE5”. Isilah value BackBitmapIE5 dengan data berupa direktori dan nama file bitmap yang telah kita buat. Dalam hal ini isikan “C:\Windows\SkinIE.bmp”. Akhirnya coba jalankan Internet Explorer dan sekarang browser tersebut telah berganti kulit. Surfing jadi lebih mengasyikkan … .. Itulah beberapa kiat – kiat yang dapat dipraktekkan untuk merubah tampilan browser Internet Explorer. Bagi para pengusaha warnet, kiat – kiat ini dapat diterapkan untuk membuat browser IE tampil lebih menarik dan lebih mencirikan visi warnet mereka sehingga warnet bisa tampil lebih khas dan bisa membedakan warnet yang satu dengan yang lainnya.


Read More....

Minggu, 12 Februari 2012

EPISTEMOLOGI ISLAM

Pembahasan ilmu pengetahuan dalam Islam dapat ditinjau dari dua sisi: ontologi dan epistemologi. Walaupun pembahasan tersebut dalam literatur Islam tidak tersusun secara rapi dan tersendiri, kita dapat menemukan pembahasan tersebut dalam beberapa kajian filsafat seperti pembahasan yang berkaitan dengan non meterialnya ilmu, tingkatan-tingkatan ilmu, terbaginya ilmu ke dalam beberapa bagian, dll. Secara ontologis, kita bisa membahas ilmu dari keberadaanya, apakah ia materi ataukah bukan. Kita sama sekali tidak membahas tentang gambaran atau comprehensif ilmu. Adapun dari sisi epistemologi, kita bisa membahas ilmu dari sisi representifnya setelah kita membuktikan secara ontologis tentang keberadaan ilmu tersebut. Jadi, bisa dikatakan bahwa kajian epistemologi ini sebenarnya adalah pembahasan derajat kedua. Meskipun demikian, secara subtansial pembahasan epistemologi ini sangat berbeda dengan pembahasan pertama tadi. Dalam kajian kedua ini kita dapat meninjau bagian-bagian ilmu seperti pembagian ilmu kepada representatif dan judgement (justifikasi); ataupun pembagian lainnya kepada empirical knowledge dan intuitif knowledge (ilmu husuli dan hudhuri); atau pada aksioma dan discursiv dan pembahasan tentang secondary intelligible (ma'kul stani). Banyak filosof Islam mencurahkan segala kemampuan mereka untuk mengkaji pembahasan seputar epistemologi ini. Salah satu pembahasan yang menjadikan pertentangan di antara filosof muslim adalah berkaitan dengan tolok ukur benar dan salah. Para filosof Islam berpendapat bahwa antara alam understanding (dzihni) dan alam external (khariji) memiliki hubungan yang erat. Gambaran yang dimiliki oleh ilmu –alam understanding (zihn)- tidak sekedar gambaran yang tidak memiliki kenyataan. Apa saja dari gambaran yang ia tampung itu memiliki kenyataan (realitas).Akan tetapi, para filosof yang lainnya memiliki pendapat berbeda. Bagi mereka, hubungan antara alam understanding dan external bukanlah hubungan gambar dengan objeknya. Untuk memudahkan kita memahami pendapat ini ada satu pendekatan yang sangat mudah untuk kita cerna bersama. Ketika kita menggambar kuda di atas kanvas, apa yang ada di atas kanvas tersebut ingin memberikan pesan kepada kita bahwa gambar tersebut memiliki objek dan ia adalah kuda yang ada di alam realitas: bernafas, makan, minum, berjalan, dll. Ini salah satu dari bahasan yang terdapat dalam filsafat Islam tentang ilmu. Oleh karna itu, alangkah baiknya kalau kita gambarkan beberapa masalah secara universal tentang ilmu baik dari sisi ontologis ataupun epistemilogis, walaupun pada akhirnya, kajian ini hanya difokuskan pada bahasan kedua (epistemologi)

Sumber-Sumber Ilmu
Ilmu manusia tersusun dari hal-hal yang sederhana. Contohnya, kalau kita hendak mengetahui manusia, maka kita terlebih dahulu harus mengetahui definisi manusia sehingga kita dapat membedakan antara manusia dari yang lainnya. Pengetahuan kita tentang manusia tersusun dari beberapa hal-hal yang simple yaitu bahwa manusia itu berpikir, berbadan, dan perasa. Akan tetapi, yang menjadi objek kajian para filosof Islam ialah: dari manakah manusia mendapatkan ilmu-ilmu simple tersebut? Dengan metode atau perangkat apakah manusia mendapatkan ilmu-ilmu simple tersebut? Dari sinilah munculnya perbedaan antara filosof-filosof dari zaman Yunani sampai sekarang: antara Plato dan Aristoteles, antara Avessina dan Syuhrawardi, antara kaum paripatetik dan intuitivis, serta antara rasionalis dan empiris.
Batasan Ilmu
Sebelum kita memasuki bagian kedua dalam rangkaian pembahasan tentang ilmu, alangkah baiknya kalau kita awali bahasan ini pada kepercayaan dan penerimaan tentang realitas alam karena ini adalah sebuah pijakan mendasar dalam segala macam pembahasan yang ada di alam jagad raya ini khususnya dalam kajian ini.Tidaklah mungkin bagi kita untuk memulai segala macam aktivitas, baik aktivitas berfikir ataupun hal-hal yang bersifat praktis, tanpa berlandaskan atau berpijak pada kenyataan realitas alam, bahwa di alam ini, ada sesuatu yang membuat kita terobsesi untuk mengetahui ataupun mendapatkannya. Kajian seperti ini murni ontologis karena pembahasan tentang keberadaan bukanlah representasi dari sesuatu itu. Kita akan kembali sejenak melihat masa lalu perjalanan pemikiran manusia di alam ini. Pada zaman dulu, Yunani adalah pusat peradaban manusia. Dari situlah bermulanya tradisi berpikir. Muncul beberapa aliran yang menyatakan bahwa manusia tidak mungkin akan berhasil mendapatkan kebenaran, atau bahwa manusia adalah tolok ukur benar dan salah. Semua bergantung persepsi manusia terhadap sesuatu. Jika sesuatu itu menurut A benar, belum tentu bagi B juga benar. Sampai pada akhirnya, muncullah Socrates yang membawa obor kebenaran berkaitan dengan tradisi berpikir ini (walaupun pada akhirnya harus meminum racun sebagai akibat dari "ulah"nya). Usaha keilmuannya itu kemudian diteruskan oleh Plato dan dikembangkan oleh Aristoteles sehingga tersusunlah logika aristotelian. Kemudian, bergantilah zaman. Muncullah generasi muda yang menganut paham ragu. Mereka meragukan segala yang pernah dirintis oleh generasi sebelum mereka. Mereka skeptis. Paham skeptisisme ini, pertama kali dicetuskan oleh Protagoras (485-410 SM) Dia berpendapat bahwa persepsi manusia adalah tolok ukur benar dan salah. Kemudian, paham ini dikembangkan secara ekstrim oleh Georgias(483-375 SM) yang berpendapat bahwa hakikat itu tidak ada. Kalaupun ada, tidak mungkin bagi manusia untuk mengetahuinya. Kalaupun bisa untuk diketahui, hakikat itu tidak dapat ditransfer kepada yang lainnya (tak dapat dipahamkan kepada yang lainnya.) Jika kita amati secara seksama, kita dapat memberikan beberapa asumsi dari pernyataan-pernyatan mereka itu. Pertama, mereka melontarkan pernyataan-pernyataan tersebut demi kepentingan politik pada zamannya. Kedua, mereka ingin meletakkan manusia pada derajat terendah (artinya. Ini adalah satu penghinaan terhadap manusia). Ketiga, mereka hanya sekadar “bermain-main” dengan bahasa. Dengan demikian segala macam tolok ukur etika, agama, politik, dan kebenaran akan rubuh. Akibatnya, segala macam bentuk pelanggaran-pelanggaran etika, agama, dan politik dapat dibenarkan dengan justifikasi-justifikasi mereka. Pada akhirnya, tidak akan tersisa tempat bagi kebenaran absolut. Statement dalam paham skeptisme --atau diistilahkan dengan sophistika-- yaitu “tidak ada pengetahuan absolut yang dapat diyakini oleh manusia” dapat kita teliti secara seksama, sebagaimana akan kami uraikan berikut ini.
Kritik Terhadap Paham Sophistika
Ada beberapa premis yang harus kita pahami sebelum kita mengkitik paham ini, yaitu sebagai berikut. 1. Dengan melihat kembali sejarah munculnya paham ini, kita dapat memahami apa yang diinginkan oleh penganut paham ini dan latar belakang apakah yang menjadikan mereka berpaham demikian. Kemampuan beretorika di dalam pengadilan yang dapat “mengubah” dan memenangkan kesalahan. Tentu, ini semua mereka dapatkan dengan membuat beberapa pengelabuan dan pembohongan terhadap manusia awam ataupun orang-orang yang berkepentingan politik di zamannya. Salah satu cara yang mereka gunakan untuk mengelabui orang awam adalah dengan bahasa yang diputarbalikkan. Contohnya, pernyataan seperti: Aghre mencintai isterinya, begitu pula Agreei. Dalam kalimat ini dapat kita temukan dengan jelas penyamaran bahasa karena kalimat tersebut bisa menimbulkan pemahaman beragam. Pemahaman yang mungkin muncul adalah: 1) Aghre mencintai isterinya begitu pula Agreei mencintai isteri Aghre. 2) Aghre mencintai istrinya dan Agreei mencintai isterinya sendiri. 3) Aghre mencintai Agreei. Dengan menciptakan pemahaman yang beragam dari statement tersebut, mereka dapat menyatakan bahwa tidak kebenaran absolut bagi manusia. Alasannya, manusia untuk dapat memahami pikiran orang lainnya menggunakan alat berupa huruf-huruf yang tersusun menjadi kata-kata, dan kata-kata tersebut tersusun menjadi bahasa. Sementara itu, bahasa dapat dipahami secara beragam dan bergantung terhadap asumsi masing-masing individu. Akibatnya, kebenaran pun mengalami hal yang sama. Jika kita memfokuskan kritikan pada masalah bahasa maka dapat kita sodorkan beberapa kritik, yaitu sebagai berikut. a. Di dalam bahasa juga terdapat beberapa aturan yang harus dijaga oleh penggunanya. Bila aturan ini tidak dijaga, akan terjadi kesalahpahaman audien. b. Realitas yang ada di hadapan kita tak dapat diubah dengan hanya menggunakan bahasa. Contohnya, bila kita memiliki pengetahuan bahwa api itu panas dan membakar maka siapapun tak akan dapat mengubahnya dengan bahasa sehingga kita dapat meyakini bahwa api itu dingin dan tak membakar. Ada sebuah anekdot dalam hal ini. Dahulu kala, hidup seorang bernama Juha. Ia datang ke suatu perkampungan dan membohongi penduduk setempat dengan mengatakan bahwa di kampung A sedang dibagikan makanan secara gratis. Akibatnya, seluruh penduduk tadi berbondong-bondong meninggalkannya menuju kampung yang ia sebutkan. Melihat kenyataan demikan, dia pun akhirnya beranggapan bahwa apa yang ia katakan ada kemungkinan benarnya. Lalu, ia pun berangkat menuju ke kampung tersebut. Anekdot tersebut terlihat pas untuk menggambarkan kaum sophis. Mereka menyebarluaskan paham “tidak ada kebenaran absolut yang dapat diyakini oleh manusia” dengan kemampuan retorika mereka. Awalnya, paham ini disebarluarkan untuk sekedar untuk mencari sesuap makanan di pengadilan dan untuk kepentingan politik. Namun akhirnya, ketika masyarakat awam meyakininya, mereka pun ikut meyakininya. Kita dapat mengajukan kritik terhadap pendapat mereka dari sudut pandang lainnya yang lebih logis. Setiap manusia selalu merasakan adanya kebutuhan terhadap suatu objek (misalnya, kebutuhan terhadap makanan) di dalam kehidupannya sehari-hari. Dari situlah ia merasa dirinya ada dan objeknya itu pun ada. Manusia dapat saja mengatakan bahwa dirinya mengingkari keberadaan realitas secara mutlak, tetapi itu semua hanya sebatas verbal (kata-kata), bukan satu keyakinan yang ada pada lubuk hati ataupun akal budinya. Hal ini disebabkan segala macam bentuk pengingkaran terhadap realitas secara mutlak adalah keyakinan pada keberadaan realitas itu sendiri. Paling sedikit, ia telah menyadari bahwa dirinya yang telah mengingkari realitas. Artinya, tanpa disadarinya, dia telah meyakini adanya dua hal. Pertama, dirinya sendiri. Kedua, realitas yang akan ia ingkari (walaupun realitas itu dalam bentuk sebuah gambaran yang ada di akal budi). Statement kaum sophis juga bisa kita kritik dengan cara mengajukan pertanyaan "Apakah statemen itu absolut atau tidak?" Terlihat di sini, ada kontradiktif yang terjadi. Jika jawabannya tidak, berarti masih dimungkinkan bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang absolut. Jika jawabannya ya, paling tidak mereka telah meyakini satu hal yang absolut yaitu statement tersebut. Hal ini tentu bertentangan dengan statement mereka sendiri karena dengan demikian telah terealisasi satu pengetahuan yang “absolut” dan “benar” menurut mereka. 2. Oleh karenanya, terlebih dahulu kita harus mempercayai ataupun mengimani adanya realitas sehingga kajian dari pembahasan ini lebih terarah. Semakin kita berbicara tentang realitas semakin kuat pula keimanan kita terhadapnya. Ini semua dikarenakan keberadaan realitas adalah hal yang sangat apriori. Para filosof Islam, seperti AllamahThabathabai, Molla Hadi Sabzawari, dan Molla Shadro dalam karya-karya mereka selalu memulai kajian dengan pembahasan tentang adanya realitas (wujud / being) sebelum membahas yang lainnya. Hal ini disebabkan penerimaan terhadap realitas adalah kunci dan modal bagi bahasan yang lainnya. Pada makalah kami ini, bahasan tidak dimulai dengan kajian tentang realitas (wujud) dengan anggapan bahwa kita bukanlah kaum sophis. Oleh karena itu, kita langsung masuk pada permasalahan epistemologi yang merupakan satu bagian dari realita tersebut.
Pandangan Filosof Muslim
Sebagai pengantar dari pembahasan ini telah kita singgung bahwa kajian tentang epistemologi dalam Islam tidak tersusun secara rapi, bahkan “berserakan”dalam beberapa kajian filsafat. Oleh karena itu, seyogyanya kita telaah secara sekilas beberapa kajian tersebut agar kita mendapatkan pandangan yang universal terhadap bahasan ini. Beberapa pandangan umum terhadap kajian epistemologi di dalam literatur Islam antara lain sebagai berikut. 1. Pembahasan Filosofis Berkenaan dengan Kategori Realitas di alam ini oleh para filosof dibagi-bagi dalam beberapa kategori. Misalnya, manusia dan hewan dikategorikan sebagai makhluk hidup. Makhluk hidup dan makhluk tak hidup dikategorikan sebagai materi. Materi dan non materi dikategorikan sebagai substansi. Substansi inilah yang menempati kategori tertinggi (jins 'aly). Artinya, realitas di alam ini terbagi-bagi menjadi beberapa jins 'aly, antara lain, substansi, kualitas, madah (bahan materi), dan shurah (bentuk) Dalam makalah ini akan dibahas kategori kaif (kualitas). Kaif ini dibagi menjadi empat bagian: kaif mahsus (kualitas yang dapat diindera), kaif nafsani (kualitas yang ada pada jiwa), kaif khusus yang berhubungan dengan kuantitas dan kaif isti'dadi (kualitas potensial).Untuk kaif nafsani, mereka menyebutkan beberapa contoh antara lain: keinginan, rasa sakit, kehendak, dll. Mereka meletakkan ilmu sebagai bagian dari kaif nafsani. Ilmu yang masuk dalam bagian kaif nafsani tersebut adalah ilmu hushuli. Oleh karena itu, ilmu hushuli adalah sifat (aksidental) bagi jiwa (nafs). Dalam pembahasan kategori, para filosof melihat dan meninjau ilmu dari kaca mata ontology. Jadi, salah satu dari sisi ilmu adalah sifat ontologisnya. Dari sudut pandang ini, mereka melihat ilmu sebagai salah satu fenomena yang ada dan nyata. Tapi, yang masih sering menjadi bahan pertanyaan adalah hal yang berkaitan dengan hakekat dan esensi ilmu tersebut. Kadang-kadang, seseorang mengetahui sesuatu ada di pikirannya sebagai fenomena yang ada di dalam dirinya. Akan tetapi, belum jelas baginya hakekat dan esensinya. Contohnya, kita telah mengetahui warna merah. Akan tetapi, pertanyaan yang mengarah kepada kita ialah apakah esensi dari warna merah itu?Apakah ia bersifat aksidensial ataukah subtansial? Apakah keberadaannya independen ataukah tidak? Berkaitan dengan pertanyaan yang mengarah pada hakekat dan esensi ilmu tadi, para filosof menjawab bahwa keberadaan ilmu bahwa bagian dari masalah aksidental bukan subtansial. Dengan kata lain, ilmu dikategorikan ke dalam kaif nafsani. 2. Kesatuan Subjek dan Objek Masalah kesatuan objek dan subjek pengetahuan adalah salah satu kajian filosofis yang pada awalnya dimunculkan oleh Fakhr Al-Razi. Akan tetapi, kajian ini mengalami perkembangan yang cukup pesat pada zaman Mulla Shadra. Dalam kitab monumentalnya, "Al-Asfar Al-Arba'ah", beliau menjelaskannya secara terperinci masalah-masalah yang berhubungan dengan tingkatan-tingkatan ilmu, pembagian ilmu kepada intuitif knowledge dan empirical, serta pembahasan tentang kesatuan objek dan subjek pengetahuan. 3. Wujud Dzihni (Wujud yang Ada di Dalam Pikiran) Masalah wujud dzihni ini menjadi pembeda signifikan antara filosof dengan teolog (mutakallimin). Para teolog mengingkari masalah ini dengan memaparkan pendapat yang bertentangan dengan pendapat para filosof. Mereka memunculkan pandangan “idhafah” ataupun “syabah”. Menurut para filosof, pengingkaran terhadap masalah wujud dzihni ini akan menjadikan manusia sophistik. Yang menghubungkan antara understanding dan external hanyalah esensi. Bila ini diingkari maka tidak akan ada hubungan apapun di antara keduanya. Akibatnya, muncullah sophistika. 4. Salah satu dari masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah understanding dan external adalah tolok ukur benar dan salah. Agar ilmu kita benar harus memiliki tolok ukur yang jelas. Dengannya, kita bisa terlepas dari belenggu sophistika. Dari pembahasan ini, bercabang beberapa pembahasan, yaitu a) makna hakekat (truth), b) definisi kesamaan dengan hakekat --dengan kata lain, teori kesamaan dengan hakekat ( the correspondence theory of truth)-- dan c) pembahasan tentang letak tolok ukur tersebut; apakah hanya sekedar permainan bahasa, permainan akal budi manusia ataukah memang benar-benar ada. Pembahasan ini dikenal dengan pembahasan state of affairs (nafs al-amr). Masalah ke-4 ini sangat penting bagi kita sebagai orang yang beragama.Kita dituntut mencari kebenaran agama kita. Untuk itu, kita harus mempertanyakan di mana tolok ukur kebenaran agama, sebatas manakah asas-asas agama mengenai state of affairs, ataukah agama hanyalah buatan manusia yang sama sekali tidak memiliki tolok ukur kebenaran dan hakekat. Sebagai manusia yang berpikir, kita tidak boleh mendiamkan masalah ini berjalan begitu saja tanpa penyelesaian. Kajian terakhir ini disebut dengan epistemologi agama dan di dalamnya juga dibahas tentang dasar-dasar epistemologi agama. Ketika kita dapat membuktikan kebenaran agama maka dari situlah kita dapat membicarakan tentang pluralisme agama: apakah pluralisme agama itu benar ataukah tidak; di manakah letak benar dan salahnya pluralisme agama; sebatas manakah pluralisme agama menyentuh state of affairs atau sama sekali tidak memiliki hubungan dengannya; dan selanjutnya. 5. Setelah kita selesai melakukan kritik terhadap sophistika dan telah kita buktikan kesalahan paham ini, kita akan memasuki permasalahan baru, yaitu batasan kemampuan akal budi manusia. Kita berpijak pada satu dasar yang pasti bahwa, di dalam diri manusia ada kecondongan dan keinginan rasa tahu terhadap sesuatu. Tetapi, apakah ia mampu untuk mengetahui segala macam yang ia inginkan ataukah tidak. Dari sinilah muncul beragam pandangan mengenai hal tersebut. Dengan kata lain, apakah manusia memiliki kemampuan untuk mengetahui apa saja yang ia inginkan ataukah tidak. Sebagian dari para filosof berpendapat bahwa kemampuan manusia hanya terbatas pada hal-hal material yang dapat ia indra dan bahasan metafisik keluar dari kemampuannya. Kaum gnostic berpendapat bahwa di alam ini ada hakekat yang akal budi manusia tidak akan sampai padanya. Para filosof muslim meyakini bahwa akal budi manusia mampu mengetahui hal-hal fisik ataupun metafisik, akan tetapi ketika berhadapan dengan masalah zat Tuhan mereka berhenti dan diam. Dari beberapa pendapat yang ada di atas, ada pesan yang tersirat, yaitu bahwa ilmu manusia terbatas. “Satu dasar” tersebut adalah pijakan kita untuk memasuki ke dalam pembahasan-pembahsan selanjutnya. Dan jika kita ingin mengaji dan menggali dasar tersebut, kita akan berhenti pada satu permasalahan baru yaitu intuitiv knowledge (ilmu hudhuri). Oleh karena itu, penolakan terhadap realita seperti yang dilakukan sophistika sama sekali tidak benar dan keluar dari batas-batas akal karena pijakan kita adalah hal-hal yang kita rasakan di dalam diri kita.

Read More....

Jumat, 10 Februari 2012

JAMI’AL-BAYAN FI TA’WIL AI AL-QUR’AN (TAFSIR ATH-THABARY)

By Rama


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah sumber ajaran Islam. Kitab Suci itu, menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keIslaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat ini.
Sementara dalam peta pemikiran Islam, aktivitas yang menandai geliat intelektual dan dinamika pemikiran Islam adalah kata Tafsir, yang berarti menguraikan dan memjelaskan segala sesuatu yang dikandung Al-Qur’an. Tidak ada istilah atau term dalam Islam yang cukup menjelaskan proses penalaran yang lebih produktif dalam Islam selain kata tafsir. Tafsir, dalam pengertian yang lebih luas, adalah dialog antara teks Al-Qur’an yang memuat cakrawala makna di dalamnya, dengan horizon pengetahuan manusia dan problematika kehidupannya yang terus mengalami perubahan dan dinamika yang tidak pernah berhenti. Dengan demikian, kekayaan dan signifikansi teks Al-Qur’an sangat tergantung pada capaian-capaian pengetahuan sang penafsir. Semakin tinggi tingkat pengetahuan dan keilmuan penafsir, maka makin beragam dan signifikan pula makna yang dihasilkan.
Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, melalui penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju-mundurnya umat. Sekaligus, penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.
Oleh karena itu dibutuhkan perangkat metodologi penafsiran yang berfungsi mengarahkan dan membimbing penafsiran itu sendiri. Disinalah letak urgensitas dari makalah ini, sebab dalam makalah ini penulis membahas mengenai Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil ai Al-Qur’an yang lebih dikenal dengan sebutan At-Tafsir Ath-Thabary. Mulai dari biografi penafsir sampai metodologi, corak bahkan kecenderungan yang terkandung dalam kitab tersebut. Sehingga kita dapat mengetahui metodologi seperti apa yang digunakan oleh Ath-Thabary dalam menafsirkan teks Al-Qur’an.
Dengan membahas kitab tafsir terdahulu yang menjadi rujukan para ulama, kita dapat memperoleh khazanah pengetahuan yang lebih terkhusus dalam menafsirkan teks Al-Qur’an, maulai dari metode, corak, bentuk, sumber dan lainnya yang digunakan oleh mufassir terdahulu. Serta kita dapat menghindari interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an yang dilatar belakangi oleh tendensi-tendensi tertentu yang dapat merusak hakikat dari makna yang terkandung dari teks Al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang penulis paparkan sebelumnya maka untuk menghindari kekeliruan dan mewujudkan pembahasan yang lebih terarah dan intens maka penulis akan merumuskan hal-hal yang dibahas dalam penulisan makalah ini:
1. Bagaimana kehidupan Imam Ath-Thabary sebagai seorang ahli tafsir?
2. Bagaimana penafsiran Ath-Thabary terhadap teks Al-Qur’an?
3. Apa yang menjadikan tafsir Ath-Thabary sebagai salah satu kitab tafsir yang monumental?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui bagaimana konsep penafsiran Imam Ath-Thabary terhadap Al-Qur’an yang tertuang dalam kitab tafsirnya yaitu Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil ai Al-Qur’an. Menghindari rigoritas penafsiran dengan semua dimensi negatifnya, dan menuju pada kearifan hermeneutis yang bisa melahirkan interpretasi yang bijak, dengan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Sehingga kita dapat memecahkan persoalan-persoalan pelik umat manusia pada semua dimensi ruang dan waktu.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Imam Ath-Thabary
1. Nama dan Tempat Lahir
Nama Imam Ath-Thabary adalah Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib Ath-Thabary. Nama kunyah atau panggilannya adalah Abu Ja’far. Kelahirannya berdasarkan pendapat yang kuat adalah beliau lahir di Amal Ath-Thabarystan dua puluh kilo meter arah selatan danau laut Kaspia pada 224 H/839 M. Seorang ulama serba bisa (polymath) pakar Tafsir, Hadits, Sejarah, Ilmu riwayat, Fiqih dan Qira’at. Juga seorang penulis prolifik yang sudah mencapai derajat mujtahid.
Tidak banyak sumber yang mengupas kehidupan pribadi Ath-Thabary, kecuali bahwa ia merupakan pribadi sederhana yang mencurahkan seluruh usianya untuk mengabdi pada ilmu pengetahuan. Hari-harinya dihabiskan untuk mengajar dan membukukan gagasan-gagasannya. Ath-Thabary selalu menampik tawaran menjadi Qadhi dan penasihat pemerintah, ia juga tidak sempat menikah. Ath-Thabary wafat pada februari 923 M setelah selang beberapa waktu dicekal dan dikucilkan oleh kelompok ekstrimis fanatik dari madzhab Hanbali.
2. Semangatnya Dalam Mencari Ilmu
Perjalanan ilmiyahnya dimulai sejak ia hafal Al-Qur’an pada usia tujuh tahun dan mulai mempelajari Hadis pada usia sembilan tahun. Sejarah menjadi disiplin ilmu pertama yang menjadi spesialisasi Ath-Thabary. Di kota Ray (sekarang Teheran) dalam asuhan Abu Abdillah Muhammad ibn Humayd al-Razi Ath-Thabary mendalami karya-karya ibnu Ishaq dan sumber-sumber kesejarahan Islam awal dan pra Islam. Selanjutnya Ath-Thabary pergi ke Baghdad untuk mendalami Fiqih Hanbali, sayang Ahmad ibnu Hanbal terlebih dulu wafat saat Ath-Thabary sampai di sana pada tahun 241 H.
Kemudian Ath-Thabary mengunjungi Ulama-ulama di seluruh Iraq mulai dari Basra, Wasit dan Kufah. Pada usia dua puluhan Ath-Thabary menuju Syria, Lebanon, Palestina dan Mesir. Di Beirut Ath-Thabary tercatat sebagai murid al-Abbas bin al-Walid al-'Udhri al-Bayruti dengan mengambil riwayat varian bacaan Al-Qur’an dan fiqh madzhab al-Auza’i. Kemudian Ath-Thabary pergi ke Mesir, bertemu dengan nama-nama besar seperti Muhammad bin Khuzaimah, Muhammad bin Nashr, Muhammad bin Harun dan sempat mengkaji fiqih Syafi’i dan Maliki.
3. Akhlaknya Yang Mulia
Apabila Abu Ja’far Ath-Thabary diberi hadiah, maka jika dia dapat membalas hadiah itu dengan yang lebih baik, hadiah itu akan diterima. Namun apabila dia tidak mampu, maka hadiah itu akan ditolak dengan ramah disertai permintaan maaf kepada pemberi hadiah. Abu Haija’ Ibnu Hamdan pernah memberikan hadiah kepada Abu Ja’far Ath-Thabary tiga ribu dinar. Setelah melihat hadiah tersebut, Abu Ja’far Ath-Thabary terkagum-kagum dan berkata, “Aku tidak bisa menerima hadiah yang aku tidak bisa membalasnya dengan yang lebih baik lagi. Dari mana aku mendapatkan uang untuk membalas hadiah sebanyak ini?”
Abu Ja’far Ath-Thabary selalu menjauhi sikap dan perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh ulama. Langkah demikian itu berlangsung sampai dia menghembuskan nafas terakhirnya. Pernah suatu ketika Abu Ja’far Ath-Thabary berdebat dengan Dawud bin Ali Azh-Zhahiri mengenai suatu permasalahan. Ditengah perdebatan, Abu Ja’far Ath-Thabary berhenti dan tidak meneruskan perkataannya, sehingga para temannya menjadi bertanya-tanya. Dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba salah seorang yang hadir berdiri, dengan spontan dia berkata-kata pedas dan menyakitkan yang ditujukan pada Abu Ja’far Ath-Thabary.
Mendengar perkataan yang demikian itu, Abu Ja’far Ath-Thabary tidak membalasnya sedikit pun dan tidak pula terpancing memberikan jawabannya. Dengan segera ia bergegas meninggalkan tempat itu dan menulis masalah perdebatannya itu dalam sebuah kitab.
4. Kemampuan Hafalan dan Kecedasannya
Diantara hal yang dapat menunjukkan kepandaian dan kecerdasan Imam Ath-Thabary adalah kisah Imam Ath-Thabary tentang dirinya sendiri tatkala dia mampu menguasai ilmu Arudh (ilmu tentang syair atau sajak) dalam tempo satu malam. Kisahnya adalah sebagai berikut: Imam Ath-Thabary berkata, “Tatkala aku tiba di Mesir, tidak tersisa seorang ahli ilmu pun kecuali mereka menemuiku untuk mengujikan apa yang telah dikuasainya.
Pada suatu hari, datang kepadaku seorang laki-laki bertanya tentang sebagian tertentu dari Arudh yang aku sendiri belum mengetahui tentang Arudh. Akhirnya aku katakan kepadanya, ‘Aku tidak bisa bicara, karena hari ini aku tidak akan membicarakan masalah Arudh sedikit pun. Tetapi datanglah besok dan temui aku.’ Lalu aku pun meminjam Kitab Arudh karya Khalil Ahmad dari temanku. Malam itu aku pelajari Kitab Arudh tersebut dan pagi harinya aku telah menjadi seorang ahli Arudh.”
5. Kezuhudan dan Kewara’annya
Al-Farghani berkata, “Muhammad bin Jarir Ath-Thabary tidak takut celaan dan cercaan manusia, biarpun itu terasa menyakitkan. Cercaan itu muncul dari orang-orang bodoh, hasad, dan yang mengingkarinya. Adapun manusia berilmu dan ahli menjalankan agama, maka mereka tidak akan mengingkari kapasitas dan kredibilitas Muhammad bin Jarir Ath-Thabary.
Mereka juga mengakui kezuhudannya dari dunia dan qana’ah dengan merasa cukup menerima sepetak tanah kecil peninggalan ayahnya di Ath-Thabarystan. Perdana menteri Al-Kharqani bertaklid kepadanya, lalu ia mengirimkan uang dalam jumlah yang besar kepadanya. Akan tetapi, dia tetap menolak pemberian tersebut. Ketika Ibnu Jarir At-Ath-Thabary ditawarkan kedudukan qadhi (hakim) dengan jabatan wilayah al-mazhalim, dia pun menolaknya.
Akibat penolakan ini, teman-teman Ibnu Jarir mencelanya. Mereka berkata, ‘Ketika kamu terima jabatan ini, maka kamu akan mendapatkan gaji tinggi dan akan dapat menghidupkan pengajian sunnah yang kamu laksanakan.’
Pada dasarnya, mereka ingin sekali memperoleh jabatan tersebut. Namun dengan perkataan mereka itu, akhirnya Ibnu Jarir membentak mereka seraya berkata, ‘Sungguh, aku mengira kalian akan mencegahku ketika aku senang jabatan tersebut.’
6. Masa Belajar, Guru-guru dan Murid-muridnya
Banyak kota-kota yang ia singgahi sampai ia tidak puas dengan hanya memasukinya sekali, ia masuk ke kota tersebut beberapa kali untuk memuaskan hasrat keilmuannya, di antara kota-kota tersebut adalah Baghdad, di kota ini ia mengambil mazhab Syafi’iyyah dari Hasan Za’farani, kemudian Bashrah, di kota ini ia belajar hadits kepada Abu Abdullah as-Shan’ani, lalu di Kufah, di sana ia belajar ilmu puisi kepada Tsa’lab dan masih banyak lagi kota lainnya seperti Mesir, Beirut dan Damaskus. Pada akhirnya Imam Ath-Thabary sempat pulang ke tanah kelahirannya di Thaburstan pada tahun 290 H, tapi tak lama kemudian kembali ke Baghdad dan menjadikannya tempat persinggahan terakhir untuk mencurahkan seluruih aktifitas ilmiyahnya hingga beliau wafat.
Guru beliau 40 orang lebih, diantaranya: “Muhammad bin Abdul Malik in Abi Asy Syawarib, Ismail bin Musa As Suddi, Ishaq bin Abi Isroil, Muhammad bin Abi Ma’sar, Muhammad bin Au fat-Tha’i, Musa bin Sahal ar-Ramali, Muhammad bin Abdullah dan yang lainnya. (didalam tafsir beliau didapatkan, bahwa guru beliau berjumlah 62 guru).
Imam al-Nawawi menambahkan sejumlah nama guru al-Ath-Thabary lainnya, terutama mereka yang juga menjadi guru al-Bukhari dan Muslim dalam bidang hadits, seperti Abd al-Malik ibn Abu al-Syawarib, Ahmad ibn Mani` al-Baghawi, al-Walid ibn Syuja`, Abu Kuraib Muhammad ibn al-`Ala’, Ya`qub ibn Ibrahim al-Dauraqi, Abu Sa`id al-Asyaj, `Amr ibn Ali, Muhmmad ibn al-Mutsanna dan Muhammad ibn Yasar.
Karena kedalaman ilmu Imam Ath-Thabary, maka wajar saja bila orang-orang ketika itu berlomba untuk menampung samudera ilmu yang terpancar dari beliau. Di antara sekian banyak ulama yang mengambil ilmu dari beliau : Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Nashr, Ahmad bin Qasim bin Ubaidillaah bin Mahdi, Sulaiman bin Ahmad bin Ayub al-Lakhmi, Muhammad bin Ahmad bin Hamdan bin Ali.
Teman-teman dari Ibnu Jarir Ath-Thabary, di antaranya : Ahmad bin Abdullah bin Ahmad al-Farghani,ia juga meriwayatkan karangan dari Ibnu Jarir, di antara karangan al-Faraghani adalah Sirah al-Aziz Sulthan al-Mishr dan kitab Sirah Kafur al-Ihsyidi. Ibnu Yazid Abi Bakar al-Qardhi, yang menjadi hakim di daerah Kufah, di antara karangannya adalah kitab Gharib Al-Qur’an, kitab al-Qiraat, kitab at-Taqrib fi Kasyfi al-Gharib, dan kitab al-Mukhtashar fi al-Fiqh.


7. Karya-Karyanya
1. Jami’Al-Bayan fi Ta’wil ai Al-Qur’an yang lebih dikenal dengan sebutan At-tafsir Ath-Thabary
2. Tarikh Umam wa Al-Muluk yang lebih dikenal dengan Tarikh Ath-Thabary
3. Dzail Al-Mudzil
4. Ikhtilaf ‘Ulama Al-Amshar fi Ahkam Syara’I Al-Islam yang lebih dikenal dengan Ikhtilaf Al-Fuqaha
5. Lathif Al-Qaul fi Ahkam Syara’I Al-Islam, yaitu fiqih Al-Jariri
6. Adab Al-Qudhah
7. Al-Musnad Al-Mujarrad
8. Al-Qiraat wa Tanzil Al-Qur’an
9. Mukhtashar Manasik Al-Hajj
10. Al-Mujiz fi Al-Ushul
11. Musnad Ibnu ‘Abbas, dan masih banyak lainnya.
12. Kitab Al Jaami’ fiel Qira’at
13. Kitab Haditsul Yaman
14. Kitab Ar Rad ‘Ala Ibni ‘Abdil Hakim
15. Kitab az- Zakat
16. Kitab Al ‘Aqidah
17. Kitabul fadhail
18. Kitab Fadhail Ali Ibni Thalib
19. Kitab Mukhtashar Al Faraidz
20. Kitab Al Washaya,
Dan masih banyak lagi kitab-kitab beliau yang tidak disebutkan disini.
8. Mazhab dan Aqidah Imam Ath-Thabary
Al Faroghi berkata: “Harun bin Abdul Aziz bercerita kepadaku:” Abu Ja’far Ath-Thabary berkata: “aku memilih Madzhab imam Syafi’I, dan aku ikuti beliau di Bagdad selama 10 tahun
As Suyuthi berkata dalam kitab “Thobaqotul Mufassirin” “Pertama, beliau bermadzhab Syafi’I, lalu membuat madzhab sendiri, dengan perkataan-perkataan dan petikan-petikan sendiri, dan beliau mempunyai pengikut yang mengikutinya. Dan aqidahnya adalah Aqidah Salaf as-Shalih
Imam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawanya mengatakan bahwa Imam Ath-Thabary adalah imam Ahlu Sunnah, hal ini beliau katakan ketika membahas mengenai Al-Qur’an kalamullah.
Imam Ibnu Qayyim mengatakan, yang maknanya adalah bahwa Imam Ath-Thabary adalah Ahlu Sunnah. Hal ini dapat diketahui dari tulisan beliau Sharih as-Sunnah. Dan masih banyak lagi pernyataan para ulama mengenai aqidah beliau.
9. Pendapat Ulama tentang Imam At Ath-Thabary
Banyak ulama yang memuji Ath Ath-Thabary. Mereka mengatakan: Dia adalah seorang ‘alim yang tsiqah (bisa dipercaya), salah satu imam besar Ahlus Sunnah, pendapatnya diambil, dan keluasan ilmunya dijadikan referensi, dan memiliki manhaj yang lurus. Dia meninggalkan sejumlah karya bermanfaat, yang paling terkenal adalah kitab tafsir besar, Jami’ Al Bayan ‘fi Ta’wilil ai Quran, dan mayoritas ulama mengenalnya dengan sebutan Tafsir Ath Ath-Thabary. Ini merupakan tafsir lengkap pertama yang sampai kepada kita, dan setiap mufassir yang datang setelahnya telah mengambil manfaat darinya. Oleh karena itu, para ulama menyebutnya sebagai Bapak Tafsir, sebagaimana dia juga disebut Bapak Sejarah, lantaran dia memiliki karya besar dalam bidang sejarah yang tidak pernah ada manusia yang membuat semisalnya, kecuali karya sebelumnya tidak bisa dipegang secara meyakinkan. Kitab tersebut diberi judul Tarikhul Umam wal Muluk. Dia juga membuat karya, Tahdzibul Atsar, dan lain-lain. Beliau wafat di Baghdad.
Banyak didapati pengakuan terhadap Imam Ath-Thabary dalam usahanya mengembangkan Tafsir, seperti berikut ini:
Imam An Nawawi dalam Tahdzibnya mengemukakan: “Kitab Ibnu Jarir dalam bidang tafsir adalah sebuah kitab yang belum seorangpun ada yang pernah menyusun kitab yang menyamainya. Beliau juga pernah mengatakan: “”Umat telah bersepakat tidak ada yang menyamai tafsir beliau ini.”
Imam as-Suyuthi, seorang mufasir menyatakan seperti berikut: “Kitab ibnu Jarir adalah kitab tafsir paling agung (yang sampai kepada kita). Didalamnya beliau mengemukakan berbagai macam pendapat dan mempertimbangkan mana yang lebih kuat, serta membahas I’rob dan istimbat. Karena itulah ia melebihi tafsir-tafsir karya para pendahulu.” Syaikh Islam Ibnu Taimiyah telah memuji Imam Ath-Thabary, antara lain mengatakan: “Adapun tafsir-tafsir yang ditangan manusia, yang paling dahulu adalah tafsir Ibnu Jarir Ath thobari, bahwa beliau (Ibnu jarir) menyebutkan perkataan salaf dengan sanad-sanad yang tetap, dan tidak ada bid’ah sama sekali, dan tidak menukil dari orang yang Muttahim, seperti Muqotil bin Bakir dan Al Kalbi.”
As-Suyuthi telah meneliti thabaqah mufasir sejak awal kemunculan ilmu ini, dan ketika sampai pada Abu Jafar, ia menempatkannya pada thabaqah (tingkatan) yang pertama, kemudian ia berkata: “jika engkau bertanya: Tafsir apa yang engkau sarankan dan dijadikan sebagai bahan rujukan? Maka aku katakan: Tafsir Ibnu Jarir, yang para ulama telah bersepakat bahwa belum ada kitab tafsir yang semisalnya.”
Abu Muhamamad Abdullah bin Ahmad bin Jafar al-Farghani mengatakan bahwa ia pernah bermimpi mengikuti Majlis ilmu Abu Jafar dan manusia kala itu sedang membaca kitab Tafsir Ibnu jarir, lantas aku mendengar suara dari antara langit dan bumi yang mengatakan: Barangsiapa ingin mendengarkan Al-Qur’an sebagaimana ia turun, maka dengarkanlah kitab ini.
B. Sekilas Tentang Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Ayi Al-Qur’an
Jami’ al-bayan fi Ta’wil ai Al-Qur’an atau lebih dikenal dengan Tafsir Ath-Thabary adalah karya Ath-Thabary yang belum dijumpai padanannya. Karya yang sempat hilang berabad-abad sebelum ditemukan pada abad 19 dan pertama kali dicetak di Cairo pada tahun 1903 ini, merupakan sebuah kitab Tafsir paling berpengaruh sepanjang sejarah. Akan sangat mudah menemukan pengaruh Ath-Thabary dalam tafsir karangan Ibnu Katsir, al-Baghawi, al-Razi, al-Samarqandhi, Abu Hayyan, al-Zamahsyari dan mufassir lainnya. Bejibun karya tafsir dalam aneka macam metode dan madzhabnya layaknya etalase untuk memajang ide-ide Ath-Thabary.
Imam Ath Ath-Thabary telah merasakan sejak lembaran-lembaran awal tafsir beliau bahwa ia sedang membuat karya yang lebih sempurna dari karya serupa yang pernah ditulis pendahulunya. Dalam hal ini Ia berkata,"Ketika saya mencoba menjelaskan tafsir Al Quran dan menerangkan makna-maknan yang Isnya Allah menjadi kitab yang mencakup semua hal yang perlu diketahui manusia melebihi kitab lain yang ada sebelumnya. Saya berusaha menyebutkan dalil-dalil yang disepakati seluruh umat dan yang diperselisihkannya, menjelaskan alasan setiap madzab yang ada dan menerangkan alasan yang benar menurut saya dalam permaslahan yang terkait secara singkat."
Konon Sai’d menulis kitabnya tersebut atas permintaan Abdul Malik bin Marwan sebagai koleksi di perpustakaan istananya. Ada juga laporan yang menyatakan sarjana-sarjana Tabi’in seperti Mujahid bin Jabr, Ikrimah, Hasan al-Bashri, Ata’ bin Abi Rabah dan Sufyan Tsauri telah menulis semacam karya tafsir. Demikian pula dengan karya dari para Tabi’ tabi’in semisal Abdur Razzaq al-Shan’ani, Ibnu Juraij, Said bin Abi Arubah, Ishaq bin Rohuyah yang nuansa tafsirnya sangat kental tapi agaknya belum dapat dikatakan lepas dari disiplin hadis. Bahkan Muhammad Husain Dzahabi dengan tegas menyatakan Tafsir Ath-Thabary adalah kitab tafsir paling awal dan metodenya merupakan model percontohan bagi karya tafsir sesudahnya.
C. Pendapat Ulama Tentang Tafsir At-Thabary
Imam Suyuthi dalam Al-Itqan mengatakan, "Ia adalah tafsir yang paling baik dan besar, memuat pendapat-pendapat para ulama, dan sekaligus menguatkan pendapat-pendapat itu, dan memuat uraian nahwu serta istinbath hukum. Dengan kelebihannya itu, ia menempati kualitas teratas dari kitab-kitab tafsir sebelumnya."
Sedang Imam an-Nawawi berkata, "Umat Islam sepakat bahwa tidak ada seorangpun yang menulis tafsir sekaliber Tafsir Ath-Thabary."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkomentar, "Adapun dari tafsir-tafsir yang ada di tangan manusia, yang paling baik adalah tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabary. Ini karena ia menyebutkan ucapan-ucapan para salaf dengan sanad-sanad yang kokoh, tidak menukil kebid’ahan, dan tidak menukil dari orang-orang yang diragukan agamanya. Banyak pujian juga datang dari para ulama lainnya.
D. Bentuk Visual (Anotasi) Kitab Tafsir Ath-Thabary
Kitab tafisr Jami’ Al bayan Fi Ta’wil Ayi Al Qur’an atau lebih dikenal dengan Tafsir Ath-Thabary yang diterbitkan oleh Dar al kutub Al Ilmiah (Beirut) pada tahun 1992 M/1412 H terdiri atas 12 jilid dan memiliki jumlah halaman dan ketebalan yang bervariasi di tiap jilidnya. Kitab ini berukuran 28 x 20 cm, dengan menggunakan kertas berukuran qwarto 60 gram, hard cover atau edisi lux dan memiliki design sampul full color dengan dasar berwarna hitam yang berkombinasi dengan warna emas dan warna hijau.
Kitab ini menafsirkan tiap ayat dari Al Qur’an yang terbagi dalam 12 jilid dengan spesifikasi sebagai berikut:
 Pada jilid pertama terdiri dari 638 halaman yang pembahasannya dimulai dari surah Al Fatiha ayat 1 sampai surat Al baqarah ayat 141, yaitu juz 1.
 Pada jilid kedua terdiri dari 655 halaman yang membahas surat Al Baqarah Ayat 142 sampai 252, yaitu juz 2.
 Jilid ketiga tersusun dari 679 halaman dan membahas surat Al Baqarah ayat 253 sampai surat An Nisa’ ayat 23, yaitu juz 3 dan 4.
 Jilid keempat tersusun dari 671 halaman, membahas juz 5 dan 6 yaitu surat An Nisa’ ayat 24 sampai Al Maidah 81.
 Jilid kelima dari kitab ini membahas juz ke 7 dan 8 yaitu surat Al Maidah ayat 82 sampai surat Al A’raaf ayat 87 yang terdiri dari 559 halaman.
 Jilid keenam dari kitab ini membahas juz ke 9, 10 dan 11 yaitu surat Al A’raaf ayat 88 sampai surat Huud ayat 5 dan terdiri dari 640 halaman.
 Jilid ketujuh yang dibahas yaitu pada juz 12, 13 dan 14 surat Huud ayat 6 sampai surat An Nahl ayat 128 dan memiliki 685 halaman.
 Jilid kedelapan yang dibahas yaitu pada juz 15 dan 16 surat Al Isra’ ayat 1 sampai surat Tha Ha’ ayat 131 dan memiliki 496 halaman.
 Jilid ke sembilan membahas juz 17, 18 dan 19 yaitu surat Al Anbiya’ ayat 1 sampai surat An Naml ayat 55 dan terdiri dari 552 halaman.
 Jilid kesepuluh membahas surat An Naml ayat 56 sampai Az Zumar ayat 29 pada juz 20, 21, 22 dan 23, 654 halaman.
 Jilid kesebelas membahas mengenai surat Az Zumar ayat 30 sampai Al Hadid ayat 29 pada juz 24, 25, 26 dan 27 yang terdiri dari 720 halaman.
 Jilid terakhir atau kedua belas kitab Ath-Thabary membahas juz 28, 29 dan 30 yaitu dimulai dari surat Al Mujadalah ayat 1 sampai An Nas ayat 6 dan terdiri dari 782 halaman.

Gambar 1: Tafsir Jamiul Bayan Fi Ta'wil Ayi Al Qur'an Karya Imam At Ath-Thabary Yang Diterbitkan Oleh Daar Al Kutub Al Ilmiah Beirut (Libanon) Pada Tahun 1992 M/1412 H
Kitab Jami’ Al bayan Fi Ta’wil Ayi Al Qur’an atau Tafsir Ath-Thabary juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pustaka Azzam yang terbagi ke dalam 26 jilid dengan ukuran 23,5 cm, dan menggunakan HVS serta hard cover, diterbitkan pada tahun 2006. Dalam edisi ini telah ditahqiq oleh : Ahmad Abdullraziq Al Bakri, Muhammad Adil Muhammad, Muhammad abdul Latief Kholaf, Mahmud Mursi Abdul hamid. Disesuaikan dengan manuskrip asli dan revisi serta penyempurnaan atsa naskah Syaikh Al Muhadits Ahmad Muhammad Syakir dan Syaikh Mahmud Muhammad Syakir.
Dalam makalah ini penulis tidak menjelaskan spesifikasi dari tiap jilid tafsir Ath-Thabary yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia karena penulis merujuk pada kitab aslinya. Adapun penjelasan ini hanyalah bersifat umum dan hanya sebagai tambahan informasi.

Gambar 2: Terjemahan Tafsir At Ath-Thabary Yang Diterbitkan Oleh Pustaka Azzam
E. Metodologi Penafsiran
1. Bentuk Penafsiran
Tafsir Ath-Thabary termasuk kategori tafsir bi al-ma’tsur yaitu penafsiran berbasis tradisi atau teks. Penafsiran berbasis tradisi berarti sebuah penafsiran harus dibimbing oleh Al-Qur’an, Nabi SAW dan sarjana Islam masa awal. Dalam arti penafsiran diharapkan sebisa mungkin merefleksikan sumber-sumber Islam yang asli, dengan sebuah asumsi semakin dekat dengan Nabi SAW dan masa turunnya wahyu maka sebuah penafsiran akan semakin akurat. Penafsiran model ini sangat tergantung dan menekankan pentingnya jalur transmisi (isnad) sebagai ukuran otentisitas dan otoritasnya.
Tafsir bi Al-ma’tsur merupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul pertamakali dalam khazanah intelaktual Islam. Praktik penafsirannya adalah ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an al-Karim ditafsirkan dengan ayat-ayat lain, atau dengan Riwayat dari Nabi SAW, para sahabat dan juga dari Tabi’in.
Menurut kajian hermeneutika modern riwayat-riwayat tafsir bi al-ma’tsur termasuk kategori pemahaman orisinalitas makna yang standar. Sejenis metode pemahaman spontan yang bebas dari pengaruh makna-makna artifisial, atau pemahaman lugu dalam arti sama sekali belum bersentuhan dengan dimensi kritis maupun figurasi simbol-simbol. Di tangan Ath-Thabary pemahaman spontanitas standar yang berserakan dalam tafsir bi al-ma’tsur tersebut dibedah dengan metode riset cerdas sehingga berubah menjadi pemahaman filosofis yang kaya dan elegan.
Ibarat korpus tafsir Al-Qur’an yang resmi Tafsir Ath-Thabary mampu menyajikan penafsiran Al-Qur’an sangat lengkap, dengan memadukan lingkaran pemahaman internal (lafadh, makna) dan analisa eksternal (sejarah, riwayat). Ath-Thabary juga tidak hanya berhasil menyusun informasi komprehensif seputar penafsiran Al-Qur’an dari sarjana-sarjana masa sebelumnya (antara 670 M sampai 864 M), tetapi juga melengkapi penafsiran tersebut dengan postulat-postulat jika sesuai dengan pendapatnya atau berbalik mangkritisinya jika tidak sesuai. Ath-Thabary begitu percaya diri menggabungkan konsep riwayah dan dirayah, naql dan akal dan seperti yang kita saksikan ia telah berhasil memaksa teks-teks Al-Qur’an untuk ’berbicara’.
Ada dua gugus ide Ath-Thabary yang menarik diperhatikan karena bertalian erat dengan kelahiran metodologi tafsir. Pertama, mengenai posisi Ath-Thabary terhadap tafsir bi alra'yi. Dan yang kedua tentang nalar kritis kebahasaan yang ia kembangkan dalam tafsirnya. Ath-Thabary memposisikan riwayat tafsir baik dari Nabi, Sahabat maupun Tabi’in (tafsir bi al-ma’tsur) sebagai bahan baku penafsiran dan menolak penafsiran akal murni berdasarkan analisa bahasa saja.
Bagi At Ath-Thabary, riwayat tafsir dari generasi Islam awal merupakan ukuran keabsahan sebuah penafsiran. Karenanya jika jalur transmisi sebuah riwayat shahih serta didukung postulat kebahasaan yang memadahi sebuah tafsir akan dapat dipertanggung jawabkan. Di banyak tempat dalam tafsirnya Tabari kerapkali mengkritik kelompok-kelompok yang hanya menggunakan pendapat dan pemahaman bahasa dalam tafsir. Kritik-kritik tajam Ath-Thabary pada kelompok tersebut rata-rata disertai sanggahan ilmiah yang memuaskan . Dalam pembukaan tafsirnya Ath-Thabary juga menulis satu bab khusus untuk menolak penafsiran yang berdasar pendapat semata .
Dalam tafsirnya cukup jelas Ath-Thabary ingin melampaui aturan-aturan bahasa yang abstrak dan tidak membumi. Ia hendak menunjukkan superioritas penafsiran baik dari Nabi SAW sebagai pengemban wahyu, para Sahabat yang mengetahui kondisi diturunkannya atau Tabi’in sebagai generasi paling dekat mengalahkan penafsiran kebahasaan yang standar.
Sebagai contoh, dalam tafsir ayat ke dua surat al-Baqarah:


“Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”
Ath-Thabary menafsirkan lafadh ’dzhalika’ dengan ’hadza’ dan menyandarkannya pada riwayat Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, al-Suday dan Ibnu Juraij. Penafsiran ini jelas berbeda dengan aturan standar gramatika, karena lafadh ’hadha’ lazimnya digunakan sebagai isyarat bagi sesuatu yang ada dan terlihat sedangkan ’dhalika’ digunakan untuk sesuatu yang tidak tampak dan tak terlihat. Ath-Thabary beralasan jika ’dhalika’ dalam ayat ini lebih tepat bermakna ’hadza’ karena isyarat disitu ditujukan pada sesuatu baru saja dikabarkan tetapi sudah lewat. Ath-Thabary menjelaskannya lebih lanjut: setelah pada ayat sebelumnya Allah berfirman ”alif lam mim” seolah-olah Allah kemudian berfirman: wahai Muhammad inilah yang sudah aku tuturkan dan terangkan kepadamu ialah sebuah kitab. Maka lafadh ’dhalika’ digunakan untuk mengisyaratkan sesuatu yang tidak tampak meski sebenarnya mengandung makna ’hadza’ karena baru dikabarkan. Penafsiran ini diperkuat persepsi bahwa yang diisyratkan oleh lafadh ’dhalika’ disitu adalah surat-surat yang turun mendahului surat al-Baqarah baik di Makkah maupun Madinah. Sebab, walau surat-surat tersebut diturunkan terlebih dulu tetapi tetap bagian dari satuan kitab ini (Al-Qur’an).
Tafsir bil ma’tsur juga sangat membantu dalam menggali hukum-hukum agama dan dunia yang bersumber dari Al Quran. Sebagai contoh:
Ayat hukum pada surat Al Maidah ayat 90, berikut ini:


Atinya:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(QS. Al Maidah (5): 90)
Berikut ini atsar sahabat dan tabi’in tentang makna ayat: ... rijsun min ‘amalisy syaithan (adalah rijs dan termasuk perbuatan syaitan) ..., Ibnu Abbas mengatakan: kebencian (kemarahan). Ibnu Zaid mengatakan: keburukan. Tentang rijs, Ibnu Abbas mengatakan: syaitan. Sedangkan Mujahid mengatakan: segala sesuatu yang tidak baik. Dan Ibnu Zaid mengatakan: azab.
Sebenarnya, tidak sedikit para ulama yang menafsirkan rijs adalah najis, yang akhirnya sebagian ulama menyatakan najisnya jasad (istilahnya najis ‘aini) air khamrnya, uang judi, berhala, dan makanan sesajen.
Namun, demikian pendapat yang benar adalah makna rijs bukanlah najis, karena itulah yang dikuatkan oleh atsar para sahabat dan tabi’in. Dari sinilah disimpulkan bahwa minuman keras, uang judi, berhala, dan sesajen, secara fisik tidaklah najis. Semua ini adalah najis ma’nawi bukan najis ‘aini (najis zatnya). Dari sini pula pendapat yang mengatakan bahwa alkohol tidaklah najis. Pendapat ini, selain dikuatkan oleh tafsir terhadap ayat ini, juga dikuatkan oleh hadits-hadits lain.
Contoh lain, Ath-Thabary dalam menafsirkan Al-Qur’an Al-Baqarah ayat 79:


Artinya:
“Maka Kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka Kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan Kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.”(QS. Al-Baqarah: 79)
Para ulama berselisih pendapat dalam menafsirkan kata wail. Ada yang menafsirkannya dengan adzab (siksaan) atas mereka, sebagaimana terdapat dalam riwayat Ibnu Abbas. Ada pula yang mengatakan “lembah yang terdapat di dasar neraka, yang di dalamnya mengalir nanah”, dan ada pula yang menafsirkan lain. Sementara Asy Syaikh As Sa’dy mengatakan, wail adalah kerasnya siksaan dan penyesalan, yang di dalamnya mengandung ancaman yang sangat keras.
Berkata Al Allamah Ath Thabary dalam tafsirnya, yang dimaksud (ayat tersebut) adalah orang-orang yang mengubah-ubah kitab Allah dari kalangan Yahudi Bani Israil. Dan mereka menulis kitab berdasarkan apa yang telah mereka ubah dengan perubahan-perubahan yang menyelisihi apa yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya Musa as. Lalu mereka menjualnya kepada kaum yang tidak mengetahui perubahan tersebut dan tidak pula mengetahui isi kandungan Taurat (yang asli), disebabkan kejahilan mereka terhadap kandungan kitab-kitab Allah karena ingin mendapatkan dunia yang hina. Asal makna Al Kasbu adalah beramal. Maka setiap orang yang mengamalkan secara langsung dikatakan Al Kasib.
Indikasi Ath-Thabary sengaja menitik beratkan pemaknaan ayat-ayat Al-Qur’an layaknya diskursus melalui riwayat-riwayat dari generasi sebelumnya menguat seiring dengan banyaknya riwayat yang ia tuturkan menyangkut sebuah ayat. Bahkan ada kesan berlebihan karena sering terjadi pengulangan riwayat yang sama. Tetapi apa yang menjadi alasan Ath-Thabary untuk kemudian membedah dan menghakimi diskursus-diskursus tersebut dengan pendapatnya sendiri?
Ath-Thabary hidup pada masa dimana benturan antar aliran begitu dahsyat. Ketika perdebatan antara politik-agama, aliran teologi dan madzhab fiqh sudah mengintervensi pendekatan masing-masing terhadap Al-Qur’an. Saat dimana para Hanbalian kian intens menyebar doktrin tekstulisme dan Muktazilah getol menyuarakan elastisitas kebahasaan teks. Sementara itu para ahli fiqih sedang sibuk meributkan manakah yang lebih hebat antara pengetahuan tradisional (ilm) dan pendapat (ra’y). Dalam dunia keilmuan perbedaan semacam ini wajar terjadi, namun persoalan menjadi berbeda tatkala teks Al-Qur’an sudah dipolitisir untuk mendukung pilihan hukum, teologi dan pandangan politik.
Amanat ilmiah jelas tidak mengizinkan Ath-Thabary menjadi partisan kelompok-kelompok tersebut. Ath-Thabary mungkin termasuk diantara sarjana yang percaya jika pengetahuan tadisional (ilm) lebih sembada karena bisa diidentifikasi, memiliki sistem yang jelas serta tampak objektif, sedangkan pendapat (ra’y) kurang mudah dikontrol, terkait dengan preferensi pribadi dan cenderung inklinatif.
Tetapi yang tidak boleh dilupakan, tugas utama tafsir adalah mengomunikasikan pesan Al-Qur’an kepada khalayak. Penjelasan yang memadai amat diperlukan untuk mengcover perbedaan kapasitas intelektual dan psikologis mereka, karena setiap orang punya cara tersendiri untuk memahami sesuatu. Oleh karena itu sebuah penafsiran memerlukan penjelasan dengan level yang berbeda-beda. Disinilah kita melihat Ath-Thabary merasa perlu menyodorkan pendapat pribadinya, tentunya dalam kapasitas penyempurna dari rangkaian logika penafsiran yang ia buat.

2. Metode Penafsiran
Kitab ini dikenal dengan sebutan Tafsir at-Thabary, yang pembahasannya didasarkan atas riwayat-riwayat dari Rasulullah Saw, para sahabat, dan tabi’in.
Penerapan metode secara konsisten ia tetapkan dengan tahlili menurut perspepsi sekarang. Metode ini memungkinkan terjadinya dialog antara pembaca dengan teks-teks Al-Qur’an dan diharapkan adanya kemampuan untuk menangkap pesan-pesan yang didasarkan atas konteks kesejarahan yang kuat.
Tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Seorang penafsir yang mengikuti metode ini menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara runtut daru awal hingga akhirnya, dan surat demi surat sesuai dengan Mushaf Utsmani. Untuk itu, ia mengurikan kosa kata dari lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki, juga unsure-unsur I’jaz dan balaghah, serta kandungannya dari berbagai aspek dan hukum. Penasiran dengan metode tahlili juga tidak mengabaikan aspek asbab al-nuzul suatu ayat, munasabah (hubungan) ayat Al-Qur’an satu sama lain. Dalam pembahasannya, penafsir biasanya merujuk riwayat-riwayat terdahulu baik yang diterima dari Nabi, sahabat, maupun unakapan-ungkapan arab pra Islam dan kisah isra’iliyat.
Jadi, pola penafsiran yang diterapkan oleh At Ath-Thabary terlihat jelas, bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara komprehensif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur maupun al-ra’y. Maka untuk lebih mudah mengenal metode tafsir tahlili, berikut ini dikemukakan beberapa corak tafsir yang tercakup dalam tafsir tahlili, sebagai contoh, yaitu:
Pertama, tafsir bi al ma'tsur, yaitu penafsiran ayat Al-Qur’an dengan ayat; penafsiran ayat dengan Hadith Nabi saw, untuk ayat yang dirasa sulit dipahami oleh para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi'in. Tafsir bi al ma'tsur (literal) juga dikenal dengan tafsir bi al riwayah. Di antara kitab tafsir yang menggunakan metode bi al ma'thur adalah Jami' al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an karya Imam Ibn Jarir al-Tabari. Tafsir Al-Qur’an al-'Adim karya Ibn Kathir.
Kedua, tafsir bi al ra'yi, yaitu penafsiran Al-Qur’an dengan ijtihad, terutama setelah seorang mufassir betul-betul mengetahui perihal bahasa Arab, asbab al nuzul, nasikh-mansukh dan beberapa hal yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir. Tafsir bi al ra'yi (rasional) juga dikenal dengan tafsir bi al dirayah.
F. Kecenderungan Penafsiran
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an At Ath-Thabary cenderung mengungkapkan pendapat mengenai suatu ayat, kemudian At Ath-Thabary menafsirkan ayat tersebut dan mendukung penafsirannya dengan pendapat para sahabat dan tabi’in. Ath-Thabary tidak hanya mencukupkan pada sekedar mengemukakan riwayat-riwayat saja, tetapi juga mengkonfrontir riwayat-riyata tersebut satu sama lain dan mempertimbangkan mana yang paling kuat. Adakalanya ia juga, membahas segi-segi I’rab, apabila yang yang demikian itu dianggap perlu. Terkadang At Thabry meneliti hadits-hadits musnad yang dijadikan argumentasinya.
Tafsir Ath-Thabary juga memuat istinbath (pengambilan hukum), menyampaikan perbedaan pendapat yang ada di kalangan ulama, dan memilih pendapat mana yang lebih kuat di antara pendapat-pendapat itu dengan sisi pandang yang didasarkan kepada logika dan pembahasan nash ilmiah yang teliti.
Penjelasan tentang tata bahasa dan aspek-aspek lain dari bahasa Arab yang ada sekarang dan kemudian, merupakan suatu keharusan dan keniscayaan dalam kitab ini. Tafsir ini tidak terlepas dari perdebatan teologis yang begitu menonjol pada masanya, sehingga di dalamnya terdapat kritik terhadap Qadariyah dan Jabariyah. Pembahasan mengenai fiqh dibuat sangat menarik, di mana dikemukakan pendapat hukum yang independen dan persoalan-persoalan fiqh yang berbeda dari keempat madzhab yang sudah mapan di kalangan ahl al-sunna. Selain itu, ia juga berbeda pandangan dengan madzhab Hambali.
G. Sumber Penafsiran
1. Riwayat
Dalam menafsirkan ayat-ayat, Ibnu Jarir Ath-Thabary menolak bersandar pada logika semata. Ia umumnya menuliskan riwayat-riwayat beserta sanadnya yang sampai shahabat atau tabi’in, dengan memperhatikan ijma’ Ulama dan mengindahkan perbedaan pendapat bacaan ayat-ayat. Ia juga merujuk kepada bahasa Arab asli dalam menafsirkan kata dalam satu ayat yang kurang jelas.
Oleh sebab itu dengan menggunakan metode ini At Ath-Thabary membatasi diri untuk tidak teralu banyak menggunakan ijtihadnya, kecuali dalam memilih ayat mana menafsirkan ayat mana, dan dalam menyeleksi riwayat-riwayat, baik dari Rasulullah maupun dari sahabat dan tabi’in.
2. Ra’yu
Ath-Thabary dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tidak semata-mata mengandalkan riwayat-riwayat, tetapi juga menggunakan nalarnya berlandaskan pengetahuan bahasa arab. Keahlian di bidang bahasa sangat mendukung hal ini, karena itu dalam kitab tafsirnya syair-syair pra-Islam dan sesudahnya dijadikan argumentasi terhadap arti yang dipilihnya bagi satu kata (lafal) Al-Qur’an.
Ath-Thabary dalam mukaddimah mengemukakan hadits-hadits nabi yang kandungannya melarang penafsiran yang mengandalkan nalar. Menurut Ath-Thabary, larangan tersebut bukannya berkaitan dengan seluruh ayat-ayat Al-Qur’an, melainkan hanya menyangkut ayat-ayat yang berbicara tentang hal-hal yang tidak mungkin dijangkau oleh nalar manusia, seperti persoalan metafisika.
Ath-Thabary membagi pembicaraan Al-Qur’an pada tiga bagian pokok :
1. Persoalan-persoalan yang tidak mungkin dapat diketahui oleh seorangpun, seperti waktu datangnya kiamat
2. Persoalan-persoalan yang diketahui oleh Rasulullah SAW dan yang kemudian dapat diketahui melalui riwayat-riwayat yang bersumber dari beliau
3. Persoalan-persoalan yang dapat diketahui secara langsung oleh para ahli bahasa arab.
Bagian ketiga inilah yang menjadi bahan penafsiran Ath-Thabary yang sifatnya bi ar ra’yi.
3. Isra’iliyat
Ditinjau dari segi bahasa, kata ‘’Israiliyat‘’ (bentuk jamak dari kata Israiliyat) yang berarti “Hamba Tuhan”. Kata ini merupakan nama lain dari Yakub saat itu, kemudian istilah ini berkembang menjadi kata “Israil”.
Jika diperhatikan dengan cermat, tafsir At Ath-Thabary akan didapati riwayat-riwayat israiliyyat, yang disandarkan kepada Ka’ab al-Akhbar, wahab bin Munbih, Ibnu Juraij, as-Sudi, dan lain-lain. Dengan demikian kitab Ath-Thabary tidak terlepas dari riwayat-riwayat yang lemah (Dha’if) dan tertolak.
Sebagai contoh, dalam menafsirkan firman Allah surat Al-Kahfi ayat 94:


Artinya:
” Mereka berkata: "Hai Dzulkarnain, Sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, Maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?" (QS. Al-Kahfi: 94)

At Ath-Thabary menyebutkan riwayat dengan isnad yang mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Humaid, ia berkata: telah menceritakan kepada kami salamah, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq tang berkata: Telah menceritakan kepada kai salah seorang Ahli Kitab yang telah masuk Islam, yang suka menceritakan cerita-cerita asing: Dari warisan-warisan cerita yang diperoleh, dikatakan bahwa Dzulqarnain adalah seorang penduduk Mesir. Nama lengkapnya Mirzaban bin murdhiyah, bangsa Yunani, keturunan yunan bin Yafits bun Nuh.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
At-Thabary dipandang sebagai tokoh penting dalam jajaran mufassir klasik pasca tabi’ al-tabi’in, karena lewat karya monumentalnya Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an mampu memberikan inspirasi baru bagi mufassir sesudahnya. Struktur penafsiran yang selama ini monolitik sejak zaman sahabat sampai abad III H. kehadiran tafsir ini memberikan aroma dan corak baru dalam blantika penafsiran. Eksplorasi dan kekayaan sumber yang heterogen terutama dalam hal makna kata dan penggunaan bahasa Arab yang telah dikenal secara luas di kalangan masyarakat. Di sisi lain, tafsir ini sangat kental dengan riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran (ma’sur) yang disandarkan pada pendapat dan pandangan para sahabat, tabi’ tabi’in melalui hadis yang mereka riwayatkan.
Itulah sebabnya Tafsir ini memiliki karakteristik tersendiri dibanding dengan tafsir-tafsir lainnya. Paling tidak analisis bahasa yang sarat dengan syair dan prosa Arab kuno, variant qira’at, perdebatan isu-isu bidang kalam, dan diskusi seputar kasus-kasus hukum tanpa harus melakukan klaim kebenaran subyektifnya, sehingga Ath-Thabary tidak menunjukkan sikap fanatisme mazhab atau alirannya. Kekritisannya mengantarkan pada satu kesimpulan bahwa ia termasuk mufassir professional dan konsisiten dengan bidang sejarah yang ia kuasai.
Tafsir Ath-Thabary adalah kitab tafsir Al-Qur’an paling lengkap, paling tua, dan paling populer di kalangan ulama dan pencari ilmu. Ditulis oleh Imam Muhammad (Abu Ja'far) bin Jarir Ath-Thabary (838 - 923 M), ulama asal Tabaristan (Persia). Karya ini aslinya berjudul Jami al-bayan an ta'wil ay Al-Qur’an, namun lebih populer sebagai Tafsir Ath-Thabary. Tafsir Ath-Thabary bisa dikatakan sebagai tafsir pertama dilihat dari waktu penulisan dan penyusunan keilmuannya. Karena kitab tesebut merupakan tafsir pertama yang sampai pada kita di saat tafsir-tafsir yang mendahuluinya telah lenyap ditelan perputaran zaman sehingga tidak sampai ke tangan kita. Adapun dilihat dari sisi penyusunan keilmuannya, maka ia tafsir yang memiliki ciri khas yang ditemukan oleh penulisnya yang kemudian ia tempuh sebagai metode tersendiri hingga ia persembahkan kepada umat manusia sebagai karya yang agung.
B. Saran-saran
Dalam memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat Al-Qur’an kita tidak boleh hanya mengandalkan pendekatan ar Ra’yu semata sebab keterbatasan mufassir dan adanya tendensi merupakan hal yang sangat mungkin terjadi dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Selan itu Rasulullah sebagai satu-satunya manusia yang diberi otoritas secara mutlak oleh Allah sebagai sang mufassir pertama dan paling bisa dipertanggung jawabkan validitasnya, serta hanya beliaulah yang mampu memahami Al-Qur’an secara sempurna, oleh karena itu hendaklah dalam menginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur’an tidak boleh lepas dari interpretasi yang telah diberikan oleh Rasulullah, melalui riwayat-riwayat yang benar-benar berasal dari beliau.
Terlepas dari hal tersebut, memberikan interpretasi terhadap teks-teks Al-Qur’an berarti memberikan penjelasan terhadap makna yang terkandung di dalam teks tersebut. Bagaimana permasalahan umat dapat terselesaikan jika interpretasi terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dilatar belakangi oleh tendensi-tendensi indiviualisme ataupun kelompok, hegemoni ideologi. Sementara secara factual, tidak ada yang cukup bisa membatasi kepentingan-kepentingan ini. Teks normative Al-Qur’an pun tidak cukup eksplisit dalam menentukan jenis kepentingan dan juga pengetahuan yang layak dijadikan pedoman dalam penafsiran. Oleh karena itu, seorang mufassir haruslah terlepas dari segala tendensi yang dapat melahirkan penyelewengan makna, serta menghindari rigoritas penafsiran dengan semua dimensi negatifnya, dan menuju pada kearifan hermeneutis yang bisa melahirkan interpretasi yang bijak, dengan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.


DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan, Melacak Unsur-Unsur Israiliyah Dalam Tafsir At Ath-Thabary Dan Tafsir Ibnu Katsir. Bandung: Pustaka, 1999

Adz Dzahabi, Muhammad Husain, At Tafsir wa Al Mufassirun, Riyadh: Daar Al Kutub Al Haditsah,1396H/1972M

, At-Tafsir wal Mufassiruun, Kairo: Darul Kutub al-Haditsah, 1961 M/1381 H

Al-Farmawy, Abdul Hayy, Metode Tafsir Maudhu'iy Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996

Al-Qatthan, Manna’, Mabahist fie Ulumil Al qur’an, Surabaya: Maktabah al-Hidayah, TT

Al-Suyuthi, Jala al Din, Al Itqon fi Ulum Al-Qur’an, Baidar: Mansyurat al Ridha, 1343

Ath Ath-Thabary, Imam Abu Ja’far bin Jarir, Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Al Quran, Beirut: Daar Al Kutub Al Ilmiah, 1992

Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Pelajar, 1988

Ismail, Nurjannah, Perempuan Dalam Pasungan: Bias Laki-Laki Dalam Penafsiran, Yogyakarta: LKis, 2003

Leaman, Oliver, The Qur’an; an Encyclopedia, London: Routledge, 2006

Saeed, Abdullah, Intepreting The Qur’an, London : Routledge, 2006

Suryadaliga, M. Alfatih, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2005

Al Mausu’ah Al ‘Arabiyah Al ‘Alamiyah. www.mawsoah.net

http://ahmadbinhanbal.wordpress.com/2010/07/05/ibnu-jarir-at-Ath-Thabary/#_ftn4

http://minice1.blogspot.com/2008/07/jamiul-bayan-fi-tafsiril-quran.html

http://www.cordova-bookstore.com/azzam/Ath-Thabary.htm

http://www.belajarIslam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=450:Mengenal-Imam-Ath-Thabary&catid=61:biografi&Itemid=139

Read More....