Cari Blog Ini

Selasa, 18 September 2012

Tragedi Karbala & Konsep Cinta

Oleh: Muchtar Luthfi Cinta itu anugerah maka berbahagialah Sebab kita sengsara jika tak punya cinta. Rintangan pasti akan menghadang… Cobaan pasti menghujam… Namun yakinlah bahwa cinta itu yang membuatmu, Mengeerti akan arti kehidupan. (cuplikan lirik karya Doel Sumbang) Berbicara tentang cinta, sejak dahulu para filosofis maupun urafa telah membahasnya sedemikian rupa dimana hal tersebut menunjukkan betapa besar peran cinta dalam kehidupan manusia dan keberadaan sekaligus kelangsungan alam semesta ini. Dalam sejarah filsafat kita bisa lihat besarnya perhatian yang diberikan Plato terhadap makna cinta, dalam dunia filsafat Islam baik dari aliran Isyraq maupun Massya’ yang masing-masing diwakili oleh Sahrawardi dalam karyanya “Munis Al-Ussyaq” dan Ibnu Sina dalam “Risalah Al-Esyq“. Tak ketinggalan Ikhwan Al-Shofa dalam kitab “Risalah Ikhwan Al-Shofa“. Para Urafa dalam karya-karya mereka menunjukkan bahwa cinta memiliki peran yang sangat penting dalam proses perjalanan mereka menuju kekasih sejati mereka, kita bisa perhatikan dalam kitab-kitab mereka seperti: Risalah al-Qusyairiah atau Kasyful Mahjub. Khajah Abdullah Ansari dalam kitab “Kanz al-Salikin” bab pertama yang ia bahas berjudul Maqalat Al-Aql wa Al-Esyq, Najmuddin Ar-Razi yang lahir setelah Ibn Arabi –kurang lebih 13 tahun sepeninggalnya– telah menulis Risalah Al-Aql wa Al-Esyq. Alhasil, ini semua sebagai bukti bahwa cinta merupakan unsur terpenting dalam wujud alam semesta menurut persepsi para filosofis dan urafa. Ibn Arabi menganggap bahwa cinta adalah unsur utama eksistensi, anggapan tersebut disandarkan pada riwayat dari hadis Qudsy ketika Nabi Dawud as bertanya kepada Allah swt: “wahai Tuhanku mengapa kau ciptakan alam semesta ini?”, Allah swt berfirman: “Aku ibarat harta yang tersembunyi maka Aku suka (baca: ingin) untuk diketahui, maka Aku ciptakan penciptaan agar diriKu diketahui”. (Hadis ini dikenal dengan hadis Kanzul Makhfi).
Dalam banyak pembahasan tentang fungsi keberadaan Insan Kamil (manusia sempurna) sebagai Khalifah Allah dan penghubung pancaaran anugerah Ilahi pada alam semesta ini. Maka keberadaanya pun pada setiap zaman merupakan suatu keharusan, karena jika tidak (walaupun hanya sesaat saja) niscaya alam semesta ini akan hancur karena salah satu fungsi Insan Kamil adalah sebagai poros perputaran wujud alam semesta ini. Telah ditekankan oleh Imam Ali as dalam khotbah beliau yang terkenal dengan khotbah “Syiqsyiqiah” beliau bersabda: “… Sementara ia (Ibn Abi Qohafah) mengetahui bahwa kedudukanku padanya (alam semesta) seperti kedudukan poros pada putaran penggilingan…”. Tentu kita tahu akibat perputaran sebuah alat penggiling yang tidak berporos, yang jelas tidak akan terwujud proses penggilingan atau bahkan dapat menghancurkan alat penggiling itu sendiri. Oleh karena itu Rasulullah saww bersabda: “… Ahlul Baitku adalah penjaga bagi bumi ini”. Kekhususan Insan Kamil yang lain adalah sebagai wakil (khalifah) Allah swt di muka bumi, tentunya harus ada kesesuaian (sinkronitas) antara wakil dan yang diwakili, oleh karenanya bisa disimpulkan bahwa ia adalah makhluk yang paling sempurna dalam penjelmaan sifat Jalal dan Jamal Ilahi, hal ini pulalah yang menyebabkannya menjadi penghubung antara makhluk dan penciptanya, atas dasar inilah dalam doa “Jamiah Kabirah” disebutkan: “…Barang siapa yang menginginkan Allah swt maka harus memulainya darimu…”. Kata ‘menginginkan Allah’ bisa diterapkan dalam banyak hal termasuk kecintaan terhadap Allah, oleh karenanya mustahil orang akan bisa mendapat dan mencapai cinta Ilahi tanpa melalui kecintaan terhadap Insan Kamil. Sebagaimana untuk sampai pada kecintaan Ilahi; harus melalui jalan petunjuk yang telah ditentukan oleh Allah swt berupa al-Quran yang disifati sebagai: “… Petunjuk bagi manusia dan penjelas…” (Q.S:1:185) Maka berdasarkan hadis Tsaqalain yang telah kita ketahui bersama dimana disebutkan tidak mungkinnya pemisahan antara al-Quran shomit dan al-Quran natiq (Al-Fitrah, Ahlul Bait) maka tanpa berpegang pada tali Allah tersebut, mustahil kita akan mendapat cinta ilahi. Imam Husein as adalah satu dari Ahlul Bait Rasul saaw. Jika kita ambil kesimpulan dari apa yang telah disebutkan diatas maka betapa tinggi derajat yang beliau miliki. Beliau adalah Insan Kamil, Khalifah Allah, poros wujud, al-Quran natiq, penghubung pancaran anugerah Ilahi dan lain sebagainya termasuk pintu cinta ilahi, untuk itu kehilangan Imam Husain as bagi pengharap cinta ilahi merupakan pukulan telak yang layak untuk ditangisi dan diratapi. Kembali ke masalah cinta, Ibn Arabi membagi cinta menjadi tiga bagian. Pertama, Cinta alamiah, cinta ini muncul dari rasa cinta jasmani saja, ini biasa terjadi pada diri orang awam yang landasan cintanya hanya perasaan lahir saja. Kedua, Cinta ruhaniah, cinta ini bermula dari kecintaan seseorang pada suatu benda yang tujuannya adalah untuk sampai pada dzat yang dicintainya dan yang berakhir pada penyatuan diri antara pecinta dengan yang dicinta. Cinta dalam jenis ini memiliki dua unsur utama sebagai sebab kemunculannya, dua hal tersebut adalah jasad dan ruh. Ketiga, Cinta Ilahiah, Cinta dalam bentuk ini hanya berhubungan dengan ruh saja tanpa ada sentuhan materi– karena segala hal yang inderawi terangkat pada posisi non inderawi– karena pemilik cinta tersebut melihat bahwa alam materi merupakan sandi dan penampakan lahiriah dunia akal, sehingga kecintaannya pada hal-hal tersebut bermakna cinta atas segala penjelmaan ilahi. Setelah mengetahui pembagian cinta diatas, kita berharap pembaca budiman dapat merefleksikan ketiga contoh diatas pada contoh dibawah ini: Pada hari Asyura orang-orang syiah (pecinta dan pengikut Ahlul Bait) mengadakan acara memperingati hari duka peristiwa syahadah Imam Husain as di Karbala, acara yang mayoritas dihadiri oleh orang-orang syiah juga sebagian dari saudara ahlussunnah. Pada waktu dibacakan kronologi pembantaian di Karbala, semua hadirin menangisi dan meratapi kejadian tersebut. Lantas muncul pertanyaan, akankah tangisan mereka atas kehilangan Imam Husain as, memiliki kualitas yang sama? Sementara dapat dipastikan bahwa kualitas (maupun kuantitas) pengetahuan mereka atas hakekat Imam Husain as memiliki perbedaan yang menyebabkan kecintaan mereka berbeda pula. Walupun secara lahir tangisan mereka sama. Yang jelas secara umum bisa dijelaskan bahwa para pecinta Ahlul Bait yang benar-benar mengetahui derajat Imam Husain as mereka menangisi dan meratapi syahadah beliau dikarenakan perpisahan mereka dengan manusia suci dan sempurna sebagai al-Quran natiq dimana kekhususan yang beliau miliki sama persis dengan al-Quran Shamith yang salah satunya adalah petunjuk bagi manusia, oleh karenanya Rasul saww bersabda: “Sesungguhnya al-Husain as merupakan sinar petunjuk jalan yang benar dan bahtera penyelamat”. Read More....