Cari Blog Ini

Jumat, 10 Februari 2012

JAMI’AL-BAYAN FI TA’WIL AI AL-QUR’AN (TAFSIR ATH-THABARY)

By Rama


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah sumber ajaran Islam. Kitab Suci itu, menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keIslaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat ini.
Sementara dalam peta pemikiran Islam, aktivitas yang menandai geliat intelektual dan dinamika pemikiran Islam adalah kata Tafsir, yang berarti menguraikan dan memjelaskan segala sesuatu yang dikandung Al-Qur’an. Tidak ada istilah atau term dalam Islam yang cukup menjelaskan proses penalaran yang lebih produktif dalam Islam selain kata tafsir. Tafsir, dalam pengertian yang lebih luas, adalah dialog antara teks Al-Qur’an yang memuat cakrawala makna di dalamnya, dengan horizon pengetahuan manusia dan problematika kehidupannya yang terus mengalami perubahan dan dinamika yang tidak pernah berhenti. Dengan demikian, kekayaan dan signifikansi teks Al-Qur’an sangat tergantung pada capaian-capaian pengetahuan sang penafsir. Semakin tinggi tingkat pengetahuan dan keilmuan penafsir, maka makin beragam dan signifikan pula makna yang dihasilkan.
Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, melalui penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju-mundurnya umat. Sekaligus, penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.
Oleh karena itu dibutuhkan perangkat metodologi penafsiran yang berfungsi mengarahkan dan membimbing penafsiran itu sendiri. Disinalah letak urgensitas dari makalah ini, sebab dalam makalah ini penulis membahas mengenai Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil ai Al-Qur’an yang lebih dikenal dengan sebutan At-Tafsir Ath-Thabary. Mulai dari biografi penafsir sampai metodologi, corak bahkan kecenderungan yang terkandung dalam kitab tersebut. Sehingga kita dapat mengetahui metodologi seperti apa yang digunakan oleh Ath-Thabary dalam menafsirkan teks Al-Qur’an.
Dengan membahas kitab tafsir terdahulu yang menjadi rujukan para ulama, kita dapat memperoleh khazanah pengetahuan yang lebih terkhusus dalam menafsirkan teks Al-Qur’an, maulai dari metode, corak, bentuk, sumber dan lainnya yang digunakan oleh mufassir terdahulu. Serta kita dapat menghindari interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an yang dilatar belakangi oleh tendensi-tendensi tertentu yang dapat merusak hakikat dari makna yang terkandung dari teks Al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang penulis paparkan sebelumnya maka untuk menghindari kekeliruan dan mewujudkan pembahasan yang lebih terarah dan intens maka penulis akan merumuskan hal-hal yang dibahas dalam penulisan makalah ini:
1. Bagaimana kehidupan Imam Ath-Thabary sebagai seorang ahli tafsir?
2. Bagaimana penafsiran Ath-Thabary terhadap teks Al-Qur’an?
3. Apa yang menjadikan tafsir Ath-Thabary sebagai salah satu kitab tafsir yang monumental?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui bagaimana konsep penafsiran Imam Ath-Thabary terhadap Al-Qur’an yang tertuang dalam kitab tafsirnya yaitu Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil ai Al-Qur’an. Menghindari rigoritas penafsiran dengan semua dimensi negatifnya, dan menuju pada kearifan hermeneutis yang bisa melahirkan interpretasi yang bijak, dengan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Sehingga kita dapat memecahkan persoalan-persoalan pelik umat manusia pada semua dimensi ruang dan waktu.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Imam Ath-Thabary
1. Nama dan Tempat Lahir
Nama Imam Ath-Thabary adalah Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib Ath-Thabary. Nama kunyah atau panggilannya adalah Abu Ja’far. Kelahirannya berdasarkan pendapat yang kuat adalah beliau lahir di Amal Ath-Thabarystan dua puluh kilo meter arah selatan danau laut Kaspia pada 224 H/839 M. Seorang ulama serba bisa (polymath) pakar Tafsir, Hadits, Sejarah, Ilmu riwayat, Fiqih dan Qira’at. Juga seorang penulis prolifik yang sudah mencapai derajat mujtahid.
Tidak banyak sumber yang mengupas kehidupan pribadi Ath-Thabary, kecuali bahwa ia merupakan pribadi sederhana yang mencurahkan seluruh usianya untuk mengabdi pada ilmu pengetahuan. Hari-harinya dihabiskan untuk mengajar dan membukukan gagasan-gagasannya. Ath-Thabary selalu menampik tawaran menjadi Qadhi dan penasihat pemerintah, ia juga tidak sempat menikah. Ath-Thabary wafat pada februari 923 M setelah selang beberapa waktu dicekal dan dikucilkan oleh kelompok ekstrimis fanatik dari madzhab Hanbali.
2. Semangatnya Dalam Mencari Ilmu
Perjalanan ilmiyahnya dimulai sejak ia hafal Al-Qur’an pada usia tujuh tahun dan mulai mempelajari Hadis pada usia sembilan tahun. Sejarah menjadi disiplin ilmu pertama yang menjadi spesialisasi Ath-Thabary. Di kota Ray (sekarang Teheran) dalam asuhan Abu Abdillah Muhammad ibn Humayd al-Razi Ath-Thabary mendalami karya-karya ibnu Ishaq dan sumber-sumber kesejarahan Islam awal dan pra Islam. Selanjutnya Ath-Thabary pergi ke Baghdad untuk mendalami Fiqih Hanbali, sayang Ahmad ibnu Hanbal terlebih dulu wafat saat Ath-Thabary sampai di sana pada tahun 241 H.
Kemudian Ath-Thabary mengunjungi Ulama-ulama di seluruh Iraq mulai dari Basra, Wasit dan Kufah. Pada usia dua puluhan Ath-Thabary menuju Syria, Lebanon, Palestina dan Mesir. Di Beirut Ath-Thabary tercatat sebagai murid al-Abbas bin al-Walid al-'Udhri al-Bayruti dengan mengambil riwayat varian bacaan Al-Qur’an dan fiqh madzhab al-Auza’i. Kemudian Ath-Thabary pergi ke Mesir, bertemu dengan nama-nama besar seperti Muhammad bin Khuzaimah, Muhammad bin Nashr, Muhammad bin Harun dan sempat mengkaji fiqih Syafi’i dan Maliki.
3. Akhlaknya Yang Mulia
Apabila Abu Ja’far Ath-Thabary diberi hadiah, maka jika dia dapat membalas hadiah itu dengan yang lebih baik, hadiah itu akan diterima. Namun apabila dia tidak mampu, maka hadiah itu akan ditolak dengan ramah disertai permintaan maaf kepada pemberi hadiah. Abu Haija’ Ibnu Hamdan pernah memberikan hadiah kepada Abu Ja’far Ath-Thabary tiga ribu dinar. Setelah melihat hadiah tersebut, Abu Ja’far Ath-Thabary terkagum-kagum dan berkata, “Aku tidak bisa menerima hadiah yang aku tidak bisa membalasnya dengan yang lebih baik lagi. Dari mana aku mendapatkan uang untuk membalas hadiah sebanyak ini?”
Abu Ja’far Ath-Thabary selalu menjauhi sikap dan perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh ulama. Langkah demikian itu berlangsung sampai dia menghembuskan nafas terakhirnya. Pernah suatu ketika Abu Ja’far Ath-Thabary berdebat dengan Dawud bin Ali Azh-Zhahiri mengenai suatu permasalahan. Ditengah perdebatan, Abu Ja’far Ath-Thabary berhenti dan tidak meneruskan perkataannya, sehingga para temannya menjadi bertanya-tanya. Dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba salah seorang yang hadir berdiri, dengan spontan dia berkata-kata pedas dan menyakitkan yang ditujukan pada Abu Ja’far Ath-Thabary.
Mendengar perkataan yang demikian itu, Abu Ja’far Ath-Thabary tidak membalasnya sedikit pun dan tidak pula terpancing memberikan jawabannya. Dengan segera ia bergegas meninggalkan tempat itu dan menulis masalah perdebatannya itu dalam sebuah kitab.
4. Kemampuan Hafalan dan Kecedasannya
Diantara hal yang dapat menunjukkan kepandaian dan kecerdasan Imam Ath-Thabary adalah kisah Imam Ath-Thabary tentang dirinya sendiri tatkala dia mampu menguasai ilmu Arudh (ilmu tentang syair atau sajak) dalam tempo satu malam. Kisahnya adalah sebagai berikut: Imam Ath-Thabary berkata, “Tatkala aku tiba di Mesir, tidak tersisa seorang ahli ilmu pun kecuali mereka menemuiku untuk mengujikan apa yang telah dikuasainya.
Pada suatu hari, datang kepadaku seorang laki-laki bertanya tentang sebagian tertentu dari Arudh yang aku sendiri belum mengetahui tentang Arudh. Akhirnya aku katakan kepadanya, ‘Aku tidak bisa bicara, karena hari ini aku tidak akan membicarakan masalah Arudh sedikit pun. Tetapi datanglah besok dan temui aku.’ Lalu aku pun meminjam Kitab Arudh karya Khalil Ahmad dari temanku. Malam itu aku pelajari Kitab Arudh tersebut dan pagi harinya aku telah menjadi seorang ahli Arudh.”
5. Kezuhudan dan Kewara’annya
Al-Farghani berkata, “Muhammad bin Jarir Ath-Thabary tidak takut celaan dan cercaan manusia, biarpun itu terasa menyakitkan. Cercaan itu muncul dari orang-orang bodoh, hasad, dan yang mengingkarinya. Adapun manusia berilmu dan ahli menjalankan agama, maka mereka tidak akan mengingkari kapasitas dan kredibilitas Muhammad bin Jarir Ath-Thabary.
Mereka juga mengakui kezuhudannya dari dunia dan qana’ah dengan merasa cukup menerima sepetak tanah kecil peninggalan ayahnya di Ath-Thabarystan. Perdana menteri Al-Kharqani bertaklid kepadanya, lalu ia mengirimkan uang dalam jumlah yang besar kepadanya. Akan tetapi, dia tetap menolak pemberian tersebut. Ketika Ibnu Jarir At-Ath-Thabary ditawarkan kedudukan qadhi (hakim) dengan jabatan wilayah al-mazhalim, dia pun menolaknya.
Akibat penolakan ini, teman-teman Ibnu Jarir mencelanya. Mereka berkata, ‘Ketika kamu terima jabatan ini, maka kamu akan mendapatkan gaji tinggi dan akan dapat menghidupkan pengajian sunnah yang kamu laksanakan.’
Pada dasarnya, mereka ingin sekali memperoleh jabatan tersebut. Namun dengan perkataan mereka itu, akhirnya Ibnu Jarir membentak mereka seraya berkata, ‘Sungguh, aku mengira kalian akan mencegahku ketika aku senang jabatan tersebut.’
6. Masa Belajar, Guru-guru dan Murid-muridnya
Banyak kota-kota yang ia singgahi sampai ia tidak puas dengan hanya memasukinya sekali, ia masuk ke kota tersebut beberapa kali untuk memuaskan hasrat keilmuannya, di antara kota-kota tersebut adalah Baghdad, di kota ini ia mengambil mazhab Syafi’iyyah dari Hasan Za’farani, kemudian Bashrah, di kota ini ia belajar hadits kepada Abu Abdullah as-Shan’ani, lalu di Kufah, di sana ia belajar ilmu puisi kepada Tsa’lab dan masih banyak lagi kota lainnya seperti Mesir, Beirut dan Damaskus. Pada akhirnya Imam Ath-Thabary sempat pulang ke tanah kelahirannya di Thaburstan pada tahun 290 H, tapi tak lama kemudian kembali ke Baghdad dan menjadikannya tempat persinggahan terakhir untuk mencurahkan seluruih aktifitas ilmiyahnya hingga beliau wafat.
Guru beliau 40 orang lebih, diantaranya: “Muhammad bin Abdul Malik in Abi Asy Syawarib, Ismail bin Musa As Suddi, Ishaq bin Abi Isroil, Muhammad bin Abi Ma’sar, Muhammad bin Au fat-Tha’i, Musa bin Sahal ar-Ramali, Muhammad bin Abdullah dan yang lainnya. (didalam tafsir beliau didapatkan, bahwa guru beliau berjumlah 62 guru).
Imam al-Nawawi menambahkan sejumlah nama guru al-Ath-Thabary lainnya, terutama mereka yang juga menjadi guru al-Bukhari dan Muslim dalam bidang hadits, seperti Abd al-Malik ibn Abu al-Syawarib, Ahmad ibn Mani` al-Baghawi, al-Walid ibn Syuja`, Abu Kuraib Muhammad ibn al-`Ala’, Ya`qub ibn Ibrahim al-Dauraqi, Abu Sa`id al-Asyaj, `Amr ibn Ali, Muhmmad ibn al-Mutsanna dan Muhammad ibn Yasar.
Karena kedalaman ilmu Imam Ath-Thabary, maka wajar saja bila orang-orang ketika itu berlomba untuk menampung samudera ilmu yang terpancar dari beliau. Di antara sekian banyak ulama yang mengambil ilmu dari beliau : Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Nashr, Ahmad bin Qasim bin Ubaidillaah bin Mahdi, Sulaiman bin Ahmad bin Ayub al-Lakhmi, Muhammad bin Ahmad bin Hamdan bin Ali.
Teman-teman dari Ibnu Jarir Ath-Thabary, di antaranya : Ahmad bin Abdullah bin Ahmad al-Farghani,ia juga meriwayatkan karangan dari Ibnu Jarir, di antara karangan al-Faraghani adalah Sirah al-Aziz Sulthan al-Mishr dan kitab Sirah Kafur al-Ihsyidi. Ibnu Yazid Abi Bakar al-Qardhi, yang menjadi hakim di daerah Kufah, di antara karangannya adalah kitab Gharib Al-Qur’an, kitab al-Qiraat, kitab at-Taqrib fi Kasyfi al-Gharib, dan kitab al-Mukhtashar fi al-Fiqh.


7. Karya-Karyanya
1. Jami’Al-Bayan fi Ta’wil ai Al-Qur’an yang lebih dikenal dengan sebutan At-tafsir Ath-Thabary
2. Tarikh Umam wa Al-Muluk yang lebih dikenal dengan Tarikh Ath-Thabary
3. Dzail Al-Mudzil
4. Ikhtilaf ‘Ulama Al-Amshar fi Ahkam Syara’I Al-Islam yang lebih dikenal dengan Ikhtilaf Al-Fuqaha
5. Lathif Al-Qaul fi Ahkam Syara’I Al-Islam, yaitu fiqih Al-Jariri
6. Adab Al-Qudhah
7. Al-Musnad Al-Mujarrad
8. Al-Qiraat wa Tanzil Al-Qur’an
9. Mukhtashar Manasik Al-Hajj
10. Al-Mujiz fi Al-Ushul
11. Musnad Ibnu ‘Abbas, dan masih banyak lainnya.
12. Kitab Al Jaami’ fiel Qira’at
13. Kitab Haditsul Yaman
14. Kitab Ar Rad ‘Ala Ibni ‘Abdil Hakim
15. Kitab az- Zakat
16. Kitab Al ‘Aqidah
17. Kitabul fadhail
18. Kitab Fadhail Ali Ibni Thalib
19. Kitab Mukhtashar Al Faraidz
20. Kitab Al Washaya,
Dan masih banyak lagi kitab-kitab beliau yang tidak disebutkan disini.
8. Mazhab dan Aqidah Imam Ath-Thabary
Al Faroghi berkata: “Harun bin Abdul Aziz bercerita kepadaku:” Abu Ja’far Ath-Thabary berkata: “aku memilih Madzhab imam Syafi’I, dan aku ikuti beliau di Bagdad selama 10 tahun
As Suyuthi berkata dalam kitab “Thobaqotul Mufassirin” “Pertama, beliau bermadzhab Syafi’I, lalu membuat madzhab sendiri, dengan perkataan-perkataan dan petikan-petikan sendiri, dan beliau mempunyai pengikut yang mengikutinya. Dan aqidahnya adalah Aqidah Salaf as-Shalih
Imam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawanya mengatakan bahwa Imam Ath-Thabary adalah imam Ahlu Sunnah, hal ini beliau katakan ketika membahas mengenai Al-Qur’an kalamullah.
Imam Ibnu Qayyim mengatakan, yang maknanya adalah bahwa Imam Ath-Thabary adalah Ahlu Sunnah. Hal ini dapat diketahui dari tulisan beliau Sharih as-Sunnah. Dan masih banyak lagi pernyataan para ulama mengenai aqidah beliau.
9. Pendapat Ulama tentang Imam At Ath-Thabary
Banyak ulama yang memuji Ath Ath-Thabary. Mereka mengatakan: Dia adalah seorang ‘alim yang tsiqah (bisa dipercaya), salah satu imam besar Ahlus Sunnah, pendapatnya diambil, dan keluasan ilmunya dijadikan referensi, dan memiliki manhaj yang lurus. Dia meninggalkan sejumlah karya bermanfaat, yang paling terkenal adalah kitab tafsir besar, Jami’ Al Bayan ‘fi Ta’wilil ai Quran, dan mayoritas ulama mengenalnya dengan sebutan Tafsir Ath Ath-Thabary. Ini merupakan tafsir lengkap pertama yang sampai kepada kita, dan setiap mufassir yang datang setelahnya telah mengambil manfaat darinya. Oleh karena itu, para ulama menyebutnya sebagai Bapak Tafsir, sebagaimana dia juga disebut Bapak Sejarah, lantaran dia memiliki karya besar dalam bidang sejarah yang tidak pernah ada manusia yang membuat semisalnya, kecuali karya sebelumnya tidak bisa dipegang secara meyakinkan. Kitab tersebut diberi judul Tarikhul Umam wal Muluk. Dia juga membuat karya, Tahdzibul Atsar, dan lain-lain. Beliau wafat di Baghdad.
Banyak didapati pengakuan terhadap Imam Ath-Thabary dalam usahanya mengembangkan Tafsir, seperti berikut ini:
Imam An Nawawi dalam Tahdzibnya mengemukakan: “Kitab Ibnu Jarir dalam bidang tafsir adalah sebuah kitab yang belum seorangpun ada yang pernah menyusun kitab yang menyamainya. Beliau juga pernah mengatakan: “”Umat telah bersepakat tidak ada yang menyamai tafsir beliau ini.”
Imam as-Suyuthi, seorang mufasir menyatakan seperti berikut: “Kitab ibnu Jarir adalah kitab tafsir paling agung (yang sampai kepada kita). Didalamnya beliau mengemukakan berbagai macam pendapat dan mempertimbangkan mana yang lebih kuat, serta membahas I’rob dan istimbat. Karena itulah ia melebihi tafsir-tafsir karya para pendahulu.” Syaikh Islam Ibnu Taimiyah telah memuji Imam Ath-Thabary, antara lain mengatakan: “Adapun tafsir-tafsir yang ditangan manusia, yang paling dahulu adalah tafsir Ibnu Jarir Ath thobari, bahwa beliau (Ibnu jarir) menyebutkan perkataan salaf dengan sanad-sanad yang tetap, dan tidak ada bid’ah sama sekali, dan tidak menukil dari orang yang Muttahim, seperti Muqotil bin Bakir dan Al Kalbi.”
As-Suyuthi telah meneliti thabaqah mufasir sejak awal kemunculan ilmu ini, dan ketika sampai pada Abu Jafar, ia menempatkannya pada thabaqah (tingkatan) yang pertama, kemudian ia berkata: “jika engkau bertanya: Tafsir apa yang engkau sarankan dan dijadikan sebagai bahan rujukan? Maka aku katakan: Tafsir Ibnu Jarir, yang para ulama telah bersepakat bahwa belum ada kitab tafsir yang semisalnya.”
Abu Muhamamad Abdullah bin Ahmad bin Jafar al-Farghani mengatakan bahwa ia pernah bermimpi mengikuti Majlis ilmu Abu Jafar dan manusia kala itu sedang membaca kitab Tafsir Ibnu jarir, lantas aku mendengar suara dari antara langit dan bumi yang mengatakan: Barangsiapa ingin mendengarkan Al-Qur’an sebagaimana ia turun, maka dengarkanlah kitab ini.
B. Sekilas Tentang Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Ayi Al-Qur’an
Jami’ al-bayan fi Ta’wil ai Al-Qur’an atau lebih dikenal dengan Tafsir Ath-Thabary adalah karya Ath-Thabary yang belum dijumpai padanannya. Karya yang sempat hilang berabad-abad sebelum ditemukan pada abad 19 dan pertama kali dicetak di Cairo pada tahun 1903 ini, merupakan sebuah kitab Tafsir paling berpengaruh sepanjang sejarah. Akan sangat mudah menemukan pengaruh Ath-Thabary dalam tafsir karangan Ibnu Katsir, al-Baghawi, al-Razi, al-Samarqandhi, Abu Hayyan, al-Zamahsyari dan mufassir lainnya. Bejibun karya tafsir dalam aneka macam metode dan madzhabnya layaknya etalase untuk memajang ide-ide Ath-Thabary.
Imam Ath Ath-Thabary telah merasakan sejak lembaran-lembaran awal tafsir beliau bahwa ia sedang membuat karya yang lebih sempurna dari karya serupa yang pernah ditulis pendahulunya. Dalam hal ini Ia berkata,"Ketika saya mencoba menjelaskan tafsir Al Quran dan menerangkan makna-maknan yang Isnya Allah menjadi kitab yang mencakup semua hal yang perlu diketahui manusia melebihi kitab lain yang ada sebelumnya. Saya berusaha menyebutkan dalil-dalil yang disepakati seluruh umat dan yang diperselisihkannya, menjelaskan alasan setiap madzab yang ada dan menerangkan alasan yang benar menurut saya dalam permaslahan yang terkait secara singkat."
Konon Sai’d menulis kitabnya tersebut atas permintaan Abdul Malik bin Marwan sebagai koleksi di perpustakaan istananya. Ada juga laporan yang menyatakan sarjana-sarjana Tabi’in seperti Mujahid bin Jabr, Ikrimah, Hasan al-Bashri, Ata’ bin Abi Rabah dan Sufyan Tsauri telah menulis semacam karya tafsir. Demikian pula dengan karya dari para Tabi’ tabi’in semisal Abdur Razzaq al-Shan’ani, Ibnu Juraij, Said bin Abi Arubah, Ishaq bin Rohuyah yang nuansa tafsirnya sangat kental tapi agaknya belum dapat dikatakan lepas dari disiplin hadis. Bahkan Muhammad Husain Dzahabi dengan tegas menyatakan Tafsir Ath-Thabary adalah kitab tafsir paling awal dan metodenya merupakan model percontohan bagi karya tafsir sesudahnya.
C. Pendapat Ulama Tentang Tafsir At-Thabary
Imam Suyuthi dalam Al-Itqan mengatakan, "Ia adalah tafsir yang paling baik dan besar, memuat pendapat-pendapat para ulama, dan sekaligus menguatkan pendapat-pendapat itu, dan memuat uraian nahwu serta istinbath hukum. Dengan kelebihannya itu, ia menempati kualitas teratas dari kitab-kitab tafsir sebelumnya."
Sedang Imam an-Nawawi berkata, "Umat Islam sepakat bahwa tidak ada seorangpun yang menulis tafsir sekaliber Tafsir Ath-Thabary."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkomentar, "Adapun dari tafsir-tafsir yang ada di tangan manusia, yang paling baik adalah tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabary. Ini karena ia menyebutkan ucapan-ucapan para salaf dengan sanad-sanad yang kokoh, tidak menukil kebid’ahan, dan tidak menukil dari orang-orang yang diragukan agamanya. Banyak pujian juga datang dari para ulama lainnya.
D. Bentuk Visual (Anotasi) Kitab Tafsir Ath-Thabary
Kitab tafisr Jami’ Al bayan Fi Ta’wil Ayi Al Qur’an atau lebih dikenal dengan Tafsir Ath-Thabary yang diterbitkan oleh Dar al kutub Al Ilmiah (Beirut) pada tahun 1992 M/1412 H terdiri atas 12 jilid dan memiliki jumlah halaman dan ketebalan yang bervariasi di tiap jilidnya. Kitab ini berukuran 28 x 20 cm, dengan menggunakan kertas berukuran qwarto 60 gram, hard cover atau edisi lux dan memiliki design sampul full color dengan dasar berwarna hitam yang berkombinasi dengan warna emas dan warna hijau.
Kitab ini menafsirkan tiap ayat dari Al Qur’an yang terbagi dalam 12 jilid dengan spesifikasi sebagai berikut:
 Pada jilid pertama terdiri dari 638 halaman yang pembahasannya dimulai dari surah Al Fatiha ayat 1 sampai surat Al baqarah ayat 141, yaitu juz 1.
 Pada jilid kedua terdiri dari 655 halaman yang membahas surat Al Baqarah Ayat 142 sampai 252, yaitu juz 2.
 Jilid ketiga tersusun dari 679 halaman dan membahas surat Al Baqarah ayat 253 sampai surat An Nisa’ ayat 23, yaitu juz 3 dan 4.
 Jilid keempat tersusun dari 671 halaman, membahas juz 5 dan 6 yaitu surat An Nisa’ ayat 24 sampai Al Maidah 81.
 Jilid kelima dari kitab ini membahas juz ke 7 dan 8 yaitu surat Al Maidah ayat 82 sampai surat Al A’raaf ayat 87 yang terdiri dari 559 halaman.
 Jilid keenam dari kitab ini membahas juz ke 9, 10 dan 11 yaitu surat Al A’raaf ayat 88 sampai surat Huud ayat 5 dan terdiri dari 640 halaman.
 Jilid ketujuh yang dibahas yaitu pada juz 12, 13 dan 14 surat Huud ayat 6 sampai surat An Nahl ayat 128 dan memiliki 685 halaman.
 Jilid kedelapan yang dibahas yaitu pada juz 15 dan 16 surat Al Isra’ ayat 1 sampai surat Tha Ha’ ayat 131 dan memiliki 496 halaman.
 Jilid ke sembilan membahas juz 17, 18 dan 19 yaitu surat Al Anbiya’ ayat 1 sampai surat An Naml ayat 55 dan terdiri dari 552 halaman.
 Jilid kesepuluh membahas surat An Naml ayat 56 sampai Az Zumar ayat 29 pada juz 20, 21, 22 dan 23, 654 halaman.
 Jilid kesebelas membahas mengenai surat Az Zumar ayat 30 sampai Al Hadid ayat 29 pada juz 24, 25, 26 dan 27 yang terdiri dari 720 halaman.
 Jilid terakhir atau kedua belas kitab Ath-Thabary membahas juz 28, 29 dan 30 yaitu dimulai dari surat Al Mujadalah ayat 1 sampai An Nas ayat 6 dan terdiri dari 782 halaman.

Gambar 1: Tafsir Jamiul Bayan Fi Ta'wil Ayi Al Qur'an Karya Imam At Ath-Thabary Yang Diterbitkan Oleh Daar Al Kutub Al Ilmiah Beirut (Libanon) Pada Tahun 1992 M/1412 H
Kitab Jami’ Al bayan Fi Ta’wil Ayi Al Qur’an atau Tafsir Ath-Thabary juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pustaka Azzam yang terbagi ke dalam 26 jilid dengan ukuran 23,5 cm, dan menggunakan HVS serta hard cover, diterbitkan pada tahun 2006. Dalam edisi ini telah ditahqiq oleh : Ahmad Abdullraziq Al Bakri, Muhammad Adil Muhammad, Muhammad abdul Latief Kholaf, Mahmud Mursi Abdul hamid. Disesuaikan dengan manuskrip asli dan revisi serta penyempurnaan atsa naskah Syaikh Al Muhadits Ahmad Muhammad Syakir dan Syaikh Mahmud Muhammad Syakir.
Dalam makalah ini penulis tidak menjelaskan spesifikasi dari tiap jilid tafsir Ath-Thabary yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia karena penulis merujuk pada kitab aslinya. Adapun penjelasan ini hanyalah bersifat umum dan hanya sebagai tambahan informasi.

Gambar 2: Terjemahan Tafsir At Ath-Thabary Yang Diterbitkan Oleh Pustaka Azzam
E. Metodologi Penafsiran
1. Bentuk Penafsiran
Tafsir Ath-Thabary termasuk kategori tafsir bi al-ma’tsur yaitu penafsiran berbasis tradisi atau teks. Penafsiran berbasis tradisi berarti sebuah penafsiran harus dibimbing oleh Al-Qur’an, Nabi SAW dan sarjana Islam masa awal. Dalam arti penafsiran diharapkan sebisa mungkin merefleksikan sumber-sumber Islam yang asli, dengan sebuah asumsi semakin dekat dengan Nabi SAW dan masa turunnya wahyu maka sebuah penafsiran akan semakin akurat. Penafsiran model ini sangat tergantung dan menekankan pentingnya jalur transmisi (isnad) sebagai ukuran otentisitas dan otoritasnya.
Tafsir bi Al-ma’tsur merupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul pertamakali dalam khazanah intelaktual Islam. Praktik penafsirannya adalah ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an al-Karim ditafsirkan dengan ayat-ayat lain, atau dengan Riwayat dari Nabi SAW, para sahabat dan juga dari Tabi’in.
Menurut kajian hermeneutika modern riwayat-riwayat tafsir bi al-ma’tsur termasuk kategori pemahaman orisinalitas makna yang standar. Sejenis metode pemahaman spontan yang bebas dari pengaruh makna-makna artifisial, atau pemahaman lugu dalam arti sama sekali belum bersentuhan dengan dimensi kritis maupun figurasi simbol-simbol. Di tangan Ath-Thabary pemahaman spontanitas standar yang berserakan dalam tafsir bi al-ma’tsur tersebut dibedah dengan metode riset cerdas sehingga berubah menjadi pemahaman filosofis yang kaya dan elegan.
Ibarat korpus tafsir Al-Qur’an yang resmi Tafsir Ath-Thabary mampu menyajikan penafsiran Al-Qur’an sangat lengkap, dengan memadukan lingkaran pemahaman internal (lafadh, makna) dan analisa eksternal (sejarah, riwayat). Ath-Thabary juga tidak hanya berhasil menyusun informasi komprehensif seputar penafsiran Al-Qur’an dari sarjana-sarjana masa sebelumnya (antara 670 M sampai 864 M), tetapi juga melengkapi penafsiran tersebut dengan postulat-postulat jika sesuai dengan pendapatnya atau berbalik mangkritisinya jika tidak sesuai. Ath-Thabary begitu percaya diri menggabungkan konsep riwayah dan dirayah, naql dan akal dan seperti yang kita saksikan ia telah berhasil memaksa teks-teks Al-Qur’an untuk ’berbicara’.
Ada dua gugus ide Ath-Thabary yang menarik diperhatikan karena bertalian erat dengan kelahiran metodologi tafsir. Pertama, mengenai posisi Ath-Thabary terhadap tafsir bi alra'yi. Dan yang kedua tentang nalar kritis kebahasaan yang ia kembangkan dalam tafsirnya. Ath-Thabary memposisikan riwayat tafsir baik dari Nabi, Sahabat maupun Tabi’in (tafsir bi al-ma’tsur) sebagai bahan baku penafsiran dan menolak penafsiran akal murni berdasarkan analisa bahasa saja.
Bagi At Ath-Thabary, riwayat tafsir dari generasi Islam awal merupakan ukuran keabsahan sebuah penafsiran. Karenanya jika jalur transmisi sebuah riwayat shahih serta didukung postulat kebahasaan yang memadahi sebuah tafsir akan dapat dipertanggung jawabkan. Di banyak tempat dalam tafsirnya Tabari kerapkali mengkritik kelompok-kelompok yang hanya menggunakan pendapat dan pemahaman bahasa dalam tafsir. Kritik-kritik tajam Ath-Thabary pada kelompok tersebut rata-rata disertai sanggahan ilmiah yang memuaskan . Dalam pembukaan tafsirnya Ath-Thabary juga menulis satu bab khusus untuk menolak penafsiran yang berdasar pendapat semata .
Dalam tafsirnya cukup jelas Ath-Thabary ingin melampaui aturan-aturan bahasa yang abstrak dan tidak membumi. Ia hendak menunjukkan superioritas penafsiran baik dari Nabi SAW sebagai pengemban wahyu, para Sahabat yang mengetahui kondisi diturunkannya atau Tabi’in sebagai generasi paling dekat mengalahkan penafsiran kebahasaan yang standar.
Sebagai contoh, dalam tafsir ayat ke dua surat al-Baqarah:


“Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”
Ath-Thabary menafsirkan lafadh ’dzhalika’ dengan ’hadza’ dan menyandarkannya pada riwayat Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, al-Suday dan Ibnu Juraij. Penafsiran ini jelas berbeda dengan aturan standar gramatika, karena lafadh ’hadha’ lazimnya digunakan sebagai isyarat bagi sesuatu yang ada dan terlihat sedangkan ’dhalika’ digunakan untuk sesuatu yang tidak tampak dan tak terlihat. Ath-Thabary beralasan jika ’dhalika’ dalam ayat ini lebih tepat bermakna ’hadza’ karena isyarat disitu ditujukan pada sesuatu baru saja dikabarkan tetapi sudah lewat. Ath-Thabary menjelaskannya lebih lanjut: setelah pada ayat sebelumnya Allah berfirman ”alif lam mim” seolah-olah Allah kemudian berfirman: wahai Muhammad inilah yang sudah aku tuturkan dan terangkan kepadamu ialah sebuah kitab. Maka lafadh ’dhalika’ digunakan untuk mengisyaratkan sesuatu yang tidak tampak meski sebenarnya mengandung makna ’hadza’ karena baru dikabarkan. Penafsiran ini diperkuat persepsi bahwa yang diisyratkan oleh lafadh ’dhalika’ disitu adalah surat-surat yang turun mendahului surat al-Baqarah baik di Makkah maupun Madinah. Sebab, walau surat-surat tersebut diturunkan terlebih dulu tetapi tetap bagian dari satuan kitab ini (Al-Qur’an).
Tafsir bil ma’tsur juga sangat membantu dalam menggali hukum-hukum agama dan dunia yang bersumber dari Al Quran. Sebagai contoh:
Ayat hukum pada surat Al Maidah ayat 90, berikut ini:


Atinya:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(QS. Al Maidah (5): 90)
Berikut ini atsar sahabat dan tabi’in tentang makna ayat: ... rijsun min ‘amalisy syaithan (adalah rijs dan termasuk perbuatan syaitan) ..., Ibnu Abbas mengatakan: kebencian (kemarahan). Ibnu Zaid mengatakan: keburukan. Tentang rijs, Ibnu Abbas mengatakan: syaitan. Sedangkan Mujahid mengatakan: segala sesuatu yang tidak baik. Dan Ibnu Zaid mengatakan: azab.
Sebenarnya, tidak sedikit para ulama yang menafsirkan rijs adalah najis, yang akhirnya sebagian ulama menyatakan najisnya jasad (istilahnya najis ‘aini) air khamrnya, uang judi, berhala, dan makanan sesajen.
Namun, demikian pendapat yang benar adalah makna rijs bukanlah najis, karena itulah yang dikuatkan oleh atsar para sahabat dan tabi’in. Dari sinilah disimpulkan bahwa minuman keras, uang judi, berhala, dan sesajen, secara fisik tidaklah najis. Semua ini adalah najis ma’nawi bukan najis ‘aini (najis zatnya). Dari sini pula pendapat yang mengatakan bahwa alkohol tidaklah najis. Pendapat ini, selain dikuatkan oleh tafsir terhadap ayat ini, juga dikuatkan oleh hadits-hadits lain.
Contoh lain, Ath-Thabary dalam menafsirkan Al-Qur’an Al-Baqarah ayat 79:


Artinya:
“Maka Kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka Kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan Kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.”(QS. Al-Baqarah: 79)
Para ulama berselisih pendapat dalam menafsirkan kata wail. Ada yang menafsirkannya dengan adzab (siksaan) atas mereka, sebagaimana terdapat dalam riwayat Ibnu Abbas. Ada pula yang mengatakan “lembah yang terdapat di dasar neraka, yang di dalamnya mengalir nanah”, dan ada pula yang menafsirkan lain. Sementara Asy Syaikh As Sa’dy mengatakan, wail adalah kerasnya siksaan dan penyesalan, yang di dalamnya mengandung ancaman yang sangat keras.
Berkata Al Allamah Ath Thabary dalam tafsirnya, yang dimaksud (ayat tersebut) adalah orang-orang yang mengubah-ubah kitab Allah dari kalangan Yahudi Bani Israil. Dan mereka menulis kitab berdasarkan apa yang telah mereka ubah dengan perubahan-perubahan yang menyelisihi apa yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya Musa as. Lalu mereka menjualnya kepada kaum yang tidak mengetahui perubahan tersebut dan tidak pula mengetahui isi kandungan Taurat (yang asli), disebabkan kejahilan mereka terhadap kandungan kitab-kitab Allah karena ingin mendapatkan dunia yang hina. Asal makna Al Kasbu adalah beramal. Maka setiap orang yang mengamalkan secara langsung dikatakan Al Kasib.
Indikasi Ath-Thabary sengaja menitik beratkan pemaknaan ayat-ayat Al-Qur’an layaknya diskursus melalui riwayat-riwayat dari generasi sebelumnya menguat seiring dengan banyaknya riwayat yang ia tuturkan menyangkut sebuah ayat. Bahkan ada kesan berlebihan karena sering terjadi pengulangan riwayat yang sama. Tetapi apa yang menjadi alasan Ath-Thabary untuk kemudian membedah dan menghakimi diskursus-diskursus tersebut dengan pendapatnya sendiri?
Ath-Thabary hidup pada masa dimana benturan antar aliran begitu dahsyat. Ketika perdebatan antara politik-agama, aliran teologi dan madzhab fiqh sudah mengintervensi pendekatan masing-masing terhadap Al-Qur’an. Saat dimana para Hanbalian kian intens menyebar doktrin tekstulisme dan Muktazilah getol menyuarakan elastisitas kebahasaan teks. Sementara itu para ahli fiqih sedang sibuk meributkan manakah yang lebih hebat antara pengetahuan tradisional (ilm) dan pendapat (ra’y). Dalam dunia keilmuan perbedaan semacam ini wajar terjadi, namun persoalan menjadi berbeda tatkala teks Al-Qur’an sudah dipolitisir untuk mendukung pilihan hukum, teologi dan pandangan politik.
Amanat ilmiah jelas tidak mengizinkan Ath-Thabary menjadi partisan kelompok-kelompok tersebut. Ath-Thabary mungkin termasuk diantara sarjana yang percaya jika pengetahuan tadisional (ilm) lebih sembada karena bisa diidentifikasi, memiliki sistem yang jelas serta tampak objektif, sedangkan pendapat (ra’y) kurang mudah dikontrol, terkait dengan preferensi pribadi dan cenderung inklinatif.
Tetapi yang tidak boleh dilupakan, tugas utama tafsir adalah mengomunikasikan pesan Al-Qur’an kepada khalayak. Penjelasan yang memadai amat diperlukan untuk mengcover perbedaan kapasitas intelektual dan psikologis mereka, karena setiap orang punya cara tersendiri untuk memahami sesuatu. Oleh karena itu sebuah penafsiran memerlukan penjelasan dengan level yang berbeda-beda. Disinilah kita melihat Ath-Thabary merasa perlu menyodorkan pendapat pribadinya, tentunya dalam kapasitas penyempurna dari rangkaian logika penafsiran yang ia buat.

2. Metode Penafsiran
Kitab ini dikenal dengan sebutan Tafsir at-Thabary, yang pembahasannya didasarkan atas riwayat-riwayat dari Rasulullah Saw, para sahabat, dan tabi’in.
Penerapan metode secara konsisten ia tetapkan dengan tahlili menurut perspepsi sekarang. Metode ini memungkinkan terjadinya dialog antara pembaca dengan teks-teks Al-Qur’an dan diharapkan adanya kemampuan untuk menangkap pesan-pesan yang didasarkan atas konteks kesejarahan yang kuat.
Tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Seorang penafsir yang mengikuti metode ini menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara runtut daru awal hingga akhirnya, dan surat demi surat sesuai dengan Mushaf Utsmani. Untuk itu, ia mengurikan kosa kata dari lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki, juga unsure-unsur I’jaz dan balaghah, serta kandungannya dari berbagai aspek dan hukum. Penasiran dengan metode tahlili juga tidak mengabaikan aspek asbab al-nuzul suatu ayat, munasabah (hubungan) ayat Al-Qur’an satu sama lain. Dalam pembahasannya, penafsir biasanya merujuk riwayat-riwayat terdahulu baik yang diterima dari Nabi, sahabat, maupun unakapan-ungkapan arab pra Islam dan kisah isra’iliyat.
Jadi, pola penafsiran yang diterapkan oleh At Ath-Thabary terlihat jelas, bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara komprehensif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur maupun al-ra’y. Maka untuk lebih mudah mengenal metode tafsir tahlili, berikut ini dikemukakan beberapa corak tafsir yang tercakup dalam tafsir tahlili, sebagai contoh, yaitu:
Pertama, tafsir bi al ma'tsur, yaitu penafsiran ayat Al-Qur’an dengan ayat; penafsiran ayat dengan Hadith Nabi saw, untuk ayat yang dirasa sulit dipahami oleh para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi'in. Tafsir bi al ma'tsur (literal) juga dikenal dengan tafsir bi al riwayah. Di antara kitab tafsir yang menggunakan metode bi al ma'thur adalah Jami' al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an karya Imam Ibn Jarir al-Tabari. Tafsir Al-Qur’an al-'Adim karya Ibn Kathir.
Kedua, tafsir bi al ra'yi, yaitu penafsiran Al-Qur’an dengan ijtihad, terutama setelah seorang mufassir betul-betul mengetahui perihal bahasa Arab, asbab al nuzul, nasikh-mansukh dan beberapa hal yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir. Tafsir bi al ra'yi (rasional) juga dikenal dengan tafsir bi al dirayah.
F. Kecenderungan Penafsiran
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an At Ath-Thabary cenderung mengungkapkan pendapat mengenai suatu ayat, kemudian At Ath-Thabary menafsirkan ayat tersebut dan mendukung penafsirannya dengan pendapat para sahabat dan tabi’in. Ath-Thabary tidak hanya mencukupkan pada sekedar mengemukakan riwayat-riwayat saja, tetapi juga mengkonfrontir riwayat-riyata tersebut satu sama lain dan mempertimbangkan mana yang paling kuat. Adakalanya ia juga, membahas segi-segi I’rab, apabila yang yang demikian itu dianggap perlu. Terkadang At Thabry meneliti hadits-hadits musnad yang dijadikan argumentasinya.
Tafsir Ath-Thabary juga memuat istinbath (pengambilan hukum), menyampaikan perbedaan pendapat yang ada di kalangan ulama, dan memilih pendapat mana yang lebih kuat di antara pendapat-pendapat itu dengan sisi pandang yang didasarkan kepada logika dan pembahasan nash ilmiah yang teliti.
Penjelasan tentang tata bahasa dan aspek-aspek lain dari bahasa Arab yang ada sekarang dan kemudian, merupakan suatu keharusan dan keniscayaan dalam kitab ini. Tafsir ini tidak terlepas dari perdebatan teologis yang begitu menonjol pada masanya, sehingga di dalamnya terdapat kritik terhadap Qadariyah dan Jabariyah. Pembahasan mengenai fiqh dibuat sangat menarik, di mana dikemukakan pendapat hukum yang independen dan persoalan-persoalan fiqh yang berbeda dari keempat madzhab yang sudah mapan di kalangan ahl al-sunna. Selain itu, ia juga berbeda pandangan dengan madzhab Hambali.
G. Sumber Penafsiran
1. Riwayat
Dalam menafsirkan ayat-ayat, Ibnu Jarir Ath-Thabary menolak bersandar pada logika semata. Ia umumnya menuliskan riwayat-riwayat beserta sanadnya yang sampai shahabat atau tabi’in, dengan memperhatikan ijma’ Ulama dan mengindahkan perbedaan pendapat bacaan ayat-ayat. Ia juga merujuk kepada bahasa Arab asli dalam menafsirkan kata dalam satu ayat yang kurang jelas.
Oleh sebab itu dengan menggunakan metode ini At Ath-Thabary membatasi diri untuk tidak teralu banyak menggunakan ijtihadnya, kecuali dalam memilih ayat mana menafsirkan ayat mana, dan dalam menyeleksi riwayat-riwayat, baik dari Rasulullah maupun dari sahabat dan tabi’in.
2. Ra’yu
Ath-Thabary dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tidak semata-mata mengandalkan riwayat-riwayat, tetapi juga menggunakan nalarnya berlandaskan pengetahuan bahasa arab. Keahlian di bidang bahasa sangat mendukung hal ini, karena itu dalam kitab tafsirnya syair-syair pra-Islam dan sesudahnya dijadikan argumentasi terhadap arti yang dipilihnya bagi satu kata (lafal) Al-Qur’an.
Ath-Thabary dalam mukaddimah mengemukakan hadits-hadits nabi yang kandungannya melarang penafsiran yang mengandalkan nalar. Menurut Ath-Thabary, larangan tersebut bukannya berkaitan dengan seluruh ayat-ayat Al-Qur’an, melainkan hanya menyangkut ayat-ayat yang berbicara tentang hal-hal yang tidak mungkin dijangkau oleh nalar manusia, seperti persoalan metafisika.
Ath-Thabary membagi pembicaraan Al-Qur’an pada tiga bagian pokok :
1. Persoalan-persoalan yang tidak mungkin dapat diketahui oleh seorangpun, seperti waktu datangnya kiamat
2. Persoalan-persoalan yang diketahui oleh Rasulullah SAW dan yang kemudian dapat diketahui melalui riwayat-riwayat yang bersumber dari beliau
3. Persoalan-persoalan yang dapat diketahui secara langsung oleh para ahli bahasa arab.
Bagian ketiga inilah yang menjadi bahan penafsiran Ath-Thabary yang sifatnya bi ar ra’yi.
3. Isra’iliyat
Ditinjau dari segi bahasa, kata ‘’Israiliyat‘’ (bentuk jamak dari kata Israiliyat) yang berarti “Hamba Tuhan”. Kata ini merupakan nama lain dari Yakub saat itu, kemudian istilah ini berkembang menjadi kata “Israil”.
Jika diperhatikan dengan cermat, tafsir At Ath-Thabary akan didapati riwayat-riwayat israiliyyat, yang disandarkan kepada Ka’ab al-Akhbar, wahab bin Munbih, Ibnu Juraij, as-Sudi, dan lain-lain. Dengan demikian kitab Ath-Thabary tidak terlepas dari riwayat-riwayat yang lemah (Dha’if) dan tertolak.
Sebagai contoh, dalam menafsirkan firman Allah surat Al-Kahfi ayat 94:


Artinya:
” Mereka berkata: "Hai Dzulkarnain, Sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, Maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?" (QS. Al-Kahfi: 94)

At Ath-Thabary menyebutkan riwayat dengan isnad yang mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Humaid, ia berkata: telah menceritakan kepada kami salamah, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq tang berkata: Telah menceritakan kepada kai salah seorang Ahli Kitab yang telah masuk Islam, yang suka menceritakan cerita-cerita asing: Dari warisan-warisan cerita yang diperoleh, dikatakan bahwa Dzulqarnain adalah seorang penduduk Mesir. Nama lengkapnya Mirzaban bin murdhiyah, bangsa Yunani, keturunan yunan bin Yafits bun Nuh.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
At-Thabary dipandang sebagai tokoh penting dalam jajaran mufassir klasik pasca tabi’ al-tabi’in, karena lewat karya monumentalnya Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an mampu memberikan inspirasi baru bagi mufassir sesudahnya. Struktur penafsiran yang selama ini monolitik sejak zaman sahabat sampai abad III H. kehadiran tafsir ini memberikan aroma dan corak baru dalam blantika penafsiran. Eksplorasi dan kekayaan sumber yang heterogen terutama dalam hal makna kata dan penggunaan bahasa Arab yang telah dikenal secara luas di kalangan masyarakat. Di sisi lain, tafsir ini sangat kental dengan riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran (ma’sur) yang disandarkan pada pendapat dan pandangan para sahabat, tabi’ tabi’in melalui hadis yang mereka riwayatkan.
Itulah sebabnya Tafsir ini memiliki karakteristik tersendiri dibanding dengan tafsir-tafsir lainnya. Paling tidak analisis bahasa yang sarat dengan syair dan prosa Arab kuno, variant qira’at, perdebatan isu-isu bidang kalam, dan diskusi seputar kasus-kasus hukum tanpa harus melakukan klaim kebenaran subyektifnya, sehingga Ath-Thabary tidak menunjukkan sikap fanatisme mazhab atau alirannya. Kekritisannya mengantarkan pada satu kesimpulan bahwa ia termasuk mufassir professional dan konsisiten dengan bidang sejarah yang ia kuasai.
Tafsir Ath-Thabary adalah kitab tafsir Al-Qur’an paling lengkap, paling tua, dan paling populer di kalangan ulama dan pencari ilmu. Ditulis oleh Imam Muhammad (Abu Ja'far) bin Jarir Ath-Thabary (838 - 923 M), ulama asal Tabaristan (Persia). Karya ini aslinya berjudul Jami al-bayan an ta'wil ay Al-Qur’an, namun lebih populer sebagai Tafsir Ath-Thabary. Tafsir Ath-Thabary bisa dikatakan sebagai tafsir pertama dilihat dari waktu penulisan dan penyusunan keilmuannya. Karena kitab tesebut merupakan tafsir pertama yang sampai pada kita di saat tafsir-tafsir yang mendahuluinya telah lenyap ditelan perputaran zaman sehingga tidak sampai ke tangan kita. Adapun dilihat dari sisi penyusunan keilmuannya, maka ia tafsir yang memiliki ciri khas yang ditemukan oleh penulisnya yang kemudian ia tempuh sebagai metode tersendiri hingga ia persembahkan kepada umat manusia sebagai karya yang agung.
B. Saran-saran
Dalam memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat Al-Qur’an kita tidak boleh hanya mengandalkan pendekatan ar Ra’yu semata sebab keterbatasan mufassir dan adanya tendensi merupakan hal yang sangat mungkin terjadi dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Selan itu Rasulullah sebagai satu-satunya manusia yang diberi otoritas secara mutlak oleh Allah sebagai sang mufassir pertama dan paling bisa dipertanggung jawabkan validitasnya, serta hanya beliaulah yang mampu memahami Al-Qur’an secara sempurna, oleh karena itu hendaklah dalam menginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur’an tidak boleh lepas dari interpretasi yang telah diberikan oleh Rasulullah, melalui riwayat-riwayat yang benar-benar berasal dari beliau.
Terlepas dari hal tersebut, memberikan interpretasi terhadap teks-teks Al-Qur’an berarti memberikan penjelasan terhadap makna yang terkandung di dalam teks tersebut. Bagaimana permasalahan umat dapat terselesaikan jika interpretasi terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dilatar belakangi oleh tendensi-tendensi indiviualisme ataupun kelompok, hegemoni ideologi. Sementara secara factual, tidak ada yang cukup bisa membatasi kepentingan-kepentingan ini. Teks normative Al-Qur’an pun tidak cukup eksplisit dalam menentukan jenis kepentingan dan juga pengetahuan yang layak dijadikan pedoman dalam penafsiran. Oleh karena itu, seorang mufassir haruslah terlepas dari segala tendensi yang dapat melahirkan penyelewengan makna, serta menghindari rigoritas penafsiran dengan semua dimensi negatifnya, dan menuju pada kearifan hermeneutis yang bisa melahirkan interpretasi yang bijak, dengan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.


DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan, Melacak Unsur-Unsur Israiliyah Dalam Tafsir At Ath-Thabary Dan Tafsir Ibnu Katsir. Bandung: Pustaka, 1999

Adz Dzahabi, Muhammad Husain, At Tafsir wa Al Mufassirun, Riyadh: Daar Al Kutub Al Haditsah,1396H/1972M

, At-Tafsir wal Mufassiruun, Kairo: Darul Kutub al-Haditsah, 1961 M/1381 H

Al-Farmawy, Abdul Hayy, Metode Tafsir Maudhu'iy Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996

Al-Qatthan, Manna’, Mabahist fie Ulumil Al qur’an, Surabaya: Maktabah al-Hidayah, TT

Al-Suyuthi, Jala al Din, Al Itqon fi Ulum Al-Qur’an, Baidar: Mansyurat al Ridha, 1343

Ath Ath-Thabary, Imam Abu Ja’far bin Jarir, Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Al Quran, Beirut: Daar Al Kutub Al Ilmiah, 1992

Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Pelajar, 1988

Ismail, Nurjannah, Perempuan Dalam Pasungan: Bias Laki-Laki Dalam Penafsiran, Yogyakarta: LKis, 2003

Leaman, Oliver, The Qur’an; an Encyclopedia, London: Routledge, 2006

Saeed, Abdullah, Intepreting The Qur’an, London : Routledge, 2006

Suryadaliga, M. Alfatih, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2005

Al Mausu’ah Al ‘Arabiyah Al ‘Alamiyah. www.mawsoah.net

http://ahmadbinhanbal.wordpress.com/2010/07/05/ibnu-jarir-at-Ath-Thabary/#_ftn4

http://minice1.blogspot.com/2008/07/jamiul-bayan-fi-tafsiril-quran.html

http://www.cordova-bookstore.com/azzam/Ath-Thabary.htm

http://www.belajarIslam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=450:Mengenal-Imam-Ath-Thabary&catid=61:biografi&Itemid=139

Tidak ada komentar:

Posting Komentar