A. PENDAHULUAN
Pada dasarnya agama membawa misi sebagai pembawa kedamaian dan keselarasan hidup. Baik itu agama Islam sendiri dan agama lainnya.
Namun, dalam kenyataannya tidak jarang agama bukannya menjadi pemersatu sosial tapi malah sebaliknya sebagai unsur konflik. Hal ini disebabkan dengan adanya truth klaim pada tiap-tiap pemeluknya.
Al Qur’an sebagai wahyu Allah, dalam pandangan dan keyakinan umat Islam adalah sumber kebenaran dan mutlak itu tidak akan tampak manakala tidak di pahami.
Sehingga kerukunan antaragama yang pernah dijalankan oleh pemerintah ORBA pada masa itu berjalan lancar sesuai dengan cirinya yang menekankan pada pendekatan keamanan. Lalu timbul berbagai macam kerusuhan pada saat ini baik itu di Ambon, Kupang dan Aceh sehingga program itu perlu ditanyakan kembali, bisa saja kan kita mengira karena pendekatannya itu pada masa Orde Baru berjalan lancar.
B. PLURALIS AGAMA
Agama, sebagaimana seni, sangat sulit untuk diberi batasan yang tegas. Agama, menurut Hans Kung, bukanlkah untuk didefinisikan, apalagi untuk diperdebatkan. Agama adalah sesuatu untuk dihayati dan diamalkan. Ia bukan sesuatu yang ada diluar diri manusia.
Menurut Hans Kung, agama bukan hanya menyangkut hal-hal yang teoritik, melainkan hidup sebagaimana yang kita hayati. Agama menyangkut sikap hidup, pendekatan terhadap hidup, cara hidup, dan yang terpenting adalah menyangkut perjumpaan atau relasi dengan apa yang dinamakan Rudulf Otto sebagai The Holy. Agama selalu menyangkut basic trust seseorang terhadap hidup dan menyangkut “ya” atau “tidak” terhadap hidup. Menurut Kung, secara eksistensial, sadar atau tidak, manusia membutuhkan komitmen pada makna, dan komitmen pada norma.
Dalam hal ini agama selalu berkaitan dengan manusia. Sejarah agama selalu menyertai sejarah kemanusiaan. Agama tidak akan pernah hilang dari muka bumi ini semenjak dimulainya sejarah kemanusiaan hingga ia punah. Sebab, menurut Max
Setiap agama membawa misi sebagai pembawa kedamaian dan keselarasan hidup, bukan saja antarmanusia, tetapi juga antarsesama makhluk Tuhan penghuni semesta ini. Dalam tataran historis, misi agama tidak selalu artikulatif. Saelain sebagai alat pemersatu sosial, agama pun menjadi unsur konflik. Bahkan, menurut Schimmel, dua unsur itu menyatu dalam agama. Mungkin pernyataan ini agak berlebihan. Tetapi, jika melihat perjalanan sejarah dan realitas dimuka bumi ini, pernyataan itu menemukan landasan historisnya sampai sekarang. Persoalannya, bagaimana realitas itu bisa memicu para pemelik agama untuk merefleksikan kembali ekspresi keberagamaannya yang sudah sedemikian mentradisi dalam hidup dan kehidupannya.
Berkaitan dengan itu, salah satu yang menjadi problem paling besar dalam kehidupan beragama dewasa ini, yang ditandai oleh kenyataan pluralisme, adalah bagaimana teologi suatu agama mendefinisikan diri ditengah-tengah agama lain, dengan semakin berkembangnya pemahaman mengenai pluralisme agama, berkembanglah suatu paham teologia religionum. Paham ini menekankan semakin pentingnya dewasa ini untuk berteologi dalam konteks agama.
C. KLAIM KEBENARAN
Setiap agama memiliki kebenaran. Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan pada Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Dalam tataran sosialogis, klaim kebenaran berubah menjadi simbol agama yang dipahami secara subjektif, personal, oleh setiap pemeluk agama. Ia tidak lagi utuh dan absolut. Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda ketika akan dimaknakan dan dibahasakan. Sebab, perbedaan ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari berbagai referensi dan latar belakang yang diambil orang yang meyakininya dari konsepsi ideal turun kebentuk-bentuk normatif yang bersifat kultural. Ini yang biasanya digugat oleh berbagai gerakan keagamaan pada umumnya. Mereka mengklaim telah memahami, memiliki, bahkan menjalankan secara murni dan konskuen nilai-nilai suci itu.
Kita memang sulit melepaskan kerangka (frame) subjektivitas ketika keyakinan lain yang berbeda. Meskipun ada yang berpendapat bahwa kerangka subjektif adalah cermin eksistensi yang alamiah. Lagi pula, setiap manusia mustahil menempatkan dua hal yang saling berkontradiksi satu sama lain dalam hatinya. Dengan begitu, kita tidak harus memaksakan inklusivisme “gaya kita” pada orang lain, yang menurut kita ekslusif. Sebab, bila hal ini terjadi, pemahaman kita pun sebenarnya masih terkunjung pada jerat-jerat ekskusivisme, tetapi dengan menggunakan nama inklusivisme.
Dengan demikian,pluralisme bisa muncul pada masyrakat di mana pun ia berada.ia selalu mengikuti perkembangan masyarakat yang semakin cerdas, tidak ingin dibatasi oleh sekat-sekat sektarianisme.
D. ISLAM DAN PLURALISME
Al Qur’an sebagai wahyu Allah, dalam pandangan dan keyakinan umat Islam adalah sumber kebenaran dan mutlak itu tidak akan tampak manakala Al qur’an tidak berinteraksi dengan realitas sosial, atau menurut Quraish Shihab di bumikan. Menurut Nurcholis Majid berpendapat bahwa sistem nilai plural adalah sebuah aturan Tuhan yang tidak mungkin berubah, diubah, dilawan, dan diingkari. Barang siapa yang mencoba mengingkari hukum kemajemukan budaya, maka akan timbul fenomena pergunakan yang tidak berkesudahan. Boleh dikatakan bahwa memahami pluralitas agama dan budaya merupakan bagian dari memahami agama, sebab memahami agama pada dasarnya juga memahami kebudayaan masyarakat secara menyeluruh.
Langkah bijaksana bagi setiap umat adalah belajar dari kenyataan sejarah. Yatu sejarah yang mendorong terwujudnya masyarakat plural dan integratif, oleh karena itu, agenda yang perlu diluruskan oleh islam Indonesia adalah mengubah pluralisme sebagai ideologi sebagai konkret. Tentu saja dituntut peran negara yang positif dalam memperlakukan agama. Agama bukan hanya sebagai intrumen mobilisasi politik, tetapi yang lebih penting adalah memperlakukannya sebagai sumber etika dalam interaksi, baik diantarasesama penguasa maupun sesama penguasa antar rakyat.
E. KERUKUNAN ANTARAGAMA
Konsep kerukunan antar umat beragama pernah dirumuskan dan ditetapkan oleh pemerintah Ordebaru dengan melibatkan semua tokoh agama yang ada di Indonesia, selama masa Orba. Relatif tidak konflik antar umat beragama yang berbeda. Namun ketika di Ambon, Aceh, Kupang, dan diberbagai daerah lannya terjadi berbagai kerusuhan dan tindakan kekerasan yang berbau agama.
Oleh karena itu, pengkajian ulang terhadap konsep kerukunan antar umat beragama yang selama ini diterapkan pemerintah. Maka konflik antaragama tidak bisa terhindarkan akan selalu meledak. Bila terjadi hal-hal sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, baik aspek politis, ekonomi, maupun sosial budaya.
Konflik merupakan suatu kondisi pertentangan dari dua kepentingan, yang antara keduanya saling memperebutkan, bahkan saling bertabrakan bahkan saling berlawanan. Dalam istilah Al Qur’an, konflik disebut dengan kata ‘aduw (permusuhan, pertentangan, konflik).
Khusus kata ‘aduw yang dikaitkan dengan interaksi antarmanusia dapat ditarik induksi tentang macam-macam konflik berikut :
1. Konflik sosial (Q.S 2:36;7 : 24 : 20 : 123 ; 43 : 67)
2. Konflik politik (Q.S 10 : 90; 22: 19 ; 28 :8 ; 28 : 15)
3. Konflik agama ( Q.S 4:62 ; 63 : 4; 4 : 101 ; 25 : 31)
4. Konflik budsaya (Q.S 5 : 48 ; 30 : 32)
Selain satu bagian dari kerukunan antarumat baragama adalah perlunya diadakan dialog antaragama. Agar komonikatif dan terhindar dari perdebatan teologis antarpemeluk (tokoh) agama.
F. KESIMPULAN
Dengan memperhatikan persoalan di atas, tampaknya konflik berwajah agama perlu dilihat dalam kaitan-kaitan politis, ekonomi, atau sosial budayanya. Apabila benar bahwa konflik itu murni konflik agama, maka masalah kerukunan sejati tetap hanya dapat dibangun atas dasar nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan HAM, yang - menyentuh keluhuran martabat manusia. Makin mendalam rasa keagamaan, makin mendalam pula rasa keadilan dan kemanusiaan. Seandainya tidak demikian, agama tidak mengangkat keluhuran martabat manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Zainal Abidin, Ahmad Syafi’i., Sosiosophologi, Cv Pustaka Setia., Bandung, 2002.
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, PT Remaja Rosdakarya., Bandung., TTh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar