BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits memiliki kedudukan yang strategis dan sangat urgen dalam ajaran Agama Islam. Hal itu terjadi karena, Hadits menjadi sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Posisi hadits seperti ini tidak hanya dijelaskan oleh Nabi SAW. bahkan juga oleh Allah SWT. Hal itu dapat dilihat dalam QS. 5: 92, 4: 65 dan lain-lain.
“Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. jika kamu berpaling, Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya kewajiban Rasul kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.”
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Oleh karena posisinya yang strategis itu, maka hadits terus menerus dikaji dan diriwayatkan. Termasuk dalam kajian hadits itu adalah naqd al-hadits (kritik hadits). Kritik hadits itu sendiri telah ada dan dilakukan oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW. Misalnya, kasus Umar yang mengecek kebenaran sebuah riwayat yang menerangkan bahwa Nabi telah menceraikan isteri-isterinya, juga pengecekan yang dilakukan sahabat-sahabat lain semacam Abu Bakar al-Shiddiq, Ali ibn Abi Thalib dan lain-lain diyakini sebagai cikal bakal ‘ilmu naqd al-hadits (ilmu kritik hadits). Baik kritik matan maupun sanad.
Kajian hadits ternyata tidak hanya milik kaum Muslimin, tetapi para orientalis pun tak ketinggalan melakukan kajian tersebut. Tersebutlah nama-nama semacam Ignaz Goldziher, Joseph Schact, Alferd Guilame dan lain-lain, yang melakukan kritik terhadap Hadits. Berbeda dengan kritik yang dilakukan kaum muslimin, kritik yang mereka lakukan sungguh mencengangkan. Aktivitas orientalisme dalam memurtadkan ummat dari aqidahnya adalah dengan memisahkan ummat dari al Quran dan sunnah. Tahap pertama yang mereka lakukan adalah berusaha mementahkan sunnah dan hadist-hadist rasulullah SAW. Yang kemudian mengarahkan pada interpretasi Quran bukan berdasarkna sunnah, tapi logika saja.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang penulis paparkan sebelumnya maka untuk menghindari kekeliruan dan mewujudkan pembahasan yang lebih terarah dan intens maka penulis akan merumuskan hal-hal yang dibahas dalam penulisan makalah ini:
1. Apa pengertian orientalis?
2. Bagaimana perspektif orientalis terhadap sunnah atau hadits?
3. Bagaimana tanggapan ulama terhadap pemikiran orientalis?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui pengertian, sejarah, dan bagaimana perspektif orientalis terhadap sunnah, bagaimana tanggapan sarjana muslim terhadap pandangan para orientalis. Serta untuk memperoleh khazanah pengetahuan yang lebih manusiawi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sunnah
1. Defenisi
Kata “hadis” mula-mula berarti “suatu pemberian kabar” (a communication) atau berita (narrative) pada umumnya, baik yang bersifat agama maupun duniawi, kemudian mempunyai arti yang khusus, yaitu suatu kumpulan perbuatan dan kata-kata Nabi SAW dan sahabat-sahabatnya. Dalam arti terakhir ini seluruh materi riwayat (hadis) yang suci kaum muslimin disebut “hadis”, maka pengetahuan tentang hadis disebut Ulum Al-Hadis.
2. Sejarah Ringkas Perkembangan As-Sunnah
Secara ringkas kita melihat para ulama membagi masa perkembangan hadits sebagai berikut:
a. Masa turunnya wahyu pada zaman Rasulullah (13 SH-10SH ).
b. Masa Khulafa ar-Rasyidin (11-40 H ).
c. Masa pencarian dan pengumpulan As-Sunnah pada masa tabi'in (41 H-akhir abad 1 H ).
d. Masa pembukuan As-Sunnah (Awal abad II H ).
e. Masa penyaringan As-Sunnah(abad III H )
f. Masa penyusunan kitab-kitab As-Sunnah(Abad IV H-VII H ).
g. Masa pembuatan kitab syarah hadits, kitab-kitab takhrij dan penyusunan kitab-kitab lainnya(Abad VII H dan seterusnya ).
Kita tidak akan membahas secara rinci sejarah perkembangan tersebut. Tapi yang jelas, pada zaman Rasulullah As-Sunnah belum ditulis karena:
a. Umat Islam sedang dikonsentrasikan kepada Al-Qur'an.
b. Agar Al-Quran tidak bercampur dengan selainnya
c. Nabi sendiri pernah melarangnya, kecuali bagi sahabat-sahabat tertentu yang diizinkan oleh beliau sebagai catatan pribadi.
d. Rasulullah berada ditengah-tengah ummat Islam sehingga dirasa tidak sangat perlu untuk dituliskan pada waktu itu.
e. Kemampuan tulis baca di kalangan sahabat sangat terbatas.
f. Kesibukan umat Islam dalam menghadapi perjuangan da'wah yang sangat penting.
Pada zaman-zaman berikutnya ternyata As-Sunnah belum sempat dibukukan karena sebab-sebab tertentu. Baru pada zaman Khalifah Umar bin Abdul Azis dari Bani Umayyah (99-101 H) timbul inisiatif dari beliau untuk menulis dan membukukan As-Sunnah secata resmi dari negara yang diamanahkan kepada imamAbu Bakar bin Muhammad SAW Az-Zuhri. Sebelumnya As-Sunnah atau hadits hanya disampaikan melalui periwayatan dan hafalan-hafalan para sahabat yang kebetulan hidup lama setelah Nabi wafat dan pada masa tabi'in.
Berkat jasa-jasa dari para ulama, hadits-hadits kemudian sempat dibukukan dalam berbagai macam buku seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan An-Nasa’i dan ratusan buku lainnya. Semua itu dilalaksanakan dengan seleksi-seleksi dansyarat yang ketat serta manhaj (metode) yang benar dan jelas yang kemudian melahirkan disiplin ilmu tersendiri yang disebut Ilmu Musthalah Hadits, Jarah wat Ta’dil, Ilalul Hadits, Ikhtilaful Hadits, Takhrij dan ilmu lainnya yang kemudian berkembang dengan berbagai macam cabang-cabangnya sampai saat ini.
3. Kedudukan As-Sunnah
Hadits Nabi Saw. diyakini oleh mayoritas umat Islam sebagai bentuk ajaran yang paling nyata dan merupakan realisasi dari ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Dalam hubungan antara keduanya, hadits berfungsi sebagai penjelas Al-Qur’an. Interpretasi terhadap petunjuk Allah ini diwujudkan dalam bentuk nyata dalam kehidupan Nabi. Sabda, perilaku, dan sikapnya terhadap segala sesuatu, terkadang menjadi hukum tersendiri yang tidak ditemukan dalam Al-Qur’an.
As-Sunnah menempati posisi kedua terpenting setelah Al-Quran dalam menetapkan hukum dalam Islam.As-Sunnah datang sebagai penjelas, perinci dan penguat dari hukum yang ada dalam Al-Quran, seperti shalat yang tata caranya hanya dijelaskan di dalam As-Sunnah.Ataupun perintah zakat dimana Al-Quran hanya menyebutkan hukumnya secara umum tanpa menjelaskan tata cara dan nishab serta hal lainnya yang berkaitan dengan zakat, kemudian dijelaskan oleh As-Sunnah.
Sunnah adalah sumber ajaran Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber ajaran Islam karena sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara secara global/umum, dan yang menjelaskan secara terperinci adalah Sunnah Rasulullah. Sunnah berfungsi dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci di dalam Al Qur’an sebagai sumber ajaran utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber ajaran Islam, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal. Kepatuhan umat Islam kepada sunnah Rasul adalah kepatuhan yang didasarkan kepada iman yang dibimbing oleh Al-Qur’an.
Hal ini tak terlalu sulit dipahami, sebab Al-Quran adalah Kitab Allah yang hanya memuat ketentuan-ketentuan umum, prinsip-prinsip dasar dan garis-garis besar masalah.Sedangkan rinciannya dituangkan di dalam Sunnah Nabi.Dan memang harus demikian. Sebab jika tidak, sulit dibayangkan Al-Quran akan menjadi setebal apa,karena ia harus mencantumkan semua masalah kecil dan parsial yang tak ada batasnya, apalagi masalah yang dihadapi umat manusia tak pernah berhenti dari waktu ke waktu. Oleh karena itu As-Sunnah menjadi penting keberadaannya bagi syariat Islam yang selalu relevan di setiap masa dan tempat.
B. Orientalis
1. Defenisi
Kata “orientalis” berasal dari kata orient yang berarti Asia Timur; atau berasal dari kata oriental yang berarti orang Timur atau Asia. Secara geografis kata orient bermakna dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur. Sedangkan dalam kamus ilmiah populer ”orientalis” adalah ahli Barat yang mempelajari Timur.
Kata isme menunjukkan pengertian tentang suatu faham. Jadi, orientalisme bermakna suatu faham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di timur beserta lingkungannya.
Dilihat dari segi terminologinya, Ismail Ya’kub menyatakan bahwa orientalis adalah orang yang ahli tentang soal-soal ketimuran, yakni segala sesuatu mengenai negeri-negeri Timur, terutama Negeri-negeri Arab pada umumnya dan Islam pada khususnya, tentang kebudayaannya, agamanya, peradabannya, kehidupannya dan lain-lain.
Orientalisme adalah studi Islam yang dilakukan oleh orang-orang Barat. Kritikus orientalisme bernama Edward W Said menyatakan bahwa orientalisme adalah suatu cara untuk memahami dunia Timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat Eropa.
Menurut Grand Larousse Encyclopedique seperti dikutip Amin Rais, orientalis adalah sarjana yang menguasai masalah-masalah ketimuran, bahasa-bahasanya, kesusastraannya, dan sebagainya. Karena itu orientalisme dapat dikatakan merupakan semacam prinsip-prinsip tertentu yang menjadi ideologi ilmiah kaum orientalis.
Dan dalam kata ”orientalis” terkandung sifat umum nama pelaku atau ahli-ahli ketimuran, artinya dalam beberapa hal siapapun orangnya apakah ia muslim atau non muslim, apabila ia telah luas pengetahuannya tentang ketimuran maka ia seringkali terkategorikan secara langsung sebagai orientalis, seperti dinyatakan oleh kelompok Oxford bahwa orientalis adalah semua orang yang telah luas pengetahuannya tentang bahasa-bahasa Timur serta kesustraannya. Definisi ini dibantah oleh sebagian pakar dengan hanya membatasi pengertian orientalis hanya pada orang Barat (Eropa dan Amerika) yang nonmuslim.
Jadi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hanafi bahwa orientalis adalah segolongan sarjana-sarjana Barat yang mendalami bahasa-bahasa dunia Timur dan kesustraannya, dan mereka menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur; sejarahnya, adat istiadatnya dan ilmu-ilmunya.
2. Sejarah Orientalis
Sungguh sulit menentukan secara pasti awal tumbuh orientalisme. Sebagian sejarawan bekecenderungan bahwa orientalisme bermula dari zaman Daulah Islamiyah di Andalusia (Spanyol). Sedangkan sebagian ahli lain mengatakan ketika terjadi Perang Salib.
Khusus tentang Orientalisme Ketuhanan (Lahuti), keberadaannya sudah tampak secara resmi sejak dikeluarkannya keputusan Konsili Gereja Viena tahun 1312 M dengan memasukkan materi bahasa Arab ke berbagai universitas di Eropa.
Orientalisme muncul di Eropa baru pada penghujung abad 18 M. Pertama kali muncul di Inggris tahun 1779 M, di Perancis tahun 1799 M dan dimasukkan ke dalam kamus Akademi Perancis pada tahun 1838 M.
Tahun 1130 M, Kepala Uskup Toledo menerjemahkan beberapa buku ilmiah Arab. Kemudian jejak ini diikuti oleh Gerard de Cremona (1114-1187 M) dari Italia. Ia pergi ke Toledo dan menerjemahkan buku tidak kurang dari 87 judul di bidang filsafat, kedokteran, astronomi, dan geologi.
Di Perancis muncul Pierre le Venerable (1094-1156), seorang pendeta Venezia dan Kepala Biarawan Cluny, membentuk kelompok penerjemah. Tujuannya agar mendapat pengetahuan objektif terntang Islam. Ia sendiri adalah orang yang berada di belakang terbitnya terjemah pertama Al-Qur’an dalam bahasa Latin yang dilakukan oleh Robert of Ketton dari Inggris.
Juan de Sevilla, seorang yahudi yang masuk Kristen, muncul pada pertengahan abad ke-12 dan menaruh perhatian pada bidang astronomi. Ia telah menyadur 4 buah buku berbahasa Arab karya Abu Ma‘syar al-Balkhi (1133 M). Tugas penerjemahannya dibantu oleh Adler of Bath.
Roger Bacon (1214-1294 M), dari Inggris. Menuntut ilmu di Oxford dan Paris dan meraih gelar doktor di bidang teologi. Ia menerjemahkan buku berbahasa Arab Mir’at al-Kimia tahun 1521 M.
C. Persepsi Orientalis Terhadap Hadis
Orientalisme yang pada awalnya adalah salah satu kajian keilmuan yang tergabung di dalam ilmu Antropologi, memiliki tujuan yang sama dengan ilmu induknya tersebut yaitu untuk mempelajari kebudayaan lain agar bisa menemukan kebudayaan terbaik yang bisa dijadikan kebudayaan pilot project bagi seluruh dunia.
Namun pada perkembangan lebih lanjut, antropologi kemudian berubah menjadi sebuah kajian keilmuan dari sebuah bangsa Eshtablished terhadap kebudayaan yang outsiders. Karena masyarakat merasa mereka lebih berbudaya daripada masyarakat oriental (timur), baik itu timur jauh, timur tengah, timur selatan. Meliputi semua hal budaya, adat, norma dan juga agama-agama masyarakat timur.
Di dalam salah satu bukunya, Orientalism, Edward Said mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh para orientalis dalam meneliti agama Islam, khususnya hadis, bukanlah pekerjaan yang non profit oriented, artinya mereka memiliki tujuan tertentu dengan meneliti agama Islam sedemikian rupa. Tujuan itu antara lain adalah mencari kelemahan Islam dan kemudian mencoba menghancurkannya pelan-pelan dari dalam. Walaupun tidak semua orientalis memiliki tujuan seperti itu paling tidak itu adalah sebuah anomali dari sekelompok orang yang boleh dikata memiliki persentase sangat kecil.
Mereka memilih hadis dalam upayanya untuk menyerang umat Islam karena kedudukan hadis yang sangat penting dalam kehidupan kaum muslim. Hadis adalah sumber hukum kedua setelah al Quran sekaligus juga sebagai penjelas dari al Quran itu sendiri. Mereka lebih memilih menyerang hadis ketimbang al Quran, karena hadis hanyalah perkataan manusia yang bisa saja mengandung kesalahan dan unsur-unsur negatif lainnya. Mereka sulit untuk mencoba mendistorsikan al-Quran karena al-Quran adalah sumber transendental dari tuhan yang telah terjamin dari semua unsur negatif.
Ada tiga hal yang sering dikemukakan orientalis dalam penelitian mereka terhadap al-Hadis, yaitu tentang para perawi hadis, kepribadian Nabi Muhammad SAW SAW, metode pengklasifikasian hadis :
a. Aspek Perawi Hadis
Para orientalis sering mempertanyakan tentang para perawi yang banyak meriwayatkan hadis dari rasulullah. seperti yang kita ketahui bersama para sahabat yang terkenal sebagai perawi bukanlah para sahabat yang yang banyak menghabiskan waktunya bersama rasullah seperti Abu bakar, Umar, Usman dan Ali. Namun yang banyak meriwayatkan hadis adalah sahabat-sahabat junior dalam artian karena mereka adalah orang “baru” dalam kehidupan rasulullah. Dalam daftar sahabat yang banyak meriwayatkan hadis tempat teratas diduduki oleh sahabat yang hanya paling lama 10 tahun berkumpul dengan Nabi, seperti Abu hurairah, Sayyidah Aisyah, Anas bin malik, Abdullah ibn Umar dll. Abu hurairah selama masa 3 tahun dia berkumpul dengan Nabi telah berhasil meriwayatkan lebih dari 5800 hadis, Sayyidah Aisyah mengumpulkan lebih dari 3000 hadis dan demikian juga dengan Abdullah ibn Umar, Anas.
b. Aspek Kepribadian Nabi Muhammad SAW SAW
Tidak cukup dengan menyerang para perawi hadis, kepribadian Nabi Muhammad SAW juga perlu dipertanyakan. Mereka membagi status nabi menjadi tiga sebagai rasul, kepala negara, dan pribadi biasa sebagaimana orang kebanyakan. Bahwa selama ini hadis dikenal sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW baik perbuatan, perkataan dan ketetapan beliau juga perlu direkontruksi ulang. Sesuatu yang berdasarkan dari Nabi baru disebut hadis jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, karena jika tidak hal itu tidak layak untuk disebut dengan hadis, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad SAW.
c. Aspek Pengklasifikasian Hadis
Sejarah penulisan hadis juga tidak lepas dari kritikan mereka. Penulisan hadis yang baru dilakukan beberapa dekade setelah Nabi Muhammad SAW wafat juga perlu mendapat perhatian khusus. Hal itu, lanjut mereka, membuka peluang terhadap kesalahan dalam penyampaian hadis secara verbal, sebagaimana yang dikatakan oleh Montgomerywatt,salah seorang orientalis ternama saat ini:
"Semua perkataan dan perbuatan Muhammad SAW tidak pernah terdokumentasikan dalam bentuk tulisan semasa Ia hidup atau sepeninggalnya. Pastinya hal tersebut disampaikan secara lisan ke lisan, setidak-tidaknya pada awal mulanya. Hal itu diakui ataupun tidak sedikit banyak akan mengakibatkan distorsi makna, seperti halnya dalam permainan telpon-telponan anak kecil".
Hal di atas adalah sebagian dari pemikiran Orientalis tentang Islam, lebih spesifik lagi tentang hadis. Hal itu sedikit banyak bisa memberikan pemahaman dan wacana baru bagi kita agar kita bisa melihat hadis, sesuatu hal berharga yang kita punyai tidak hanya dengan pandangan dan penilaian kita tapi juga dengan sisi pandang orang lain, yang boleh jadi akan lebih objektif dari kita. kita harus berterima kasih kepada mereka karena telah meneliti kehidupan kita, sehingga kita bisa mengambil hasil penelitian mereka sebagai bahan koreksi dan pembelajaran bersama, terlepas dari niat-niat buruk dari sebagian mereka.
D. Hadis dan Orientalis
Sarjana barat yang pertama kali melakukan kajian Hadis adalah Ignaz Goldziher, ia mempublikasikan hasil penelitiannya tentang Hadis dalam sebuah buku yang berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Dan sejak saat itu hingga sekarang, buku tersebut menjadi "kitab suci" di kalangan orientalis.
Dibanding dengan Goldziher, hasil penelitian Schacht memiliki "keunggulan", karena ia bisa smpai pada kesimpulan yang meyakinkan bahwa tidak ada satupun Hadis yang otentik dari Nabi Muhammad SAW, khususnya Hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam. Sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan yang meragukan adanya otentisitas Hadis. tidak aneh jika kemudian buku Schacht memperoleh reputasi dan sambutan yang luar biasa.
Baik Ignaz maupun Schacht, keduanya tidak berbicara tentang otoritas Hadis sebagai sumber hukum dalam Islam. Karena keduanya telah sepakat bahwa Hadis tidak memiliki otentitas sebagai sebuah ajaran yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, padahal Hadis dapat menjadi sumber ajaran Islam, ketika ia otentik dari Nabi, sehingga tidak mungkin Hadis dapat digunakan sebagai sumber ajaran Islam.
Keduanya justru membuat kiat-kiat yang dapat dipergunakan sebagai pendukung hasil penelitian mereka; Bahwa apa yang disebut sebagai Hadis, bukanlah sesuatu yang otentik dari Nabi Muhammad SAW. Setidaknya ada tiga kiat-kiat digunakan, guna menyokong pendapat mereka:
a. Mendistorsi teks-teks sejarah. Semisal tuduhan Goldziher terhadap Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.). menurutnya Imam al-Zuhri telah melakukan pemalsuan Hadis, dan ia juga mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Ibn Syihab al-Zuhri, sehingga menimbulkan kesan bahwa Imam al-Zuhri memang mengakui dirinya sebagai pemalsu Hadis.
Menurut Goldziher, al-Zuhri pernah berkata, inna haula'I al-umara akrahuna 'ala kitabah ahadist (para penguasa itu memaksa kami untuk menulis Hadis). kata 'ahadist' dalam kutipan Goldizer tidak menggunakan artikel "al" (al-ahadist) yang dalam bahasa Arab memiliki makna definitif (ma'rifah), sementara dalam teks yang asli, yang merupakan ucapan Imam Ibn Syihab yang sebenarnya, seperti yang terdapat dalam kitab Ibn Sa'ad dan Ibn 'Asakir, adalah 'al-ahadist' yang berarti Hadis-hadis yang telah dimaklumi secara definitif, yaitu Hadis-hadis yang berasal dari Nabi Muhammad SAW.
b. Membuat teori-teori rekayasa. Bahwa untuk memperkuat tuduhannya yang menyatakan bahwa apa yang disebut Hadis adalah bukan sesuatu yang otentik dari nabi Muhammad SAW, melainkan hanya merupakan bikinan para ulama abad pertama dan kedua, Schacht membuat teori tentang 'rekonstruksi' terjadinya sanad Hadis. teori ini dikemudian hari dikenal sebagai teori Projecting Back (proyeki ke belakang)
Menurut Schacht, jurisprudensi Islam belum eksis dan permanen pada masa al-Sya'by (w. 110 H.). Hal ini artinya bahwa apabila terdapat Hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka sejatinya Hadis-hadis tersebut merupakan buatan orang-orang yang lahir dan hidup sesudah al-Sya'bi. Schacht berpendapat bahwa jurisprudensi Islam baru dikenal sejak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama), yang baru diadakan pada dinasti bani Umayah.
c. Melecehkan Ulama Hadis, di mana kiat para orientalis selanjutnya adalah melecehkan kredibilitas ulama Hadis, sembari menuduh mereka sebagai pemalsu. Banyak ulama yang mereka sorot dan menjadi sasaran pelecehan ini, antara lain Shahabat Abu Hurairah (w. 57 H.), Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.), dan Imam Muhammad SAW bin Ismail al-Bukhari (w. 256 H.).
Tiga tokoh tersebut menjadi sasarn pokok serangan para orientalis karena ketiganya menempati posisi-posisi yang strategis dalam kajian ilmu Hadis; Abu Hurairah adalah Shahabat yang tercatat sebagai shahabat yang paling banyak meriwayatkan Hadis dari Nabi Muhammad SAW. Dan al-Zuhri disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali membukukan Hadis. sementara al-Bukhari adalah tokoh yang menulis kitab paling otentik sesudah al-Quran, yaitu kitab Shahih al-Bukhari.
E. Beberapa Tokoh Orientalis
a) Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher adalah termasuk orientalis terkemuka yang mendalami ilmu-ilmu Islam. Ia lahir pada 22 Juni 1850, di Hongaria. Ia berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang. Pendidikannya dimulai dari Budhapest kemudian melanjutkan ke Berlin pada tahun 1869 dan pindah lagi ke Universitas Leipzig.
Goldziher dalam studinya dibimbing oleh orientalis terkemuka saat itu yaitu Fleisser, pakar filologi (ilmu tentang asal-usul kata). Goldziher memperoleh gelar doktoral tingkat pertama pada tahun 1870 dengan karyanya : “Penafsir Taurat yang Berasal dari Tokoh Yahudi Abad Tengah.” Buku klasik pertama yang menjadi kajiannya adalah Azh Zhahiriyah: Madzhabuhum wa Tarikhuhum. Ia kemudian mendalami kajian fikih dan ushul fikih.
Pada tahun 1889 ia menulis karangan tentang hadits berjudul Dirasah Islamiyah, dua juz. Dalam bukunya Al Aqidah was Syariah fil Islam’ Goldziher banyak melakukan tuduhan-tuduhan menyimpang kepada Muhammad SAW saw. Prof. Ahmad Muhammad SAW Jamal mengkritik keras karyanya ini. Menurut Jamal, pada halaman 12, Goldziher melontarkan tuduhan bahwa Islam merupakan himpunan pengetahuan dan pandangan agama-agama lain yang sengaja dipilih Muhammad SAW.. hal ini diketahui dan ditimba oleh Muhammad SAW karena hubungannya dengan oknum-oknum Yahudi, Nasrani dan lain-lainnya. Ignaz Goldziher meninggal pada tahun 1921.
b) Josepht Schahct
Sementara Josepht Schahct adalah seorang profesor yang lahir di Rottbur Jerman, 15 Maret 1902. Ia mulai studi di perguruan tinggi dengan mendalami filologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Prusia dan Leipzig. Tahun 1923, ia memperoleh gelar sarjana muda di Universitas Prusia dan menjadi guu besar pada 1929. Schacht menjadi dosen di Universitas Frayburg, Jerman. Pada tahun 1934 ia diundang untuk mengajar di Universitas Kairo, Mesir.
Di Mesir, ia mengajar fikih, bahasa Arab dan bahasa Suryani, di jurusan Bahasa Arab, Fakultas Sastra. Ia mengajar di Universitas Mesir hingga 1939. Ketika terjadi Perang Dunia II pada September 1939, Schacht pindah dari Mesir ke London dan bekerja di Radio BBC, London. Di situ ia berperanan melancarkan propaganda melawan nazi Jerman.
Dalam bidang Fikih, karya Schacht antara lain: Al Khoshaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain. Karyanya yang menonjol dan kontroversial adalah bukunya The Origins of Muhammad SAWan Jurisprudence (Oxford,1950). Karya Schacht ini banyak mengambil rujukan Ar RisalahnyaImam Syafii.
c) Jyunboll
Adapun G.H.A Jyunboll adalah pendukung setia kedua orientalis di atas. Karya-karyanya antara lain : The Authenticity of The Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt, juga tentang On The Origin of Arabic Prose Reflection on Authenticity, termasuk juga Muslim Tradition : Studies in Cronology Provenance and Authorship of Early Hadith dan The Date of The Great Fitna.
Sejak di bangku S1 di Leiden, Belanda, Juynboll sudah begitu gigih mencurahkan segenap upayanya melakukan penelitian terhadap otentifikasi hadits. Tak ayal, setelah tiga puluh tahun lebih, sejarah dan perkembangan hadits dapat dia kuasai dengan baik. Mulai dari hadits klasik hingga yang kontemporer. The Authenticity of the Tradition Literature, adalah salah satu bukti karya original, hasil penelitiannya terhadap pandangan para teolog Mesir tentang keshahihan sebuah hadits.
F. Pemikiran dan Kritik Ketiga Tokoh Orientalis Tentang Otentisitas Hadits.
a) Ignaz Goldziher
Untuk memahami pemikiran dan kritik Goldziher tentang hadits adalah hal yang tidak mungkin kita lakukan, jika kita lewatkan begitu saja apa yang ia uraikan dalam Mohammedanische Studien yang terbit pada tahun 1890 dalam bahasa Jerman dan kemudian diterjemahkan oleh C.R. Barber dan S.M. Stern ke dalam bahasa Inggris yaitu Muslim Studies. Dalam karya terbesar itu seluruh pemikirannya tentang hadits tertuang secara sempurna.
Menurut Azami sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian tentang hadis adalah Ignaz Goldziher dalam bukunya : Muhammad SAWanische Studies, dia mengatakan:”bagian terbesar dari hadis tak lain adalah hasil perkembangan Islam pada abad pertama dan kedua baik dalam bidang keagamaan, politik maupun sosial. Tidaklah benar pendapat yang menyatakan bahwa hadis merupakan dokumen Islam yang sudah ada sejak masa dini (masa pertumbuhan) melainkan ia adalah pengaruh perkembangan Islam pada masa kematangan”.
Karena buku itu (Muhammad SAWanische Studies), dianggaplah ”kitab suci” tentang hadits di kalangan orientalis. Mustafa Yaqub mengatakan bahwa buku tersebut mempunyai posisi tersendiri dan cukup berpengaruh di kalangan orientalis dan para sarjana khususnya dalam masalah hadits di mana ia merupakan satu-satunya rujukan di kalangan mereka. Karena buku ini juga, Goldziher dipandang sebagai orang pertama yang meletakkan dasar kajian skeptik terhadap hadits yang telah diterima oleh banyak kalangan sarjana Barat. Berbeda dengan keyakinan yang telah diterima secara umum tadi, menarik juga untuk disimak, A.J. Wensick dalam The Importance of Tradition for Studies of Islam, menegaskan bahwa yang pertama kali mengkaji otentisitas hadits adalah Snouck Hurgronjee.
Terlepas dari kontroversi tersebut, hal yang terpenting adalah bahwa ternyata Goldziher telah berhasil meragukan otentisitas hadist dengan dilengkapi studi-studi ilmiah yang dia lakukan. Hadits yang dalam konsep Islam merupakan Corpus yang berisikan perkataan, perbuatan ataupun taqrir yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW Saw. menurut Goldziher tidak lebih sekedar catatan atas kemajuan yang dicapai Islam di bidang agama, sejarah dan sosial pada abad pertama dan kedua Hijriyah, hampir tidak mungkin untuk meyakinkan bahwa hadits dapat dinyatakan sebagai asli dari Muhammad SAW atau generasi Sahabat Rasul.
Nampak dari ungkapan Ignaz ini adanya keraguan untuk meyakini otentisitas hadis sudah ada pada masa Nabi, Shahabat ataupun masa tabi’in. Hadis tidak lain adalah karya-karya ulama masa sesudah wafat Nabi yang diedarkan pada fenomena-fenomena sosial dan kasus-kasus aktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Adapun argumentasi yang digunakan Goldziher untuk membuktikan keaslian hadis Nabi adalah berdasarkan pada sebuah riwayat yang berkenaan dengan kasus penulisan hadis yang dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhri. Menurut Goldziher al-Zuhri mengatakan: (Sesungguhnya para pejabat itu (Umar bin Abdul Aziz/Hisyam bin Abdul Malik) telah “memaksa” kami untuk menulis beberapa “hadis”) Kata-kata “hadis” dalam kutipan Goldziher tanpa memakai “al” yang dalam bahasa arab menunjukkan sesuatu yang sudah definitif (ma’rifah) sementara dalam teks yang aslli seperti terdapat pada kitab Ibn Sa’ad dan Ibn Asyakir adalah “al Ahadis” yang berarti hadis-hadis yang sudah dimaklumi secara definitif yakni hadis-hadis yang berasal dari Nabi Saw. Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadis-hadis Nabi yang pada saat itu sudah ada, akan tetapi belum terhimpun dalam satu buku. Sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadis yang belum pernah ada pada saat itu.
Ignaz Goldziher juga menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan, karenanya Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu kritik pada matan. Menurutnya kritik matan hadis itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosio kultural dan lain-lain. Mengingat bahwa beberapa pepatah hukum yang berasal dari adat kebiasaan Yahudi dan Nasrani bahkan juga pemikiran filsafat Yunani diriwayatkan telah disabdakan oleh Nabi Saw. Contoh kasus dapat ditemukan pada sebuah hadis yang artinya berbunyi : “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al Aqsha” Menurut Goldziher Abdul Malik Ibn Marwan (Khalifah Dinasti Ummayah di Damaskus) merasa khawatir apabila Abdullah bin Zubair (opposannya di Makkah) mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam (syria dan sekitarnya) yang sedang melakukan ibadah haji di Makkah untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, akan tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah Sakhra di al Quds (Palestina) yang pada saat itu masuk dalam kekuasaan wilayah Syam.
Dalam rangka mewujudkan usaha yang bersifat politis ini, Abdul Malik bin Marwan menugaskan al-Zuhri agar membuat hadis dengan sanad yang bersambung ke Nabi Saw dimana isinya umat Islam tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha. Jadi kesimpulannya hadis tersebut tidak shahih karena ia merupakan buatan ibn Shihab al-Zuhri dan bukan sabda Nabi Saw, meskipun hadits tersebut tercantum dalam kitab shahih al Bukhari yang diakui otentisitasnya oleh umat Islam, bahkan diakui sebagai kitab yang paling otentik sesudah Al-Qur’an. Dari sini rasanya tidak tertalu sulit untuk menetapkan bahwa tujuan Ignaz Goldziher adalah untuk meruntuhkan kepercayaan umat Islam terhadap kredibilitas Imam Bukhari yang selam ini telah terbina kokoh sejak abad ketiga hijriah sampai sekarang.
b) Joseph Schacht
Orientalis berikutnya yang meragukan otentisitas hadis adalah Josepht Schahct, secara umum dapat disimpulkan bahwa pemikiran Josepht Schahct atas hadis banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadis, Josepht Schahct sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu.
Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem isnad mungkin valid untuk melacak hadits-hadits sampai pada ulama abad kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi Saw. dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat diringkas dalam enam poin:
1. Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau, paling awal, akhir abad pertama.
2. Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang” doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.
3. Isnad-isnad secara bertahap “meningkat” oleh pemalsuan; isnad-isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
4. Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syafi’I untuk menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadits-hadits yang dilacak ke belakang sampai kepada satu sumber. “isnad-isnad keluarga” adalah palsu, dan demikian pula materi yang disampaikan di dalam isnad-isnad itu.
5. Keberadaan comman narrator dalam rantai periwayatan itu merupakan indikasi bahwa hadits itu berasal dari masa periwayat itu.
Dalam rangka membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang kepalsuan hadis Nabi SAW, Josepht Schahct menyusun beberapa teori berikut ini:
1. Teori Projecting Back
Maksudnya adalah untuk melihat keaslian hadis bisa direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum Islam dengan apa yang disebut hadis Nabi. Menurutnya hukum Islam belum eksis pada masa al Sya’bi (110 H). Oleh karena itu jika ada hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka itu adalah buatan orang-orang sesudah al Sya’bi. Hukum Islam baru eksis ketika ada kebijakan khalifah Ummayah mengangkat para hakim.
2. Teori E Silentio
Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang sarjana (ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah hadis dan gagal menyebutkannya/jika satu hadis oleh sarjana (ulama/perawi) yang datang kemudian yang mana para sarjana sebelumnya menggunakan hadis tersebut, maka berarti hadis tersebut tidak pernah ada. Jika satu hadis ditemukan pertama kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian ditulis dengan isnad yang komplit, maka isnad itu juga dipalsukan. Dengan kata lain untuk membuktikan hadis itu eksis/tidak cukup dengan menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya hadis itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai referensi.
3. Teori Common Link
Yakni sebuah teori yang beranggapan bahwa dalam sebuah susunan sanad kadang terdapat tambahan tokoh-tokoh tertentu untuk mendukung keabsahan sebuah riwayat. Semua sanad yang terdiri dari hubungan keluarga (antara bapak dan anaknya) adalah palsu. Isnad keluarga tidak menjamin keaslian bahkan dipakai sebagai alat untuk membuat sebuah hadis kelihatan tanpa cacat. Sehingga isnad atas dasar famili adalah isnad buatan yang digunakan untuk jalur penghubung antara satu kelompok perawi dengan perawi lainnya.
Paling tidak ada tiga tesis besar seperti uraian di atas yang diajukan Schacht yang menarik perhatian para sarjana, diantaranya tesis tentang hadits Nabi dilihat dari materinya, atau tentang otentisitas sanad hadits yang terakumulasi dalam teori Projecting back, yang berkaitan juga dengan lahirnya hukum Islam. Pikiran-pikiran tersebut, kalau kita lihat secara keseluruhan, ternyata saling berkaitan, hanya saja karena dia seorang ahli hukum, pembahasan otentisitas hadits di bawah ini nampaknya tidak dapat dihindari dari pembahasan lainnya tentang hukum.
c) Jyunboll
Adapaun pemikiran orientalis yang ketiga adalah G.H. A. Jyunboll, dalam beberapa karyanya seperti Muslim Tradition : Studies in Cronology Provenance and Authorship of Early Hadith dan The Date of The Great Fitna, Jyunboll melakukan kritik hadits yang sejatinya kritik-kritiknya itu tidak lebih dari mengulang-ulang atau mendukung gagasan Schacht dalam bukunya the Origin of Muhammad SAWans Yurisprudence. Menurut muhaditsin, isnad baru dipergunakan secara cermat setelah terjadinya ”fitnah” tragedi pembunuhan khalifah Ustman (656 M) Jyunbolll menolak anggapan ini dengan bersandarkan pada karya ibn Sirin, bahwa penggunaan isnad baru dimulai ketika “fitnah” tragedi peperangan antara Abdullah bin Zubair dengan dinasti Ummayah yang pada akhirnya berdampak pada banyaknya hadis-hadis palsu. Seperti hadis “man kadzaba...…” Jyunboll menemukan sekurang-kurangnya 5 jalur sanad yang disandarkan pada Abu hanifah. Dia beranggapan hadis itu disusun pada saat-saat tertentu setelah Abu hanifah wafat. Hal ini sangat rasional mengingat Abu hanifah adalah merupakan tokoh yang sering mengenyampingkan hadis.
Oleh karena itu jika ada koleksi hadis yang menggunakan namanya, maka hal tersebut harus dipandang sebagai hasil dari suatu usaha dari para pendukung mazhab Hanafi untuk mengkompromikan perbedaan antara madrasah ahl al-ra’y dengan madrasah ahl al-hadits.
Jyunboll mendukung teori E-silentio-nya Schacht sembari menambahkan bahwa kolektor hadis (mukharrij) yang koleksi hadisnya berbeda atau tidak menemukan hadis yang dikoleksi oleh kolektor sebelumnya atau sesudahnya padahal hadis itu terkenal, dapat dijadikan alasan untuk meniadakan kebenaran hadits itu. Demikian juga dengan teori Common Link-nya Schacht dia menyebutnya sebagai teori yang brilliant sekaligus mendukungnya dengan menyimpulkan bahwa pertama, fenomena (tokoh penghubung) merupakan gambaran ril bagi ahl al-hadis abad pertengahan, kedua, ulama muhaditsin tidak pernah menjadikan fenomena (tokoh penghubung) itu sebagai alat untuk menyelidiki kepalsuan suatu hadis.
Common link adalah istilah yang dipakai untuk seorang periwayat hadits yang mendengar suatu hadits dari (jarang lebih dari) seorang yang berwenang, lalu mengajarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka mengajarkannya (lagi) kepada dua atau lebih dari muridnya. Dengan kata lain, common link adalah periwayat tertua yang disebut dalam berkas isnad yang meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas isnad hadits itu mulai menyebar untuk pertama kalinya, di sanalah ditemukan common link-nya.
Kesimpulannya, teori ini berangkat dari asumsi, bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang rawi (periwayat hadits), semakin besar pula jalur periwayatan tersebut mempunyai klaim kesejarahan, shahih. Artinya, jalur periwayatan yang dapat dipercaya secara autentik adalah jalur periwayatan yang bercabang ke lebih dari satu jalur. Sementara yang bercabang ke (hanya) satu jalur (single strand), tidak dapat dipercaya secara mutlak kebenarannya (dha’if).
Sebelum Juynboll, fenomena common link ini sesungguhnya sudah dibicarakan oleh Ignaz Goldziher (1850-1921) dan Joseph Schacht (1902-1969) yang mengklaim dirinya sebagai generasi penerus Goldziher dalam teori common link ini. The Origins of Muhammad SAW an Jurisprudence, terbitan Oxford adalah salah katu karyanya. Nah, dari kedua tokoh besar inilah, Juynboll (pakar sejarah Islam klasik dan hadits) melakukan eksplorasi lebih lanjut terhadap teori common link.
Terlepas dari pro dan kontra yang meliputinya, teori ini telah menghadirkan nuansa baru dalam wacana intelektualitas kita. Sebab, dengan menggunakan metode common link Juynboll ini, kita dapat melacak dan menemukan asal-usul hadits, kapan dan oleh siapa hadits tersebut disebarkan pertama kalinya. Di samping itu, teori common link juga menjadi wacana yang cukup menghangat. Sebuah wacana yang sangat radikal, fenomenal, sekaligus memancing perdebatan bagi setiap orang yang membacanya.
G. Bantahan Sarjana Muslim (Ulama) Terhadap Kritik Orientalis
a) Bantahan untuk Ignaz Goldziher
Pendapat Goldziher bahwa hadits belum merupakan dokumen sejarah yang muncul pada masa-masa awal peertumbuhan Islam disanggah oleh bebrapa pakar hadits. Mereka itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla Tadwin) dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in Early Hadith Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya.
Alasan mereka adalah karena ketidaktahuan mereka (kekurang kepercayaan) pada bukti-bukti sejarah. Orientalis lain seperti Nabia Abbot, justru mengajukan bukti-bukti yang cukup valid tentang keberadaan pencatan hadits pada awal-awal periode Islam, dalam bukunya Studies in Arabic Literary Papyri: Qur’anic Commentary and Tradition (1957). Abbot menyimpulkan bahwa penulisan hadits bisa direkonstruksikan dalam 4 fase: pertama, masa Nabi hidup, kedua, masa wafat Nabi sampai masa Ummayah, ketiga, pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan pada peran ibn Syihab al-Zuhri dan keempat adalah periode kodifikasi hadits kedalam buku-buku fiqh.
Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah bahwa kesalahan orientalis yang tidak konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan hadis Nabi yang berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum, mereka malah memasukkan hadis-hadis ritual. Sebagai contoh dari 47 hadis yang diklaimnya berasal dari Nabi sebagiannya tidak berasal dari Nabi, dan tidak juga berkaitan dengan hukum hanya seperempat yang relevan dengan topik yang didiskusikan.
Berkenaan dengan pernyataan ibn Syihab al-Zuhri, Azami menyatakan bahwa tidak ada bukti-bukti historis yang memperkuat teori Goldziher, bahkan justru sebaliknya. Ternyata Goldziher merubah teks yang seharusnya berbunyi al-hadis, akan tetapi ditulis dengan lafaz hadis saja. Demikian juga ternyata tesis Goldziher bahwa al-Zuhri dipaksa khalifah abdul malik bin marwan (yang bermusuhan dengan ibn Zubair) untuk membuat hadis, adalah palsu belaka. Hal ini mengingat al-Zuhri semasa hidupnya tidak pernah bertemu dengan Abdul Malik, kecuali sesudah 7 tahun dari wafatnya ibn Zubair. Pada saat itu umur al Zuhri sekitar 10-18 tahun sehingga tidak rasional pemuda seperti itu memiliki reputasi dan otoritas yang kuat untuk mempengaruhi masyarakat di sekitarnya. Bahkan as-Sibai menantang abdul Qadir profesornya untuk membuktikan kebenaran teks al Zuhri. Pada akhirnya terbukti bahwa Abdul Qadir salah dan berpegang pada argumen-argumen yang tidak ilmiah.
Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher adalah teks hadis itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Bukhari, hadis tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di al-Quds (Yurussalem) yang ada hanya isyarat pemberian keistimewaan kepada masjid al Aqsha, dan hal ini wajar mengingat masjid itu pernah dijadikan qiblat pertama bagi ummat Islam. Sementara itu tawaran Goldziher agar hadis tidak semata-mata didekati lewat perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik matan, perlu dicermati. Sebenarnya semenjak awal para shahabat dan generasi sesudahnya sudah mempraktekkan metode kritik matan. Penjelasan argumentatif telah disajikan oleh Subhi as Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadis juga bertumpu pada matan.
b) Bantahan untuk Josep Schacht
Berikutnya adalah bantahan terhadap kritik Joseph Schahcht sebagaimana yang dia gagas dalam teori Projecting Back-nya. Menurut Azami kekeliruan Schacht adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai dasar postulat/asumsi penyusunan teorinya itu. Kitab Muwattha’ Imam Malik dan al Syaibaniy serta risalahnya Imam as Syafi’i tidak bisa dijadiakan sebagai alat analisis eksistensi atau embrio kelahiran hadis Nabi. Sebab kitab-kitab tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk meneliti hadis Nabi sebaiknya menggunakan dan berpedoman pada kitab-kitab hadis.
Azami dalam rangka meruntuhkan teorinya Schacht telah melakukan penelitian terhadap beberapa naskah hadits dengan sanad abu hurairah, abu shalih, suhail…dst, yang ternyata dari hasil kajiannya sangat mustahil hadis bisa dipalsukan begitu saja.
Sementara teori Argumenta e Silentio-nya Schacht dikritk oleh Ja’far Ishaq Anshari dalam buku beliau : The Authenticity of Tradition, A Critique of Joseph Schacht‘s Argument e Silention, begitu pula Azami dalam sanggahannya terhadap The Origins of Muhammad SAWan Jurisprudence karya Schacht, Keduanya berkesimpulan bahwa Schacht melakukan kontradiksi dalam berargumen, sebab dalam bukunya schacht mengecualikan teorinya itu terhadap referensi yang berasal dari 2 generasi di belakang Syafi’i, kenyataannya Schacht justru menggunakan muwatha’nya Imam Malik dan Syaibaniy sebagai data-datanya yang itu adalah referensi yang valid menurutnya. Muwatha’ adalah suatu karya yang justru oleh Ignaz Goldziher sendiri dikritik sebagai bukan kitab hadis dengan alasan (1) belum mencakup seluruh hadis yang ada (2) lebih menekankan pada aspek hukum, kurang fokus pada penyelidikan penghimpunann hadis (3) campuran qaul Nabi, Shahabat dan tabi’in.
Selain itu, temuan Anshari justru membuktikan kebalikan dari teori Argumenta e Silentio. Setelah melakukan verifikasi berdasarkan empat koleksi hadis : al-Muwatha’ karya Imam Malik dan asy-Syaibani dan al-Atsar karya abu Yusuf dan asy-Syatibi, ia menemukan bahwa ternyata ada sejumlah hadis dalam koleksi-koleksi awal yang tidak ditemukan dalam koleksi-koleksi hadis belakangan. Misalnya, sejumlah hadis yang terdapat dalam al-Muwatha’ karya Imam Malik tidak ada dalam asy-Syaibani, meskipun al-Muwatha’ karya asy-Syaibani adalah koleksi yang lebih muda. Demikian juga sejumlah hadis yang terdapat di al-Atsar Abu Yusuf tidak dijumpai dalam al-Atsar asy-Syaibani, walaupun al-Atsar asy-Syaibani ini lebih muda daripada al-Atsar Abu Yusuf.
Temuan Anshari berdasarkan empat koleksi hadis ini paling tidak mampu mengoreksi asumsi dasar teori Argumenta e Silentio. Hal ini juga menyadarkan para pengkaji hadis untuk mempertimbangkan adanya faktor-faktor lain, selain faktor ketiadaan, yang menyebabkan mengapa seorang ahli hukum merasa cukup untuk menghimpun doktrin fiqih tertentu tanpa mencantumkan hadis-hadis yang mendukungnya. Karena tujuan para ahli hukum yang utama bukanlah untuk menghimpun hadis, melainkan untuk menghimpun berbagai doktrin aliran fiqih yang sudah disepakati dan diterima secara umum serta diikuti oleh para pendahulu mereka. Oleh karena itu, sering kali penyebutan sebuah hadis utuk mendukung berbagai doktrin fiqih dipandang tidak begitu penting. Akibatnya, merka tidak selalu menyebutkan hadis-hadis yang relevan dengan doktrin-doktrin hukum yang dihimpun meskipun dalam faktanya hadis-hadis tersebut ada.
Di samping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadis pada masa kemudian, padahal pada masa-masa awal hadis itu dicatat oleh perawi, disebabkan pengarangnya menghapus/menasakh hadis tersebut, sehingga ia tidak menulisnya dalam karya-karya terbaru. Ketidak konsistenan Schacht terbukti ketika dia mengkritik hadis-hadis hukum adalah palsu, ternyata ia mendasarkan teorinya itu pada hadis-hadis ritual (ibadah) yang jika diteliti lebih dalam lagi ternyata tidak bersambung ke Nabi.
Kemudian untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis yang lain, khususnya Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami membantah teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah Hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadis-Hadis Nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu Shaleh (ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi saw. Naskah suhail ini berisi 49 Hadis. Sementara Azami meneliti perawi Hadis itu sampai kepada generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah al-tsalitsah). Termasuk jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama.
Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Schacht dengan teorinya Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad Hadis itu baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi dalam menetapkan suatu hukum, adalah masih dipertanyakan keabsahannya, hal ini dibantah oleh Azami dengan penelitiannya bahwa sanad Hadis itu memang muttashil sampai kepada Rasulullah Saw. melalui jalur-jalur yang telah disebutkan di atas. Dan membuktikan juga bahwa Hadis-hadis yang berkembang sekarang bukanlah buatan para generasi terdahulu, tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari Rasul Saw. sebagai seorang Nabi dan panutan umat Islam.
c) Bantahan untuk Jyunboll
Tokoh ketiga yang tak luput dari perbincangan para sarjana muslim adalah Jyunboll dengan teori common link-nya. Diantara yang menanggapinya adalah Azami, baginya teori common link bukanlah hanya patut dipertanyakan namun ia pula meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung manyimpulkan bahwa metode common link dan semua metode yang dihasilkannya tidak relevan.
Bagi Azami, teori common link banyak yang perlu dipertanyakan. Sebagai contoh misalnya, jika memang ditemukan seorang periwayat seperti al-Zuhri, yang menjadi periwayat satu-satunya yang meriwayatkan hadis pada muridnya, tetapi telah diakui ke-tsiqah-an dirinya oleh para kritikus hadis maka tidak ada alasan untuk menuduhnya sebagai seorang yang memalsukan hadis. Para ahli hadis sendiri telah menyadari adanya periwayatan hadis secara infirad (menyendiri) dan implikasinya. Akan tetapi, itu semua bergantung pada kualitas para periwayat hadis pada isnad-nya.
Pada tempat lain, Azami menunjukkan bahwa jika seseorang tidak melihat secara keseluruhan jalur isnad maka ia akan salah dalam mengidentifikasi seorang periwayat sebagai common link. Hal ini tentunya agar penemuan akan sanad hadis itu tidak parsial. Sebab, bisa jadi yang dianggap oleh peneliti hadis sebagai common link sebenarnya hanya seeming atau artificial common link. Ini disebabkan karena jalur yang dihimpun hanya sebagian saja sehingga tidak bisa menggambarkan jalur isnad secara lebih akurat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bagaimanapun kritik hadis merupakan usaha yang sebenarnya lebih dulu dilakukan oleh kaum muslim sendiri. Tradisi lisan atau verbal dalam transmisi hadis tidak menafikan adanya tradisi tulis-menulis. Adanya fenomena pemalsuan hadis adalah akibat adanya intervensi pendapat-pendapat pribadi dan adanya kasus iltibas. Namun dari fenomena tersebut, melahirkan tradisi kritik hadis untuk mengecek validitas hadis. Di samping itu, dengan adanya formalisasi penulisan hadis pada abad ke-2 H, telah mengubah orientasi pemeliharaan hadis. Dan tradisi penulisan menghadirkan beberapa karya monumental yang memuat kumpulan hadis sebagai upaya selektif dari masing-masing tokoh yang telah menulisnya.
Dalam perkembangnya kritik inipun menjadi bahan yang menarik bagi orang non Islam yang disebut sebagai The Outsiders maupun Orientalis. Kajian mereka ini tidaklah harus ditanggapi dengan emosi yang menghilangkan nilai ilmiah bagi sebuah penelitian. Bahkan secara eksplisit karena merekalah saat ini umat muslim mencoba bangkit dan berani mengkoreksi nash-nash yang telah dianggap sakral dan tidak bisa tersentuh dari kritik. Pengkoreksian ini bukanlah berarti menggap bahwa tesis yang dihasilkan para orientalis ini merupakan sebuah hasil yang harus diterima secara mentah-mentah, namun harus juga ditanggapi denga objektif, data yang valid serta metodologi yang juga bisa diterima oleh kalangan akademis.
Sehingga sebenarnya para sarjana muslim sendiri bersikap berbeda dalam memandang kegiatan para orientalis. Diantaranya ada yang memandang sebagai murni kajian keilmuan namun disisi lain lebih banyak yang menganggap sebagai sebuah propaganda melawan Islam. Dari keseluruhan gerakan orientalisme tersebut dalam berbagai bentuknya dari awal hingga akhir ini, Edward Said menyimpulkan dalam 3 poin yaitu: 1) Bahwa orientalisme itu lebih merupakan gambaran tentang pengalaman manusia Barat ketimbang tentang manusia Timur (orient). 2) Bahwa Orientalisme itu telah menghasilkan gambaran yang salah tentang kebudayaan Arab dan Islam. 3) Bahwa meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa interes (kepentingan), namun ia berfungsi untuk tujuan politik.
Namun harus diakui bahwa selain dari bidang-bidang pemahaman dan penafsiran Islam, para oritentalis banyak yang berjasa dalam kerja-kerja ilmiah lainnya dan cukup dirasakan manfaatnya, seperti misalnya dalam penyusunan lexicon, kamus-kamus, encyclopedia, kompilasi hadis dan sebagainya. Oleh karena itu umat Islam perlu bersikap bijaksana, tidak melulu apresiatif yang berlebihan dan tidak pula bersikap apriori secara membabi buta. Umat Islam perlu bersikap kritis dan profesional dalam mengkaji dan menanggapi karya-karya orientalis itu.
B. Saran
Dalam menghadapi pemikiran dan kritikan dari sarjana-sarjana barat atau orientalis diperlukan adanya kajian yang lebih mendalam dan ilmiah sebab teori-teori yang dikemukakan oleh para sarjana muslim atau ulama jika tidak ilmiah, maka teori itu akan runtuh, oleh sebab itu jika kritikan terhadap hadits Nabi Saw, datang dengan menunjukkan keilmiahannya, hendaklah dibantah atau ditanggapai dengan teori yang ilmiah pula.
Oleh karena itu, mempelajari pemikiran para orientalisme tidak boleh hanya berhenti sampai pada titik terbantahnya teori tersebut, dan seyogyanya pengembangan metode ktirik ataupun takhrij hadits masih sangat diperlukan dalam khazanah intelektuan kita untuk membuktikan autentisitas hadits, mengingat kedudukan hadits yang begitu urgen dan sentral dalam ajaran Islam.
Pengembangan metode penelitian hadits dapat terlaksana dengan lebih digalakkannya pelatihan-pelatihan dalam penelitian hadits. Jika penelitian karya tulis ilmiah, penelitian sosiologis cultural dapat digalakkan sedemikian rupa tentunya penelitian haditspun dapat dilakukan demikian, dalam rangka menjaga keotentikan dan kesucian sabda Nabi Saw yang notabenenya merupakan sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Barry, M. dahlan, Kamus Ilmiah Populer . Surabaya: Arkola, 2001.
Al-Siba'I, Mustafa, Al-Sunah Wa Makanatuha fi Al-Tasyri' Al-Islami, Beirut, 1978.
Azami, M. M. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta : PT pustaka Firdaus. 1994.
, M.M, Menguji Keaslian Hadits-Hadits Hukum. Jakarta:Pustaka Firdaus, 2004.
Darmalaksana, Wahyudin, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht.Bandung: Benang Merah Press, 2004.
Echols, Jhon M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia. 1992.
Edward W Said, Orientalisme, Terj. Asep Hikmat, Bandung: Pustaka Salman. 1996.
Hanafi, A, Orientalisme Ditinjau Menurut Kaca Mata Agama, Jakarta : Pustaka Al-Husna. 1981.
Ismail, Syuhudi, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya Jakarta : Gema Insani Press, 1995
Khaeruman, Badri, Otentisitas Hadits Studi Kritis atas Kajian Hadits Kontemporer. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
Khaliel, Moenawwar, Ilmu Hadits : :Hadits dan Orientalis : http://www.hidayatullah.com /kolom/opini/opini/938-menelusuri-pemikiran-orientalis?format=pdf
Rais, M. Amien,Cakrawala Islam, Bandung: Mizan. 1986.
Tim Lintas Media, Kamus Indonesia-Arab dan Arab Indonesia.Jombang: Lintas Media, tt..
Akifahadi, Labib Syauqi, “Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist”, dalam internet website :http://lenterahadits.com/ index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=36&Itemid=57, Diakses Pada tanggal 02 November 2010
Asfiyak, Khoirul, “Otentisitas Hadits dimata Orientalist” dalam internet website: http://fai-unisma-malang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata-orientalist_10.html, Diakses Pada tanggal 02 November 2010
, Saat Orientalis Mengkritisi Hadits Teori Common Link G.H.A. Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, website: http://www.compasiana.com/sunangunungdjati. Diakses Pada tanggal 02 November 2010
Mutazz, Hafsa, “Sosok Orientalisme dan Kiprahnya”, dalam internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya. Diakses Pada tanggal 02 November 2010
Rifqie, ”Kritik orientalis Terhadap Hadis”, dalam internet website: http://rifqiemaulana.wordpress.com/. Diakses Pada tanggal 02 November 2010
http://munfarida.blogspot.com/2010/05/kritik-orientalis-terhadap-hadits.html, diakses Pada Tanggal 02 November 2010
www.sukmanila.multiply.com. Diakses Pada tanggal 02 November 2010
www.ikhwaninteraktif.com. Diakses Pada tanggal 02 November 2010
PEMBAHASAN
A. Sunnah
1. Defenisi
Kata “hadis” mula-mula berarti “suatu pemberian kabar” (a communication) atau berita (narrative) pada umumnya, baik yang bersifat agama maupun duniawi, kemudian mempunyai arti yang khusus, yaitu suatu kumpulan perbuatan dan kata-kata Nabi SAW dan sahabat-sahabatnya. Dalam arti terakhir ini seluruh materi riwayat (hadis) yang suci kaum muslimin disebut “hadis”, maka pengetahuan tentang hadis disebut Ulum Al-Hadis.
2. Sejarah Ringkas Perkembangan As-Sunnah
Secara ringkas kita melihat para ulama membagi masa perkembangan hadits sebagai berikut:
a. Masa turunnya wahyu pada zaman Rasulullah (13 SH-10SH ).
b. Masa Khulafa ar-Rasyidin (11-40 H ).
c. Masa pencarian dan pengumpulan As-Sunnah pada masa tabi'in (41 H-akhir abad 1 H ).
d. Masa pembukuan As-Sunnah (Awal abad II H ).
e. Masa penyaringan As-Sunnah(abad III H )
f. Masa penyusunan kitab-kitab As-Sunnah(Abad IV H-VII H ).
g. Masa pembuatan kitab syarah hadits, kitab-kitab takhrij dan penyusunan kitab-kitab lainnya(Abad VII H dan seterusnya ).
Kita tidak akan membahas secara rinci sejarah perkembangan tersebut. Tapi yang jelas, pada zaman Rasulullah As-Sunnah belum ditulis karena:
a. Umat Islam sedang dikonsentrasikan kepada Al-Qur'an.
b. Agar Al-Quran tidak bercampur dengan selainnya
c. Nabi sendiri pernah melarangnya, kecuali bagi sahabat-sahabat tertentu yang diizinkan oleh beliau sebagai catatan pribadi.
d. Rasulullah berada ditengah-tengah ummat Islam sehingga dirasa tidak sangat perlu untuk dituliskan pada waktu itu.
e. Kemampuan tulis baca di kalangan sahabat sangat terbatas.
f. Kesibukan umat Islam dalam menghadapi perjuangan da'wah yang sangat penting.
Pada zaman-zaman berikutnya ternyata As-Sunnah belum sempat dibukukan karena sebab-sebab tertentu. Baru pada zaman Khalifah Umar bin Abdul Azis dari Bani Umayyah (99-101 H) timbul inisiatif dari beliau untuk menulis dan membukukan As-Sunnah secata resmi dari negara yang diamanahkan kepada imamAbu Bakar bin Muhammad SAW Az-Zuhri. Sebelumnya As-Sunnah atau hadits hanya disampaikan melalui periwayatan dan hafalan-hafalan para sahabat yang kebetulan hidup lama setelah Nabi wafat dan pada masa tabi'in.
Berkat jasa-jasa dari para ulama, hadits-hadits kemudian sempat dibukukan dalam berbagai macam buku seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan An-Nasa’i dan ratusan buku lainnya. Semua itu dilalaksanakan dengan seleksi-seleksi dansyarat yang ketat serta manhaj (metode) yang benar dan jelas yang kemudian melahirkan disiplin ilmu tersendiri yang disebut Ilmu Musthalah Hadits, Jarah wat Ta’dil, Ilalul Hadits, Ikhtilaful Hadits, Takhrij dan ilmu lainnya yang kemudian berkembang dengan berbagai macam cabang-cabangnya sampai saat ini.
3. Kedudukan As-Sunnah
Hadits Nabi Saw. diyakini oleh mayoritas umat Islam sebagai bentuk ajaran yang paling nyata dan merupakan realisasi dari ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Dalam hubungan antara keduanya, hadits berfungsi sebagai penjelas Al-Qur’an. Interpretasi terhadap petunjuk Allah ini diwujudkan dalam bentuk nyata dalam kehidupan Nabi. Sabda, perilaku, dan sikapnya terhadap segala sesuatu, terkadang menjadi hukum tersendiri yang tidak ditemukan dalam Al-Qur’an.
As-Sunnah menempati posisi kedua terpenting setelah Al-Quran dalam menetapkan hukum dalam Islam.As-Sunnah datang sebagai penjelas, perinci dan penguat dari hukum yang ada dalam Al-Quran, seperti shalat yang tata caranya hanya dijelaskan di dalam As-Sunnah.Ataupun perintah zakat dimana Al-Quran hanya menyebutkan hukumnya secara umum tanpa menjelaskan tata cara dan nishab serta hal lainnya yang berkaitan dengan zakat, kemudian dijelaskan oleh As-Sunnah.
Sunnah adalah sumber ajaran Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber ajaran Islam karena sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara secara global/umum, dan yang menjelaskan secara terperinci adalah Sunnah Rasulullah. Sunnah berfungsi dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci di dalam Al Qur’an sebagai sumber ajaran utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber ajaran Islam, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal. Kepatuhan umat Islam kepada sunnah Rasul adalah kepatuhan yang didasarkan kepada iman yang dibimbing oleh Al-Qur’an.
Hal ini tak terlalu sulit dipahami, sebab Al-Quran adalah Kitab Allah yang hanya memuat ketentuan-ketentuan umum, prinsip-prinsip dasar dan garis-garis besar masalah.Sedangkan rinciannya dituangkan di dalam Sunnah Nabi.Dan memang harus demikian. Sebab jika tidak, sulit dibayangkan Al-Quran akan menjadi setebal apa,karena ia harus mencantumkan semua masalah kecil dan parsial yang tak ada batasnya, apalagi masalah yang dihadapi umat manusia tak pernah berhenti dari waktu ke waktu. Oleh karena itu As-Sunnah menjadi penting keberadaannya bagi syariat Islam yang selalu relevan di setiap masa dan tempat.
B. Orientalis
1. Defenisi
Kata “orientalis” berasal dari kata orient yang berarti Asia Timur; atau berasal dari kata oriental yang berarti orang Timur atau Asia. Secara geografis kata orient bermakna dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur. Sedangkan dalam kamus ilmiah populer ”orientalis” adalah ahli Barat yang mempelajari Timur.
Kata isme menunjukkan pengertian tentang suatu faham. Jadi, orientalisme bermakna suatu faham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di timur beserta lingkungannya.
Dilihat dari segi terminologinya, Ismail Ya’kub menyatakan bahwa orientalis adalah orang yang ahli tentang soal-soal ketimuran, yakni segala sesuatu mengenai negeri-negeri Timur, terutama Negeri-negeri Arab pada umumnya dan Islam pada khususnya, tentang kebudayaannya, agamanya, peradabannya, kehidupannya dan lain-lain.
Orientalisme adalah studi Islam yang dilakukan oleh orang-orang Barat. Kritikus orientalisme bernama Edward W Said menyatakan bahwa orientalisme adalah suatu cara untuk memahami dunia Timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat Eropa.
Menurut Grand Larousse Encyclopedique seperti dikutip Amin Rais, orientalis adalah sarjana yang menguasai masalah-masalah ketimuran, bahasa-bahasanya, kesusastraannya, dan sebagainya. Karena itu orientalisme dapat dikatakan merupakan semacam prinsip-prinsip tertentu yang menjadi ideologi ilmiah kaum orientalis.
Dan dalam kata ”orientalis” terkandung sifat umum nama pelaku atau ahli-ahli ketimuran, artinya dalam beberapa hal siapapun orangnya apakah ia muslim atau non muslim, apabila ia telah luas pengetahuannya tentang ketimuran maka ia seringkali terkategorikan secara langsung sebagai orientalis, seperti dinyatakan oleh kelompok Oxford bahwa orientalis adalah semua orang yang telah luas pengetahuannya tentang bahasa-bahasa Timur serta kesustraannya. Definisi ini dibantah oleh sebagian pakar dengan hanya membatasi pengertian orientalis hanya pada orang Barat (Eropa dan Amerika) yang nonmuslim.
Jadi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hanafi bahwa orientalis adalah segolongan sarjana-sarjana Barat yang mendalami bahasa-bahasa dunia Timur dan kesustraannya, dan mereka menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur; sejarahnya, adat istiadatnya dan ilmu-ilmunya.
2. Sejarah Orientalis
Sungguh sulit menentukan secara pasti awal tumbuh orientalisme. Sebagian sejarawan bekecenderungan bahwa orientalisme bermula dari zaman Daulah Islamiyah di Andalusia (Spanyol). Sedangkan sebagian ahli lain mengatakan ketika terjadi Perang Salib.
Khusus tentang Orientalisme Ketuhanan (Lahuti), keberadaannya sudah tampak secara resmi sejak dikeluarkannya keputusan Konsili Gereja Viena tahun 1312 M dengan memasukkan materi bahasa Arab ke berbagai universitas di Eropa.
Orientalisme muncul di Eropa baru pada penghujung abad 18 M. Pertama kali muncul di Inggris tahun 1779 M, di Perancis tahun 1799 M dan dimasukkan ke dalam kamus Akademi Perancis pada tahun 1838 M.
Tahun 1130 M, Kepala Uskup Toledo menerjemahkan beberapa buku ilmiah Arab. Kemudian jejak ini diikuti oleh Gerard de Cremona (1114-1187 M) dari Italia. Ia pergi ke Toledo dan menerjemahkan buku tidak kurang dari 87 judul di bidang filsafat, kedokteran, astronomi, dan geologi.
Di Perancis muncul Pierre le Venerable (1094-1156), seorang pendeta Venezia dan Kepala Biarawan Cluny, membentuk kelompok penerjemah. Tujuannya agar mendapat pengetahuan objektif terntang Islam. Ia sendiri adalah orang yang berada di belakang terbitnya terjemah pertama Al-Qur’an dalam bahasa Latin yang dilakukan oleh Robert of Ketton dari Inggris.
Juan de Sevilla, seorang yahudi yang masuk Kristen, muncul pada pertengahan abad ke-12 dan menaruh perhatian pada bidang astronomi. Ia telah menyadur 4 buah buku berbahasa Arab karya Abu Ma‘syar al-Balkhi (1133 M). Tugas penerjemahannya dibantu oleh Adler of Bath.
Roger Bacon (1214-1294 M), dari Inggris. Menuntut ilmu di Oxford dan Paris dan meraih gelar doktor di bidang teologi. Ia menerjemahkan buku berbahasa Arab Mir’at al-Kimia tahun 1521 M.
C. Persepsi Orientalis Terhadap Hadis
Orientalisme yang pada awalnya adalah salah satu kajian keilmuan yang tergabung di dalam ilmu Antropologi, memiliki tujuan yang sama dengan ilmu induknya tersebut yaitu untuk mempelajari kebudayaan lain agar bisa menemukan kebudayaan terbaik yang bisa dijadikan kebudayaan pilot project bagi seluruh dunia.
Namun pada perkembangan lebih lanjut, antropologi kemudian berubah menjadi sebuah kajian keilmuan dari sebuah bangsa Eshtablished terhadap kebudayaan yang outsiders. Karena masyarakat merasa mereka lebih berbudaya daripada masyarakat oriental (timur), baik itu timur jauh, timur tengah, timur selatan. Meliputi semua hal budaya, adat, norma dan juga agama-agama masyarakat timur.
Di dalam salah satu bukunya, Orientalism, Edward Said mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh para orientalis dalam meneliti agama Islam, khususnya hadis, bukanlah pekerjaan yang non profit oriented, artinya mereka memiliki tujuan tertentu dengan meneliti agama Islam sedemikian rupa. Tujuan itu antara lain adalah mencari kelemahan Islam dan kemudian mencoba menghancurkannya pelan-pelan dari dalam. Walaupun tidak semua orientalis memiliki tujuan seperti itu paling tidak itu adalah sebuah anomali dari sekelompok orang yang boleh dikata memiliki persentase sangat kecil.
Mereka memilih hadis dalam upayanya untuk menyerang umat Islam karena kedudukan hadis yang sangat penting dalam kehidupan kaum muslim. Hadis adalah sumber hukum kedua setelah al Quran sekaligus juga sebagai penjelas dari al Quran itu sendiri. Mereka lebih memilih menyerang hadis ketimbang al Quran, karena hadis hanyalah perkataan manusia yang bisa saja mengandung kesalahan dan unsur-unsur negatif lainnya. Mereka sulit untuk mencoba mendistorsikan al-Quran karena al-Quran adalah sumber transendental dari tuhan yang telah terjamin dari semua unsur negatif.
Ada tiga hal yang sering dikemukakan orientalis dalam penelitian mereka terhadap al-Hadis, yaitu tentang para perawi hadis, kepribadian Nabi Muhammad SAW SAW, metode pengklasifikasian hadis :
a. Aspek Perawi Hadis
Para orientalis sering mempertanyakan tentang para perawi yang banyak meriwayatkan hadis dari rasulullah. seperti yang kita ketahui bersama para sahabat yang terkenal sebagai perawi bukanlah para sahabat yang yang banyak menghabiskan waktunya bersama rasullah seperti Abu bakar, Umar, Usman dan Ali. Namun yang banyak meriwayatkan hadis adalah sahabat-sahabat junior dalam artian karena mereka adalah orang “baru” dalam kehidupan rasulullah. Dalam daftar sahabat yang banyak meriwayatkan hadis tempat teratas diduduki oleh sahabat yang hanya paling lama 10 tahun berkumpul dengan Nabi, seperti Abu hurairah, Sayyidah Aisyah, Anas bin malik, Abdullah ibn Umar dll. Abu hurairah selama masa 3 tahun dia berkumpul dengan Nabi telah berhasil meriwayatkan lebih dari 5800 hadis, Sayyidah Aisyah mengumpulkan lebih dari 3000 hadis dan demikian juga dengan Abdullah ibn Umar, Anas.
b. Aspek Kepribadian Nabi Muhammad SAW SAW
Tidak cukup dengan menyerang para perawi hadis, kepribadian Nabi Muhammad SAW juga perlu dipertanyakan. Mereka membagi status nabi menjadi tiga sebagai rasul, kepala negara, dan pribadi biasa sebagaimana orang kebanyakan. Bahwa selama ini hadis dikenal sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW baik perbuatan, perkataan dan ketetapan beliau juga perlu direkontruksi ulang. Sesuatu yang berdasarkan dari Nabi baru disebut hadis jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, karena jika tidak hal itu tidak layak untuk disebut dengan hadis, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad SAW.
c. Aspek Pengklasifikasian Hadis
Sejarah penulisan hadis juga tidak lepas dari kritikan mereka. Penulisan hadis yang baru dilakukan beberapa dekade setelah Nabi Muhammad SAW wafat juga perlu mendapat perhatian khusus. Hal itu, lanjut mereka, membuka peluang terhadap kesalahan dalam penyampaian hadis secara verbal, sebagaimana yang dikatakan oleh Montgomerywatt,salah seorang orientalis ternama saat ini:
"Semua perkataan dan perbuatan Muhammad SAW tidak pernah terdokumentasikan dalam bentuk tulisan semasa Ia hidup atau sepeninggalnya. Pastinya hal tersebut disampaikan secara lisan ke lisan, setidak-tidaknya pada awal mulanya. Hal itu diakui ataupun tidak sedikit banyak akan mengakibatkan distorsi makna, seperti halnya dalam permainan telpon-telponan anak kecil".
Hal di atas adalah sebagian dari pemikiran Orientalis tentang Islam, lebih spesifik lagi tentang hadis. Hal itu sedikit banyak bisa memberikan pemahaman dan wacana baru bagi kita agar kita bisa melihat hadis, sesuatu hal berharga yang kita punyai tidak hanya dengan pandangan dan penilaian kita tapi juga dengan sisi pandang orang lain, yang boleh jadi akan lebih objektif dari kita. kita harus berterima kasih kepada mereka karena telah meneliti kehidupan kita, sehingga kita bisa mengambil hasil penelitian mereka sebagai bahan koreksi dan pembelajaran bersama, terlepas dari niat-niat buruk dari sebagian mereka.
D. Hadis dan Orientalis
Sarjana barat yang pertama kali melakukan kajian Hadis adalah Ignaz Goldziher, ia mempublikasikan hasil penelitiannya tentang Hadis dalam sebuah buku yang berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Dan sejak saat itu hingga sekarang, buku tersebut menjadi "kitab suci" di kalangan orientalis.
Dibanding dengan Goldziher, hasil penelitian Schacht memiliki "keunggulan", karena ia bisa smpai pada kesimpulan yang meyakinkan bahwa tidak ada satupun Hadis yang otentik dari Nabi Muhammad SAW, khususnya Hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam. Sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan yang meragukan adanya otentisitas Hadis. tidak aneh jika kemudian buku Schacht memperoleh reputasi dan sambutan yang luar biasa.
Baik Ignaz maupun Schacht, keduanya tidak berbicara tentang otoritas Hadis sebagai sumber hukum dalam Islam. Karena keduanya telah sepakat bahwa Hadis tidak memiliki otentitas sebagai sebuah ajaran yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, padahal Hadis dapat menjadi sumber ajaran Islam, ketika ia otentik dari Nabi, sehingga tidak mungkin Hadis dapat digunakan sebagai sumber ajaran Islam.
Keduanya justru membuat kiat-kiat yang dapat dipergunakan sebagai pendukung hasil penelitian mereka; Bahwa apa yang disebut sebagai Hadis, bukanlah sesuatu yang otentik dari Nabi Muhammad SAW. Setidaknya ada tiga kiat-kiat digunakan, guna menyokong pendapat mereka:
a. Mendistorsi teks-teks sejarah. Semisal tuduhan Goldziher terhadap Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.). menurutnya Imam al-Zuhri telah melakukan pemalsuan Hadis, dan ia juga mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Ibn Syihab al-Zuhri, sehingga menimbulkan kesan bahwa Imam al-Zuhri memang mengakui dirinya sebagai pemalsu Hadis.
Menurut Goldziher, al-Zuhri pernah berkata, inna haula'I al-umara akrahuna 'ala kitabah ahadist (para penguasa itu memaksa kami untuk menulis Hadis). kata 'ahadist' dalam kutipan Goldizer tidak menggunakan artikel "al" (al-ahadist) yang dalam bahasa Arab memiliki makna definitif (ma'rifah), sementara dalam teks yang asli, yang merupakan ucapan Imam Ibn Syihab yang sebenarnya, seperti yang terdapat dalam kitab Ibn Sa'ad dan Ibn 'Asakir, adalah 'al-ahadist' yang berarti Hadis-hadis yang telah dimaklumi secara definitif, yaitu Hadis-hadis yang berasal dari Nabi Muhammad SAW.
b. Membuat teori-teori rekayasa. Bahwa untuk memperkuat tuduhannya yang menyatakan bahwa apa yang disebut Hadis adalah bukan sesuatu yang otentik dari nabi Muhammad SAW, melainkan hanya merupakan bikinan para ulama abad pertama dan kedua, Schacht membuat teori tentang 'rekonstruksi' terjadinya sanad Hadis. teori ini dikemudian hari dikenal sebagai teori Projecting Back (proyeki ke belakang)
Menurut Schacht, jurisprudensi Islam belum eksis dan permanen pada masa al-Sya'by (w. 110 H.). Hal ini artinya bahwa apabila terdapat Hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka sejatinya Hadis-hadis tersebut merupakan buatan orang-orang yang lahir dan hidup sesudah al-Sya'bi. Schacht berpendapat bahwa jurisprudensi Islam baru dikenal sejak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama), yang baru diadakan pada dinasti bani Umayah.
c. Melecehkan Ulama Hadis, di mana kiat para orientalis selanjutnya adalah melecehkan kredibilitas ulama Hadis, sembari menuduh mereka sebagai pemalsu. Banyak ulama yang mereka sorot dan menjadi sasaran pelecehan ini, antara lain Shahabat Abu Hurairah (w. 57 H.), Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.), dan Imam Muhammad SAW bin Ismail al-Bukhari (w. 256 H.).
Tiga tokoh tersebut menjadi sasarn pokok serangan para orientalis karena ketiganya menempati posisi-posisi yang strategis dalam kajian ilmu Hadis; Abu Hurairah adalah Shahabat yang tercatat sebagai shahabat yang paling banyak meriwayatkan Hadis dari Nabi Muhammad SAW. Dan al-Zuhri disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali membukukan Hadis. sementara al-Bukhari adalah tokoh yang menulis kitab paling otentik sesudah al-Quran, yaitu kitab Shahih al-Bukhari.
E. Beberapa Tokoh Orientalis
a) Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher adalah termasuk orientalis terkemuka yang mendalami ilmu-ilmu Islam. Ia lahir pada 22 Juni 1850, di Hongaria. Ia berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang. Pendidikannya dimulai dari Budhapest kemudian melanjutkan ke Berlin pada tahun 1869 dan pindah lagi ke Universitas Leipzig.
Goldziher dalam studinya dibimbing oleh orientalis terkemuka saat itu yaitu Fleisser, pakar filologi (ilmu tentang asal-usul kata). Goldziher memperoleh gelar doktoral tingkat pertama pada tahun 1870 dengan karyanya : “Penafsir Taurat yang Berasal dari Tokoh Yahudi Abad Tengah.” Buku klasik pertama yang menjadi kajiannya adalah Azh Zhahiriyah: Madzhabuhum wa Tarikhuhum. Ia kemudian mendalami kajian fikih dan ushul fikih.
Pada tahun 1889 ia menulis karangan tentang hadits berjudul Dirasah Islamiyah, dua juz. Dalam bukunya Al Aqidah was Syariah fil Islam’ Goldziher banyak melakukan tuduhan-tuduhan menyimpang kepada Muhammad SAW saw. Prof. Ahmad Muhammad SAW Jamal mengkritik keras karyanya ini. Menurut Jamal, pada halaman 12, Goldziher melontarkan tuduhan bahwa Islam merupakan himpunan pengetahuan dan pandangan agama-agama lain yang sengaja dipilih Muhammad SAW.. hal ini diketahui dan ditimba oleh Muhammad SAW karena hubungannya dengan oknum-oknum Yahudi, Nasrani dan lain-lainnya. Ignaz Goldziher meninggal pada tahun 1921.
b) Josepht Schahct
Sementara Josepht Schahct adalah seorang profesor yang lahir di Rottbur Jerman, 15 Maret 1902. Ia mulai studi di perguruan tinggi dengan mendalami filologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Prusia dan Leipzig. Tahun 1923, ia memperoleh gelar sarjana muda di Universitas Prusia dan menjadi guu besar pada 1929. Schacht menjadi dosen di Universitas Frayburg, Jerman. Pada tahun 1934 ia diundang untuk mengajar di Universitas Kairo, Mesir.
Di Mesir, ia mengajar fikih, bahasa Arab dan bahasa Suryani, di jurusan Bahasa Arab, Fakultas Sastra. Ia mengajar di Universitas Mesir hingga 1939. Ketika terjadi Perang Dunia II pada September 1939, Schacht pindah dari Mesir ke London dan bekerja di Radio BBC, London. Di situ ia berperanan melancarkan propaganda melawan nazi Jerman.
Dalam bidang Fikih, karya Schacht antara lain: Al Khoshaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain. Karyanya yang menonjol dan kontroversial adalah bukunya The Origins of Muhammad SAWan Jurisprudence (Oxford,1950). Karya Schacht ini banyak mengambil rujukan Ar RisalahnyaImam Syafii.
c) Jyunboll
Adapun G.H.A Jyunboll adalah pendukung setia kedua orientalis di atas. Karya-karyanya antara lain : The Authenticity of The Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt, juga tentang On The Origin of Arabic Prose Reflection on Authenticity, termasuk juga Muslim Tradition : Studies in Cronology Provenance and Authorship of Early Hadith dan The Date of The Great Fitna.
Sejak di bangku S1 di Leiden, Belanda, Juynboll sudah begitu gigih mencurahkan segenap upayanya melakukan penelitian terhadap otentifikasi hadits. Tak ayal, setelah tiga puluh tahun lebih, sejarah dan perkembangan hadits dapat dia kuasai dengan baik. Mulai dari hadits klasik hingga yang kontemporer. The Authenticity of the Tradition Literature, adalah salah satu bukti karya original, hasil penelitiannya terhadap pandangan para teolog Mesir tentang keshahihan sebuah hadits.
F. Pemikiran dan Kritik Ketiga Tokoh Orientalis Tentang Otentisitas Hadits.
a) Ignaz Goldziher
Untuk memahami pemikiran dan kritik Goldziher tentang hadits adalah hal yang tidak mungkin kita lakukan, jika kita lewatkan begitu saja apa yang ia uraikan dalam Mohammedanische Studien yang terbit pada tahun 1890 dalam bahasa Jerman dan kemudian diterjemahkan oleh C.R. Barber dan S.M. Stern ke dalam bahasa Inggris yaitu Muslim Studies. Dalam karya terbesar itu seluruh pemikirannya tentang hadits tertuang secara sempurna.
Menurut Azami sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian tentang hadis adalah Ignaz Goldziher dalam bukunya : Muhammad SAWanische Studies, dia mengatakan:”bagian terbesar dari hadis tak lain adalah hasil perkembangan Islam pada abad pertama dan kedua baik dalam bidang keagamaan, politik maupun sosial. Tidaklah benar pendapat yang menyatakan bahwa hadis merupakan dokumen Islam yang sudah ada sejak masa dini (masa pertumbuhan) melainkan ia adalah pengaruh perkembangan Islam pada masa kematangan”.
Karena buku itu (Muhammad SAWanische Studies), dianggaplah ”kitab suci” tentang hadits di kalangan orientalis. Mustafa Yaqub mengatakan bahwa buku tersebut mempunyai posisi tersendiri dan cukup berpengaruh di kalangan orientalis dan para sarjana khususnya dalam masalah hadits di mana ia merupakan satu-satunya rujukan di kalangan mereka. Karena buku ini juga, Goldziher dipandang sebagai orang pertama yang meletakkan dasar kajian skeptik terhadap hadits yang telah diterima oleh banyak kalangan sarjana Barat. Berbeda dengan keyakinan yang telah diterima secara umum tadi, menarik juga untuk disimak, A.J. Wensick dalam The Importance of Tradition for Studies of Islam, menegaskan bahwa yang pertama kali mengkaji otentisitas hadits adalah Snouck Hurgronjee.
Terlepas dari kontroversi tersebut, hal yang terpenting adalah bahwa ternyata Goldziher telah berhasil meragukan otentisitas hadist dengan dilengkapi studi-studi ilmiah yang dia lakukan. Hadits yang dalam konsep Islam merupakan Corpus yang berisikan perkataan, perbuatan ataupun taqrir yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW Saw. menurut Goldziher tidak lebih sekedar catatan atas kemajuan yang dicapai Islam di bidang agama, sejarah dan sosial pada abad pertama dan kedua Hijriyah, hampir tidak mungkin untuk meyakinkan bahwa hadits dapat dinyatakan sebagai asli dari Muhammad SAW atau generasi Sahabat Rasul.
Nampak dari ungkapan Ignaz ini adanya keraguan untuk meyakini otentisitas hadis sudah ada pada masa Nabi, Shahabat ataupun masa tabi’in. Hadis tidak lain adalah karya-karya ulama masa sesudah wafat Nabi yang diedarkan pada fenomena-fenomena sosial dan kasus-kasus aktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Adapun argumentasi yang digunakan Goldziher untuk membuktikan keaslian hadis Nabi adalah berdasarkan pada sebuah riwayat yang berkenaan dengan kasus penulisan hadis yang dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhri. Menurut Goldziher al-Zuhri mengatakan: (Sesungguhnya para pejabat itu (Umar bin Abdul Aziz/Hisyam bin Abdul Malik) telah “memaksa” kami untuk menulis beberapa “hadis”) Kata-kata “hadis” dalam kutipan Goldziher tanpa memakai “al” yang dalam bahasa arab menunjukkan sesuatu yang sudah definitif (ma’rifah) sementara dalam teks yang aslli seperti terdapat pada kitab Ibn Sa’ad dan Ibn Asyakir adalah “al Ahadis” yang berarti hadis-hadis yang sudah dimaklumi secara definitif yakni hadis-hadis yang berasal dari Nabi Saw. Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadis-hadis Nabi yang pada saat itu sudah ada, akan tetapi belum terhimpun dalam satu buku. Sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadis yang belum pernah ada pada saat itu.
Ignaz Goldziher juga menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan, karenanya Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu kritik pada matan. Menurutnya kritik matan hadis itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosio kultural dan lain-lain. Mengingat bahwa beberapa pepatah hukum yang berasal dari adat kebiasaan Yahudi dan Nasrani bahkan juga pemikiran filsafat Yunani diriwayatkan telah disabdakan oleh Nabi Saw. Contoh kasus dapat ditemukan pada sebuah hadis yang artinya berbunyi : “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al Aqsha” Menurut Goldziher Abdul Malik Ibn Marwan (Khalifah Dinasti Ummayah di Damaskus) merasa khawatir apabila Abdullah bin Zubair (opposannya di Makkah) mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam (syria dan sekitarnya) yang sedang melakukan ibadah haji di Makkah untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, akan tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah Sakhra di al Quds (Palestina) yang pada saat itu masuk dalam kekuasaan wilayah Syam.
Dalam rangka mewujudkan usaha yang bersifat politis ini, Abdul Malik bin Marwan menugaskan al-Zuhri agar membuat hadis dengan sanad yang bersambung ke Nabi Saw dimana isinya umat Islam tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha. Jadi kesimpulannya hadis tersebut tidak shahih karena ia merupakan buatan ibn Shihab al-Zuhri dan bukan sabda Nabi Saw, meskipun hadits tersebut tercantum dalam kitab shahih al Bukhari yang diakui otentisitasnya oleh umat Islam, bahkan diakui sebagai kitab yang paling otentik sesudah Al-Qur’an. Dari sini rasanya tidak tertalu sulit untuk menetapkan bahwa tujuan Ignaz Goldziher adalah untuk meruntuhkan kepercayaan umat Islam terhadap kredibilitas Imam Bukhari yang selam ini telah terbina kokoh sejak abad ketiga hijriah sampai sekarang.
b) Joseph Schacht
Orientalis berikutnya yang meragukan otentisitas hadis adalah Josepht Schahct, secara umum dapat disimpulkan bahwa pemikiran Josepht Schahct atas hadis banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadis, Josepht Schahct sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu.
Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem isnad mungkin valid untuk melacak hadits-hadits sampai pada ulama abad kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi Saw. dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat diringkas dalam enam poin:
1. Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau, paling awal, akhir abad pertama.
2. Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang” doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.
3. Isnad-isnad secara bertahap “meningkat” oleh pemalsuan; isnad-isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
4. Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syafi’I untuk menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadits-hadits yang dilacak ke belakang sampai kepada satu sumber. “isnad-isnad keluarga” adalah palsu, dan demikian pula materi yang disampaikan di dalam isnad-isnad itu.
5. Keberadaan comman narrator dalam rantai periwayatan itu merupakan indikasi bahwa hadits itu berasal dari masa periwayat itu.
Dalam rangka membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang kepalsuan hadis Nabi SAW, Josepht Schahct menyusun beberapa teori berikut ini:
1. Teori Projecting Back
Maksudnya adalah untuk melihat keaslian hadis bisa direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum Islam dengan apa yang disebut hadis Nabi. Menurutnya hukum Islam belum eksis pada masa al Sya’bi (110 H). Oleh karena itu jika ada hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka itu adalah buatan orang-orang sesudah al Sya’bi. Hukum Islam baru eksis ketika ada kebijakan khalifah Ummayah mengangkat para hakim.
2. Teori E Silentio
Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang sarjana (ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah hadis dan gagal menyebutkannya/jika satu hadis oleh sarjana (ulama/perawi) yang datang kemudian yang mana para sarjana sebelumnya menggunakan hadis tersebut, maka berarti hadis tersebut tidak pernah ada. Jika satu hadis ditemukan pertama kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian ditulis dengan isnad yang komplit, maka isnad itu juga dipalsukan. Dengan kata lain untuk membuktikan hadis itu eksis/tidak cukup dengan menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya hadis itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai referensi.
3. Teori Common Link
Yakni sebuah teori yang beranggapan bahwa dalam sebuah susunan sanad kadang terdapat tambahan tokoh-tokoh tertentu untuk mendukung keabsahan sebuah riwayat. Semua sanad yang terdiri dari hubungan keluarga (antara bapak dan anaknya) adalah palsu. Isnad keluarga tidak menjamin keaslian bahkan dipakai sebagai alat untuk membuat sebuah hadis kelihatan tanpa cacat. Sehingga isnad atas dasar famili adalah isnad buatan yang digunakan untuk jalur penghubung antara satu kelompok perawi dengan perawi lainnya.
Paling tidak ada tiga tesis besar seperti uraian di atas yang diajukan Schacht yang menarik perhatian para sarjana, diantaranya tesis tentang hadits Nabi dilihat dari materinya, atau tentang otentisitas sanad hadits yang terakumulasi dalam teori Projecting back, yang berkaitan juga dengan lahirnya hukum Islam. Pikiran-pikiran tersebut, kalau kita lihat secara keseluruhan, ternyata saling berkaitan, hanya saja karena dia seorang ahli hukum, pembahasan otentisitas hadits di bawah ini nampaknya tidak dapat dihindari dari pembahasan lainnya tentang hukum.
c) Jyunboll
Adapaun pemikiran orientalis yang ketiga adalah G.H. A. Jyunboll, dalam beberapa karyanya seperti Muslim Tradition : Studies in Cronology Provenance and Authorship of Early Hadith dan The Date of The Great Fitna, Jyunboll melakukan kritik hadits yang sejatinya kritik-kritiknya itu tidak lebih dari mengulang-ulang atau mendukung gagasan Schacht dalam bukunya the Origin of Muhammad SAWans Yurisprudence. Menurut muhaditsin, isnad baru dipergunakan secara cermat setelah terjadinya ”fitnah” tragedi pembunuhan khalifah Ustman (656 M) Jyunbolll menolak anggapan ini dengan bersandarkan pada karya ibn Sirin, bahwa penggunaan isnad baru dimulai ketika “fitnah” tragedi peperangan antara Abdullah bin Zubair dengan dinasti Ummayah yang pada akhirnya berdampak pada banyaknya hadis-hadis palsu. Seperti hadis “man kadzaba...…” Jyunboll menemukan sekurang-kurangnya 5 jalur sanad yang disandarkan pada Abu hanifah. Dia beranggapan hadis itu disusun pada saat-saat tertentu setelah Abu hanifah wafat. Hal ini sangat rasional mengingat Abu hanifah adalah merupakan tokoh yang sering mengenyampingkan hadis.
Oleh karena itu jika ada koleksi hadis yang menggunakan namanya, maka hal tersebut harus dipandang sebagai hasil dari suatu usaha dari para pendukung mazhab Hanafi untuk mengkompromikan perbedaan antara madrasah ahl al-ra’y dengan madrasah ahl al-hadits.
Jyunboll mendukung teori E-silentio-nya Schacht sembari menambahkan bahwa kolektor hadis (mukharrij) yang koleksi hadisnya berbeda atau tidak menemukan hadis yang dikoleksi oleh kolektor sebelumnya atau sesudahnya padahal hadis itu terkenal, dapat dijadikan alasan untuk meniadakan kebenaran hadits itu. Demikian juga dengan teori Common Link-nya Schacht dia menyebutnya sebagai teori yang brilliant sekaligus mendukungnya dengan menyimpulkan bahwa pertama, fenomena (tokoh penghubung) merupakan gambaran ril bagi ahl al-hadis abad pertengahan, kedua, ulama muhaditsin tidak pernah menjadikan fenomena (tokoh penghubung) itu sebagai alat untuk menyelidiki kepalsuan suatu hadis.
Common link adalah istilah yang dipakai untuk seorang periwayat hadits yang mendengar suatu hadits dari (jarang lebih dari) seorang yang berwenang, lalu mengajarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka mengajarkannya (lagi) kepada dua atau lebih dari muridnya. Dengan kata lain, common link adalah periwayat tertua yang disebut dalam berkas isnad yang meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas isnad hadits itu mulai menyebar untuk pertama kalinya, di sanalah ditemukan common link-nya.
Kesimpulannya, teori ini berangkat dari asumsi, bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang rawi (periwayat hadits), semakin besar pula jalur periwayatan tersebut mempunyai klaim kesejarahan, shahih. Artinya, jalur periwayatan yang dapat dipercaya secara autentik adalah jalur periwayatan yang bercabang ke lebih dari satu jalur. Sementara yang bercabang ke (hanya) satu jalur (single strand), tidak dapat dipercaya secara mutlak kebenarannya (dha’if).
Sebelum Juynboll, fenomena common link ini sesungguhnya sudah dibicarakan oleh Ignaz Goldziher (1850-1921) dan Joseph Schacht (1902-1969) yang mengklaim dirinya sebagai generasi penerus Goldziher dalam teori common link ini. The Origins of Muhammad SAW an Jurisprudence, terbitan Oxford adalah salah katu karyanya. Nah, dari kedua tokoh besar inilah, Juynboll (pakar sejarah Islam klasik dan hadits) melakukan eksplorasi lebih lanjut terhadap teori common link.
Terlepas dari pro dan kontra yang meliputinya, teori ini telah menghadirkan nuansa baru dalam wacana intelektualitas kita. Sebab, dengan menggunakan metode common link Juynboll ini, kita dapat melacak dan menemukan asal-usul hadits, kapan dan oleh siapa hadits tersebut disebarkan pertama kalinya. Di samping itu, teori common link juga menjadi wacana yang cukup menghangat. Sebuah wacana yang sangat radikal, fenomenal, sekaligus memancing perdebatan bagi setiap orang yang membacanya.
G. Bantahan Sarjana Muslim (Ulama) Terhadap Kritik Orientalis
a) Bantahan untuk Ignaz Goldziher
Pendapat Goldziher bahwa hadits belum merupakan dokumen sejarah yang muncul pada masa-masa awal peertumbuhan Islam disanggah oleh bebrapa pakar hadits. Mereka itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla Tadwin) dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in Early Hadith Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya.
Alasan mereka adalah karena ketidaktahuan mereka (kekurang kepercayaan) pada bukti-bukti sejarah. Orientalis lain seperti Nabia Abbot, justru mengajukan bukti-bukti yang cukup valid tentang keberadaan pencatan hadits pada awal-awal periode Islam, dalam bukunya Studies in Arabic Literary Papyri: Qur’anic Commentary and Tradition (1957). Abbot menyimpulkan bahwa penulisan hadits bisa direkonstruksikan dalam 4 fase: pertama, masa Nabi hidup, kedua, masa wafat Nabi sampai masa Ummayah, ketiga, pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan pada peran ibn Syihab al-Zuhri dan keempat adalah periode kodifikasi hadits kedalam buku-buku fiqh.
Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah bahwa kesalahan orientalis yang tidak konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan hadis Nabi yang berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum, mereka malah memasukkan hadis-hadis ritual. Sebagai contoh dari 47 hadis yang diklaimnya berasal dari Nabi sebagiannya tidak berasal dari Nabi, dan tidak juga berkaitan dengan hukum hanya seperempat yang relevan dengan topik yang didiskusikan.
Berkenaan dengan pernyataan ibn Syihab al-Zuhri, Azami menyatakan bahwa tidak ada bukti-bukti historis yang memperkuat teori Goldziher, bahkan justru sebaliknya. Ternyata Goldziher merubah teks yang seharusnya berbunyi al-hadis, akan tetapi ditulis dengan lafaz hadis saja. Demikian juga ternyata tesis Goldziher bahwa al-Zuhri dipaksa khalifah abdul malik bin marwan (yang bermusuhan dengan ibn Zubair) untuk membuat hadis, adalah palsu belaka. Hal ini mengingat al-Zuhri semasa hidupnya tidak pernah bertemu dengan Abdul Malik, kecuali sesudah 7 tahun dari wafatnya ibn Zubair. Pada saat itu umur al Zuhri sekitar 10-18 tahun sehingga tidak rasional pemuda seperti itu memiliki reputasi dan otoritas yang kuat untuk mempengaruhi masyarakat di sekitarnya. Bahkan as-Sibai menantang abdul Qadir profesornya untuk membuktikan kebenaran teks al Zuhri. Pada akhirnya terbukti bahwa Abdul Qadir salah dan berpegang pada argumen-argumen yang tidak ilmiah.
Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher adalah teks hadis itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Bukhari, hadis tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di al-Quds (Yurussalem) yang ada hanya isyarat pemberian keistimewaan kepada masjid al Aqsha, dan hal ini wajar mengingat masjid itu pernah dijadikan qiblat pertama bagi ummat Islam. Sementara itu tawaran Goldziher agar hadis tidak semata-mata didekati lewat perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik matan, perlu dicermati. Sebenarnya semenjak awal para shahabat dan generasi sesudahnya sudah mempraktekkan metode kritik matan. Penjelasan argumentatif telah disajikan oleh Subhi as Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadis juga bertumpu pada matan.
b) Bantahan untuk Josep Schacht
Berikutnya adalah bantahan terhadap kritik Joseph Schahcht sebagaimana yang dia gagas dalam teori Projecting Back-nya. Menurut Azami kekeliruan Schacht adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai dasar postulat/asumsi penyusunan teorinya itu. Kitab Muwattha’ Imam Malik dan al Syaibaniy serta risalahnya Imam as Syafi’i tidak bisa dijadiakan sebagai alat analisis eksistensi atau embrio kelahiran hadis Nabi. Sebab kitab-kitab tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk meneliti hadis Nabi sebaiknya menggunakan dan berpedoman pada kitab-kitab hadis.
Azami dalam rangka meruntuhkan teorinya Schacht telah melakukan penelitian terhadap beberapa naskah hadits dengan sanad abu hurairah, abu shalih, suhail…dst, yang ternyata dari hasil kajiannya sangat mustahil hadis bisa dipalsukan begitu saja.
Sementara teori Argumenta e Silentio-nya Schacht dikritk oleh Ja’far Ishaq Anshari dalam buku beliau : The Authenticity of Tradition, A Critique of Joseph Schacht‘s Argument e Silention, begitu pula Azami dalam sanggahannya terhadap The Origins of Muhammad SAWan Jurisprudence karya Schacht, Keduanya berkesimpulan bahwa Schacht melakukan kontradiksi dalam berargumen, sebab dalam bukunya schacht mengecualikan teorinya itu terhadap referensi yang berasal dari 2 generasi di belakang Syafi’i, kenyataannya Schacht justru menggunakan muwatha’nya Imam Malik dan Syaibaniy sebagai data-datanya yang itu adalah referensi yang valid menurutnya. Muwatha’ adalah suatu karya yang justru oleh Ignaz Goldziher sendiri dikritik sebagai bukan kitab hadis dengan alasan (1) belum mencakup seluruh hadis yang ada (2) lebih menekankan pada aspek hukum, kurang fokus pada penyelidikan penghimpunann hadis (3) campuran qaul Nabi, Shahabat dan tabi’in.
Selain itu, temuan Anshari justru membuktikan kebalikan dari teori Argumenta e Silentio. Setelah melakukan verifikasi berdasarkan empat koleksi hadis : al-Muwatha’ karya Imam Malik dan asy-Syaibani dan al-Atsar karya abu Yusuf dan asy-Syatibi, ia menemukan bahwa ternyata ada sejumlah hadis dalam koleksi-koleksi awal yang tidak ditemukan dalam koleksi-koleksi hadis belakangan. Misalnya, sejumlah hadis yang terdapat dalam al-Muwatha’ karya Imam Malik tidak ada dalam asy-Syaibani, meskipun al-Muwatha’ karya asy-Syaibani adalah koleksi yang lebih muda. Demikian juga sejumlah hadis yang terdapat di al-Atsar Abu Yusuf tidak dijumpai dalam al-Atsar asy-Syaibani, walaupun al-Atsar asy-Syaibani ini lebih muda daripada al-Atsar Abu Yusuf.
Temuan Anshari berdasarkan empat koleksi hadis ini paling tidak mampu mengoreksi asumsi dasar teori Argumenta e Silentio. Hal ini juga menyadarkan para pengkaji hadis untuk mempertimbangkan adanya faktor-faktor lain, selain faktor ketiadaan, yang menyebabkan mengapa seorang ahli hukum merasa cukup untuk menghimpun doktrin fiqih tertentu tanpa mencantumkan hadis-hadis yang mendukungnya. Karena tujuan para ahli hukum yang utama bukanlah untuk menghimpun hadis, melainkan untuk menghimpun berbagai doktrin aliran fiqih yang sudah disepakati dan diterima secara umum serta diikuti oleh para pendahulu mereka. Oleh karena itu, sering kali penyebutan sebuah hadis utuk mendukung berbagai doktrin fiqih dipandang tidak begitu penting. Akibatnya, merka tidak selalu menyebutkan hadis-hadis yang relevan dengan doktrin-doktrin hukum yang dihimpun meskipun dalam faktanya hadis-hadis tersebut ada.
Di samping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadis pada masa kemudian, padahal pada masa-masa awal hadis itu dicatat oleh perawi, disebabkan pengarangnya menghapus/menasakh hadis tersebut, sehingga ia tidak menulisnya dalam karya-karya terbaru. Ketidak konsistenan Schacht terbukti ketika dia mengkritik hadis-hadis hukum adalah palsu, ternyata ia mendasarkan teorinya itu pada hadis-hadis ritual (ibadah) yang jika diteliti lebih dalam lagi ternyata tidak bersambung ke Nabi.
Kemudian untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis yang lain, khususnya Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami membantah teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah Hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadis-Hadis Nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu Shaleh (ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi saw. Naskah suhail ini berisi 49 Hadis. Sementara Azami meneliti perawi Hadis itu sampai kepada generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah al-tsalitsah). Termasuk jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama.
Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Schacht dengan teorinya Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad Hadis itu baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi dalam menetapkan suatu hukum, adalah masih dipertanyakan keabsahannya, hal ini dibantah oleh Azami dengan penelitiannya bahwa sanad Hadis itu memang muttashil sampai kepada Rasulullah Saw. melalui jalur-jalur yang telah disebutkan di atas. Dan membuktikan juga bahwa Hadis-hadis yang berkembang sekarang bukanlah buatan para generasi terdahulu, tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari Rasul Saw. sebagai seorang Nabi dan panutan umat Islam.
c) Bantahan untuk Jyunboll
Tokoh ketiga yang tak luput dari perbincangan para sarjana muslim adalah Jyunboll dengan teori common link-nya. Diantara yang menanggapinya adalah Azami, baginya teori common link bukanlah hanya patut dipertanyakan namun ia pula meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung manyimpulkan bahwa metode common link dan semua metode yang dihasilkannya tidak relevan.
Bagi Azami, teori common link banyak yang perlu dipertanyakan. Sebagai contoh misalnya, jika memang ditemukan seorang periwayat seperti al-Zuhri, yang menjadi periwayat satu-satunya yang meriwayatkan hadis pada muridnya, tetapi telah diakui ke-tsiqah-an dirinya oleh para kritikus hadis maka tidak ada alasan untuk menuduhnya sebagai seorang yang memalsukan hadis. Para ahli hadis sendiri telah menyadari adanya periwayatan hadis secara infirad (menyendiri) dan implikasinya. Akan tetapi, itu semua bergantung pada kualitas para periwayat hadis pada isnad-nya.
Pada tempat lain, Azami menunjukkan bahwa jika seseorang tidak melihat secara keseluruhan jalur isnad maka ia akan salah dalam mengidentifikasi seorang periwayat sebagai common link. Hal ini tentunya agar penemuan akan sanad hadis itu tidak parsial. Sebab, bisa jadi yang dianggap oleh peneliti hadis sebagai common link sebenarnya hanya seeming atau artificial common link. Ini disebabkan karena jalur yang dihimpun hanya sebagian saja sehingga tidak bisa menggambarkan jalur isnad secara lebih akurat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bagaimanapun kritik hadis merupakan usaha yang sebenarnya lebih dulu dilakukan oleh kaum muslim sendiri. Tradisi lisan atau verbal dalam transmisi hadis tidak menafikan adanya tradisi tulis-menulis. Adanya fenomena pemalsuan hadis adalah akibat adanya intervensi pendapat-pendapat pribadi dan adanya kasus iltibas. Namun dari fenomena tersebut, melahirkan tradisi kritik hadis untuk mengecek validitas hadis. Di samping itu, dengan adanya formalisasi penulisan hadis pada abad ke-2 H, telah mengubah orientasi pemeliharaan hadis. Dan tradisi penulisan menghadirkan beberapa karya monumental yang memuat kumpulan hadis sebagai upaya selektif dari masing-masing tokoh yang telah menulisnya.
Dalam perkembangnya kritik inipun menjadi bahan yang menarik bagi orang non Islam yang disebut sebagai The Outsiders maupun Orientalis. Kajian mereka ini tidaklah harus ditanggapi dengan emosi yang menghilangkan nilai ilmiah bagi sebuah penelitian. Bahkan secara eksplisit karena merekalah saat ini umat muslim mencoba bangkit dan berani mengkoreksi nash-nash yang telah dianggap sakral dan tidak bisa tersentuh dari kritik. Pengkoreksian ini bukanlah berarti menggap bahwa tesis yang dihasilkan para orientalis ini merupakan sebuah hasil yang harus diterima secara mentah-mentah, namun harus juga ditanggapi denga objektif, data yang valid serta metodologi yang juga bisa diterima oleh kalangan akademis.
Sehingga sebenarnya para sarjana muslim sendiri bersikap berbeda dalam memandang kegiatan para orientalis. Diantaranya ada yang memandang sebagai murni kajian keilmuan namun disisi lain lebih banyak yang menganggap sebagai sebuah propaganda melawan Islam. Dari keseluruhan gerakan orientalisme tersebut dalam berbagai bentuknya dari awal hingga akhir ini, Edward Said menyimpulkan dalam 3 poin yaitu: 1) Bahwa orientalisme itu lebih merupakan gambaran tentang pengalaman manusia Barat ketimbang tentang manusia Timur (orient). 2) Bahwa Orientalisme itu telah menghasilkan gambaran yang salah tentang kebudayaan Arab dan Islam. 3) Bahwa meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa interes (kepentingan), namun ia berfungsi untuk tujuan politik.
Namun harus diakui bahwa selain dari bidang-bidang pemahaman dan penafsiran Islam, para oritentalis banyak yang berjasa dalam kerja-kerja ilmiah lainnya dan cukup dirasakan manfaatnya, seperti misalnya dalam penyusunan lexicon, kamus-kamus, encyclopedia, kompilasi hadis dan sebagainya. Oleh karena itu umat Islam perlu bersikap bijaksana, tidak melulu apresiatif yang berlebihan dan tidak pula bersikap apriori secara membabi buta. Umat Islam perlu bersikap kritis dan profesional dalam mengkaji dan menanggapi karya-karya orientalis itu.
B. Saran
Dalam menghadapi pemikiran dan kritikan dari sarjana-sarjana barat atau orientalis diperlukan adanya kajian yang lebih mendalam dan ilmiah sebab teori-teori yang dikemukakan oleh para sarjana muslim atau ulama jika tidak ilmiah, maka teori itu akan runtuh, oleh sebab itu jika kritikan terhadap hadits Nabi Saw, datang dengan menunjukkan keilmiahannya, hendaklah dibantah atau ditanggapai dengan teori yang ilmiah pula.
Oleh karena itu, mempelajari pemikiran para orientalisme tidak boleh hanya berhenti sampai pada titik terbantahnya teori tersebut, dan seyogyanya pengembangan metode ktirik ataupun takhrij hadits masih sangat diperlukan dalam khazanah intelektuan kita untuk membuktikan autentisitas hadits, mengingat kedudukan hadits yang begitu urgen dan sentral dalam ajaran Islam.
Pengembangan metode penelitian hadits dapat terlaksana dengan lebih digalakkannya pelatihan-pelatihan dalam penelitian hadits. Jika penelitian karya tulis ilmiah, penelitian sosiologis cultural dapat digalakkan sedemikian rupa tentunya penelitian haditspun dapat dilakukan demikian, dalam rangka menjaga keotentikan dan kesucian sabda Nabi Saw yang notabenenya merupakan sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Barry, M. dahlan, Kamus Ilmiah Populer . Surabaya: Arkola, 2001.
Al-Siba'I, Mustafa, Al-Sunah Wa Makanatuha fi Al-Tasyri' Al-Islami, Beirut, 1978.
Azami, M. M. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta : PT pustaka Firdaus. 1994.
, M.M, Menguji Keaslian Hadits-Hadits Hukum. Jakarta:Pustaka Firdaus, 2004.
Darmalaksana, Wahyudin, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht.Bandung: Benang Merah Press, 2004.
Echols, Jhon M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia. 1992.
Edward W Said, Orientalisme, Terj. Asep Hikmat, Bandung: Pustaka Salman. 1996.
Hanafi, A, Orientalisme Ditinjau Menurut Kaca Mata Agama, Jakarta : Pustaka Al-Husna. 1981.
Ismail, Syuhudi, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya Jakarta : Gema Insani Press, 1995
Khaeruman, Badri, Otentisitas Hadits Studi Kritis atas Kajian Hadits Kontemporer. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
Khaliel, Moenawwar, Ilmu Hadits : :Hadits dan Orientalis : http://www.hidayatullah.com /kolom/opini/opini/938-menelusuri-pemikiran-orientalis?format=pdf
Rais, M. Amien,Cakrawala Islam, Bandung: Mizan. 1986.
Tim Lintas Media, Kamus Indonesia-Arab dan Arab Indonesia.Jombang: Lintas Media, tt..
Akifahadi, Labib Syauqi, “Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist”, dalam internet website :http://lenterahadits.com/ index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=36&Itemid=57, Diakses Pada tanggal 02 November 2010
Asfiyak, Khoirul, “Otentisitas Hadits dimata Orientalist” dalam internet website: http://fai-unisma-malang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata-orientalist_10.html, Diakses Pada tanggal 02 November 2010
, Saat Orientalis Mengkritisi Hadits Teori Common Link G.H.A. Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, website: http://www.compasiana.com/sunangunungdjati. Diakses Pada tanggal 02 November 2010
Mutazz, Hafsa, “Sosok Orientalisme dan Kiprahnya”, dalam internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya. Diakses Pada tanggal 02 November 2010
Rifqie, ”Kritik orientalis Terhadap Hadis”, dalam internet website: http://rifqiemaulana.wordpress.com/. Diakses Pada tanggal 02 November 2010
http://munfarida.blogspot.com/2010/05/kritik-orientalis-terhadap-hadits.html, diakses Pada Tanggal 02 November 2010
www.sukmanila.multiply.com. Diakses Pada tanggal 02 November 2010
www.ikhwaninteraktif.com. Diakses Pada tanggal 02 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar