Bismillahir rahmanir rahiim
Assalamu alaikum warhmatullahi wabarakatuh..
Maraknya patologi sosial telah merusak harmonisasi, tata nilai, flat form dan equilibrium sosial. Paket pengkhianatan terhadap kemanusian telah menciptakan belenggu-belenggu yang akan menjadikan masyarakat lebih cenderung fatalistic dan merasa kabur akan teleologis manusia sebagai makhluk sosial. kita meminjam analis Paulo freire dalam melihat fenomena tertsebut, menurutnya ada tiga tipologi kesadaran masyarakat:
Magical consciousness
Kesadaran dalam bentuk ini menganggap bahwa kondisi sosial yang terjadi berupa ketimpangan dan crime- stuructural terjadi begitu saja tanpa mampu membaca penyebab akan keterpurukan masyarakat berupa pengangguran, kemiskinan, depolitisasi dan dehumanisasi. Sehingga melahirkan sikap apatis dan akan terus terpenjara dalam dominasi elite class sebagai superiority class, paradigma seperti ini membuat kedzaliman lebih langgeng dan kehidupan sosial menjadi statis, saya teringat sebuah ungkapan aporisme salah seorang sahabat nabi yaitu Ali, KW .“penindas dan yang ditindas sama-sama menggunting keadilan”. Mungkin muncul pertanyaan, Mengapa yang tertindas juga termasuk kategorisasi menggunting keadilan? Jawaban sederhananya karena yang tertindas tidak punya inisiatif untuk melakukan suatu gerakan perubahan alias pecundang, tennia burane (bugis). Makanya sangat dibutuhkan spirit progresif dan spirit pembebasan. Ketika para agent of change menjadi aktivis brutal alias aktivis kadaluarsa, hal ini sangat menguntungkan “korporatokrasi” dalam mewujudkan eksploitasi terhadap masyarakat miskin, underdevelopment terus eksis dalam wajah masyarakat, status quo terkristalisasi membentuk sebuah sistem dan structure yang memberi legitimasi sosio-politik pada kapitalisme.
Setiap manusia lahir menggenggam kekuatan (power). Namun terkadang kekuatan tersebut menjadi titik lemah disebabkan karena kita tidak mengenal diri/lupa diri (amnesia metafisik), dan tabir-tabir false consciousness (kesadaran palsu) menyelimuti diri. Hari demi hari yang dilalui kaum mustadaiifin menelan pil pahit kehidupan, sedang di balik semua itu para kelompok borjuis modern menikmati setiap detik waktu yang terlewatkan bagaikan paradise. lentera-lentera kelam menghiasi jiwa yang terluka dalam kepengatan pergolakan hidup.
Naival consciousness
Kesadaran naïf ini selalu memberi kontribusi pada kepincangan sosial yang terjadi. Bukan sistem yang salah, juga bukan para kapitalis. Tapi salah kita sendiri (menurut penganut teori naival consciousness). Rapuhnya analisis yang dimiliki benar-benar telah menghegemoni paradigma kita, sehingga menganggap bahwa yang terjadi semuanya adalah “salah kita sendiri”.
Satu kesalahan fundamental yang kita lakukan, yaitu kita tidak mau sadar.
Sadar akan skematisasi para pemodal, penguasa , multinasional corporation (MNcS), dan sadar akan penghianatan para elite negeri ini. kalo pemimpin kita pengecut dan rela mengabdi pada kekuasaan “korporatokrasi”, muncul a big question siapa lagi yang peduli nasib proletar-proletar jalanan?
Kritical consciousness
Pada dasarnya bentuk kesadaran kritical melihat realitas sosial dengan sinis dan kemudian menjustifikasi bahwa sistem sebagai penyebab penderitaan rakyat . sehingga masyarakat harus menyatukan visi untuk merebut kembali hak-hak yang dirampas oleh elite class dan juga subsummed class. Dengan kesadaran ini kita bisa terbebas dari jerat-jerat sistem yang mematikan dan kembali membentuk wajah sosial yang lebih baik.
Terlalu banyak teori perubahan sosial dalam melihat dan memahami realitas sosial. Namun yang dibutuhkan adalah teori perubahan sosial yang mencerahkan, humanis dan Mampu membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan dengan dua oknum; ballance dan egaliter. Bukan justru kemasan teori yang kelihatannya pro kesejahteraan padahal hanya kedok dan tetap melanggengkan serta mendukung Neoliberalisme, dengan tiga pilar utamanya: person liberty (kebebasan individu ), private property (kapemilikan pribadi), dan private enterprise (inisiasi usaha pribadi ).
kekuatan “korporatokrasi” sebagai momok pelaku eksploitasi besar-besaran secara global, menciptakan kekacauan dan berhasil menggerogoti seluruh elemen yang menjadi pilar suatu Negara berdaulat. Tidak berlebihan ketika kita memberi predikat sebagai hantu globalisasi. Cara kerja mereka di bawah naungan kapitalisme telah mengakar pasca perang dingin antara sosialisme vs kapitalisme, dan selanjutnya kapitalisme keluar sebagai pemenang. Berbagai cara mereka lakukan demi menciptakan power yang tak terkalahkan, dimulai dengan sebuah misi untuk melakukan kekacauan atau instabilitas ekonomi, yang pada akhirnya terkonstruksi pada dependensy(ketergantungan).
W.W Rostow, David MC. Clelland dan Adam Smith. Inilah nama-nama para pakar ekonomi kapitalisme, jauh sebelumnya mereka telah mengerjakan proyek ekonomi dalam hal menanamkan doktrinal ekonomi dependensi. Masih segar dalam pustaka pengetahuan kita bagaimana cantik dan seksi isu yang digelindingkan tentang setiap Negara harus menjadi modern dan ikut arus modernisasi, karena kalau hal ini tidak diindahkan maka terkutuklah kita sebagai Negara dengan standar underdevelopmentalime, syarat utama jadi Negara modern adalah sejauh mana skala dan prioritas pembangunannya. Masih ingat bagaimana awal ambruknya ekonomi nasional kita, krisis ekonomi yang menjadi biang keladi krisis multinasional. Semua berawal dari pemimpin Orde Baru mengikuti instruksii ekonomi pembangunan ala Rostow. karena mustahil sebuah Negara menjadi modern tanpa pembangunan (yang selanjutnya dikenal ideology developmentalisme) dan tentu lebih mustahil lagi ada pembangunan tanpa adanya capita (modal), dimana bisa mendapatkan modal? Solusi bagi ekonomii kapitalisme, IMF dan World Bank.
Liberation theology (teologi pembebasan) yang diperkenalkan oleh Gustavo Guiterez, lebih menekankan pada perlawanan terhadap penindasan yang terstruktur ini dengan seluruh kekuatan yang kita miliki. Jangan pernah menerima kebenaran atas dasar dogma dan kekuatan dominan. Kadang-kadang paradigm yang eksis dan survive hingga kini bukan lagi dalam takaran benar dan salah. Namun sejauh mana pendukungnya mendominasi dan yang memiliki power kekuasaan. Inilah yang menjadi problem memilih sikap objektivisme dalam kerangka nalar kebenaran yang sesungguhnya tanpa embel-embel kekuasaan sebagai alat legitimasi kebenaran. Kini kekuaasaan mampu menciptakan kebenaran dalam standar legitimasi mayority, ingat bahwa kebenaran mayoritas tidak secara mutlak bahwa sesuatu itu benar apa adanya.
Kita mencoba pemaparan yang lebih spesifik berbicara tentang diskursus teologi kadang-kadang banyak orang bersanggapan bahwa teologi hanya milik agama, yang tidak mampu teraktualisasi dalam realitas sosial, seakan-akan ada gap begitu kokoh sebagai dinding pemisah antar teologi dan realitas sosial. Padahal semestinya setiap teologi mampu mentransformasi nilai-nilai tersebut dalam mewujudkan keadilan; economic justice (keadilan ekonomi) dan sosial justice keadilan sosial). Teologi pembebasan menjadi teori alternatif untuk mengawali sifting paradigm menyambut arah pembangunan yang sesungguhnya. Menata kembali sistem social kita dengan nalar yang tercerahkan dan ideologi yang benar-benar berpihak pada kebangkitan kaum tertindas, tentu kesadaran kritis menjadi basis atau yang menjadi prinsipil dalam setiap teori perubahan , sebagai langkah awal standarisasi awareness.
Agama hendak menjadi spirit perubahan sosial, dalam pengertian bahwa nilai-nilai agama khususnya Islam, semestinya terinternalisasi kemudian diejawantahkan dalam gerak masyarakat. Dengan istilah lain tauhid seyogyanya menyapa realitas bukan hanya sekedar berisi doktrinal dan berujung pada kesalehan semu. Bukankah Agama Islam adalah Agama pembebasan. Diharapkan mampu membebaskan kaum musthadaifin dan segala bentuk penjara-penjara kemanusian, yang sesungguhnya mencabut akar-akar kebenaran ilahi (devine). Contoh fenomena yang sangat ironis; ada orang islam yang shalat tengah malam melantungkan nada-nada ilahi. Namun di lain sisi saudaranya yang muslim di sekitarnya malah menyanyikan lagu-lagu kepedihan (tapi bukan lagu Malaysia), kelaparan dan jeritan-jeritan ketidakberdayaan. Di tempat lain ada yang naik haji sampai tiga kali, tapi mereka hanya bisa apatis terhadap kondisi saudaranya yang tergeletak di rumah sakit berjuang melawan maut karena tidak mampu menebus biaya obat yang harganya di atas langit (katanya kesehatan gratis, gayanaji..). sangat disayangkan karena ini terjadi pada orang yang menyadari Tuhan dalam dirinya, mereka tidak sadar satu hal mereka telah membuang kunci surga. Ia lupa sisi Islam yang lain.
Bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Tentu harapan Bangsa ini untuk maju ada di tangan oraog-orang Islam, ketika muslim sudah bersatu menyatakan nawaitunya akan perubahan dan kebangkitan yakin 100% Bangsa kita kembali menjadi Asian Tiger. Menurut bapak reformasi kita menyatakan ada 5 borok (loopholes) yang terjadi di negra yang kita cintai ini; 1) sosial 2) ekonomi 3) ketidak jujuran dalam pemilu 4) kemanusiaan 5) kepercayaan.
Borok sosial sangat jelas dengan fakta ketimpangan sosial yang terjadi di mana-mana, pemiskinan dan penindasan terhadap rakyat kecil makin marak, hingga sampai pada banyaknya rakyat yang terlantar.”menjadi gelandangan di negeri sendiri”.
Borok ekonomi yang disebabkan oleh rate of economic growth, pemerintah kini tergantung pada IMF,ADB DAN WORLD BANK. Dulunya Indonesia dikenal Asian Tiger (macan Asia) sekarang dikenal sebagai Asian Beggar (pengemis Asia). Kemudian kita bisa melihat realitas hari ini betapa matinya sensitivisme pemerintah atas rakyat kecil dengan kasus-kasus TKI. TKI banyak yang pulang ke tanah air hanya membawa pedih, perih, bekas luka dan kenistaan sebagai manusia, pemerintah hanya bisa mengatakan nanti kita tindak lanjuti dan kata maaf (saya yakin rakyat bisa memaafkan namun tidak bisa menerima). Mana hak kami sebagai warga Negara dan manusia!!!!!?.
Lain halnya dengan ketidak jujuran dalam pemilu, ini sudah menjadi rahasia umum. Jangankan dalam skala nasional skala kampus pun sudah dipertontonkan kebobrokan politik dan keanggkuhan akan kebodohan (maaf ,sorry, afwan !! itulah kata yang penulis anggap paling halus). Padahal kalau pemilihan itu cacat, maka keabsahan kepemimpinan tersebut cacat totalitas dan seluruh proses yang dilaluinya semuanya cacat legitimasi.
Dan terakhir persoalan krisis kepercayaan, masih adakah tokoh yang berjuang atas nama musthadaifin atau itu hanya jargon, slogan menjelang pemilihan umum?. Seorang figure yang benar-benar konsisten mempertahankan idealismenyalah dan memiliki nalar yang tercerahkan yang mampu membawa peradaban dan mengubah wajah indonesia yang lebih bermoral, bermartabat dan berdaulat di mata dunia. Ingat kemerdekaan ini hanyalah kemerdekaan semu, kedaulatan ini hanyalah pelecehan politik international.
Tauhid,teologi sebagai paradigma pembebasan. Mestinya nilai-nilai tauhid mampu kita aktualisasikan dalam realitas sosial, mari satukan tekad! Lawan penindasan apapun bentuknya dan bagaimanapun modelnya dalam bingkai universal brotherhood. UNTUK USHULUDDIN JAYALAH KEMBALI
apakah dizaman seperti ini paradigma tranformatif di masyarakat masiih menggunakan aswaja manhaj alfikr...???
BalasHapus