Dikala senja menyinsing seorang pemuda duduk termenung memandangi sang matahari yang sebentar lagi kan bersembunyi dibalik kegelapan malam. Matanya jauh meneropong ke angkasa luas, pikirannya pun tak kalah jauh pergi berkelana dengan kegelisan yang menyelimuti jiwanya. Yach, resah dan gelisah senantiasa menemani jiwanya, jiwa mudanya yang penuh dengan semangat perubahan, bagaikan api yang siap membakar seluruh “kepalsuan” yang menjadi trend dihampir seluruh pemuda. Ia resah melihat kondisi negaranya yang kehilangan jati dirinya. Ia gelisah melihan kondisi sebagian pemuda yang terserang “penyakit” kepuasan akan pengetahuan. Jiwanya terbakar, ia memiliki keinginan untuk merubah keadaan, ia ingin melihat masyarakatnya maju, ia sadar bahwa apabila disuatu negara pemudanya kreatif pasti masyarakatnya akan berubah, ia teringat kata-kata dari sang proklamator indonesia “berikanlah aku sepuluh pemuda maka akan ku ubah dunia”. Api semangat itu semakin membakar jiwanya, tekadnya semakin bulat, ia harus bangkit, ia harus berbuat untuk masyarakatnya. Tiba-tiba sang angin yang sepoi datang menyapa kulitnya yang lembut, ia baru tersadar bahwa sekarang ia berada di dalam “penjara”, manamungkin ia akan mengubah keadaan negara, pemuda, dan masyarakatnya sedangkan dia sendiri berada dalam “penjara”???
kreativitas yang terpenjara, judul ini sengaja saya angkat sebagai upaya untuk melukiskan keadaan para intelektual muda kita saat ini. sebagaimana kita ketahui bersama pikiran anak muda sangat ideal, mereka selalu memimpikan hal-hal yang sangat besar untuk mengubah segalanya, namun terkadang kita melihat para pemuda itu “mati” sebelum idealisme briliannya itu terrealisasi. Yach begitulah realitas hari ini yang kita jumpai dimana-mana. Sang pemuda pada cerita diatas adalah seseorang yang punya semangat untuk perubahan, namun sayang semangatnya itu ia peroleh didalam “penjara” sistem yang “jahiliah”. Ia ingin merubah masyarakatnya sedangkan ia sendiri terpenjara dengan kebodohannya, ia ingin merubah negaranya sedangkan ia sendiri belum berubah, ia ingin menghancurkan sistem jahiliah yang ada pada negaranya sedangkan tubuhnya terikat dengan “belenggu besi”. Akhirnya semangatnyapun ia “jual” kepada mereka yang punya uang, akhirnya kreativitas sang pemuda itu dibunuh oleh rupiah, atau dengan kata lain sang pemuda itupun telah “mati”. Banyak pemuda kita hari ini yang “mati” sebelum waktunya. Apakah ini sudah menjadi budaya yang telah mengkristal dizaman kita, yang konon (atau bukan konon) semuanya dapat dibeli dengan uang?? Jawabannya sekarang ada pada anda sebagai pemuda. “penjara” atau kebebasan adalah pilihan, tergantung yang mana yang anda pilih, apakah terus menghidupkan dan mempertahankan idealisme ataukah “membunuh” atau menjual idelisme itu. Dan disitulah kemudian terjawab apakah anda adalah pemuda yang berkarakter ataukah tidak.
Dinamisasi pengetahuan yang terjadi saat ini “memaksa” sebagian pemuda untuk hidup dengan kecerdasan dan juga mentalitas yang handal. Karenanya, bagi penulis yang harus dilakukan oleh para generasi muda adalah menjadikan budaya intelektualitas bukan hanya sebatas teori tapi aplikasi. Pengetahuan-pengetahuan yang didapat harus sampai pada level kesadarannya. Apabila masih ada pemuda yang “menjual” idealismenya berarti pengetahuan yang ia dapati tidak sampai membawanya pada tinggkat kesadarnnya. Tapi hanya sebatas pengetahuan aksidentil. Tentunya ada yang salah dengan keyataan yang sangat memprihatinkan ini, boleh jadi dari orang yang memberikan pengajaran kepada para generasi muda, ataukah pemuda itu sendiri yang tidak serius dalam pencarian pengetahuan, atau jangan-jangan ada kesalahan pada kurikulum pendidikan kita hari ini. ini tugas kita bersama untuk menyelesaikan problem ini.
Perubahan kearah yang lebih baik bukan hanya sekedar angan-angan belaka. Idealisme yang menjadi cirikhas pemuda harus tetap dipertahankan, walaupun badai-badai besar selalu datang menerpa. Agar tidak menjadi bayang-bayang semu, maka kini saatnya para pemuda harus bangkit dari “mati” surinya, karena dipundaknyalah nasib bangsa berada. Karenanya agar idealisme itu tidak gampang dijual, maka kultur intelektualitas harus selalu diletarikan. Kultur intelektualitas yang dimakasud adalah menciptakan suasana dialektika bersama siapapun dan dimanapun serta menjadikan buku sebagai “sahabat sejati”. Kajian-kajian sistematis harus senantiasa menemani sang hari. Kenapa? Karena pemuda adalah pemimpin masa depan, jikalau pemudanya menghabiskan masa mudanya dengan hura-hura maka kita telah mengetahui jawabannya tunggulah kehancuran negara kita. Oleh karena itu maka marilah kita berlomba-lomba untuk melakukan hal-hal apa saja yang bermanfaat untuk manusia dan kemanusiaan.
Tulisan singkat ini akan saya akhiri dengan sebuah pepatah “ seoarang pemuda yang tidak merasakan pahitnya belajar walaupun sedikit, maka ia akan merasakan pahitnya hidup seumur hidup”. wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar