Cari Blog Ini

Sabtu, 09 Juli 2011

Hijrah dan Rahbaniyyah
KH. Jalaluddin Rakhmat

“Pada suatu hari,” kata Abdullah ibnu Mas’ud, “aku sedang menyertai Rasulullah saw yang sedang mengendarai keledainya. Ia memanggilku: ‘Hai Ibnu Ummi ‘Abd, tahukah kamu dari mana Bani Israil mengadakan tradisi kependetaan?’ Aku menjawab: ’Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Ia bersabda lagi: ‘Setelah Nabi Isa as, muncullah para tiran.’
            Mereka melakukan penentangan kepada Allah. Orang-orang yang beriman marah. Mereka memerangi para tiran itu, tetapi kalah, sampai tiga kali. Tidak tersisa dari orang-orang beriman itu kecuali sedikit saja. Mereka berkata: ‘Perlawanan kita terhadap mereka telah membinasakan kita. Nanti tidak tersisa lagi seorang pun yang memanggil manusia kepada agama. Marilah kita berpisah dan menyebar di bumi sampai Allah membangkitkan seorang Nabi yang dijanjikan kepada Isa as, yakni Muhammad saw.’
            Mereka tersebar di gua-gua pegunungan. Mereka adakan kependetaan. Sebagian di antara mereka berpegang teguh pada agamanya; sebagian lagi menjadi kafir. Kemudian Rasulullah saw membaca ayat: Dan kependetaan yang mereka adakan tidaklah Kami wajibkan atas mereka. Sampai akhir ayat. Kemudian beliau bersabda: ‘Hai Ibnu Ummi ‘Abd, tahukah kamu kependetaan umatku?’ Aku berkata: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Ia bersabda: ‘Hijrah, jihad, salat, puasa, haji, dan umrah.’” (Tafsir Mizan 19:182).
            Setiap agama mengenal sejumlah tradisi yang dilakukan para pengikutnya semata-mata untuk menyembah Tuhan. Mereka mempersembahkan seluruh harta dan jiwanya untuk Tuhan. Tradisi ini dijalankan secara konsisten dan terus menerus oleh sekelompok pengikut yang sangat saleh dan secara temporer oleh pengikutnya yang lain. Tradisi ini disebut kependetaan, rahbaniyyah.
            Pada agama Budha, setiap pengikut dianjurkan selama beberapa waktu menjalankan kehidupan sebagai pendeta. Mereka meninggalkan keluarganya, hidup sederhana, beribadat siang dan malam, dan menyerahkan seluruh perilakunya kepada Tuhan. Mereka tinggal di biara. Pada agama Kristen, menurut Rasulullah saw, tradisi kependetaan dimulai sejak umat Kristiani dikejar-kejar, dibunuh, dan ditindas. Untuk menyelamatkan agama, sebagian di antara pemeluk Kristen masuk ke gua-gua mempraktikan jalan kesucian. Setelah Islam datang, tradisi kependetaan ini dijalankan dalam hijrah, jihad, salat, puasa, haji, dan umrah.
            Ciri utama semua ibadat yang bersifat rahbaniyyah adalah kebergantungan kepada Allah saja dan keterlepasan dari apa pun dan siapa pun selain Dia. Yang pertama disebut al-inqitha’ ilallah dan yang kedua al-iqitha’ ‘an man siwah.
            Ketika orang melakukan haji dan umrah, ia meninggalkan tanah airnya dan segala urusan di dalamnya. Ia melepaskan pekerjaannya. Ia melepaskan keluarganya. Ia melepaskan kekayaannya. Selama periode haji, kepentingannya hanya satu: menjalankan semua kehendak Allah. Pada waktu puasa, seorang muslim mengendalikan hawa nafsunya dan menundukkannya kepada kehendak Allah. Kepada siapa saja yang melakukan salat, Nabi berpesan: “Salatlah kamu seperti salat orang yang berpisah dengan dunia ini.”
            Seperti haji dan umrah, dalam hijrah dan jihad kita harus meninggalkan rumah kita dan bergerak menuju Allah dan Rasul-Nya. Rumah kita itu dapat berupa pekerjaan kita, kekayaan kita, kedudukan kita, kekuasaan kita, juga ambisi dan kepentingan kita. Secara singkat, rumah kita adalah Ego (yang saya tulis dengan huruf besar) kita. Anda belum berhijrah bila Anda hidup seperti kerang yang membawa rumahnya ke mana pun ia bergerak.
            Ketika Nabi saw berhijrah, para sahabat menyusulnya. Ada di antara mereka yang berangkat ke Madinah tidak untuk menyusul Nabi, tapi untuk menemui pacarnya. Ada juga yang berangkat karena pertimbangan bisnisnya. Mereka bergerak, tapi tidak menanggalkan kepentingan-kepentingan pribadinya. Mereka menempuh perjalanan panjang sambil memikul egonya. Kelak pada hari akhirat, ada seorang pejuang menyatakan bahwa hidupnya sudah dipersembahkan untuk menegakkan agama. Tuhan berkata: “Kamu bohong, kamu berjuang untuk disebut sebagai pemberani.” Ia diseret pada wajahnya dan dilemparkan ke neraka. Ia sudah berjihad, tetapi dalam jihadnya ia gagal melepaskan egonya.
            Setiap tahun, kita memperingati peristiwa hijrah. Kita dianjurkan untuk berhijrah. Pada saat yang sama, kita juga diperintahkan untuk jihad. Keduanya diajarkan Nabi saw untuk melanjutkan perjuangan menentang tirani. Bukan pergi ke gua, umat Muhammad saw harus mengibarkan bendera perlawanan dan menancapkannya di medan perang. Tetapi hijrah dan jihad harus ditegakkan di atas kependetaan, yakni melepaskan ego kita.
            Anda sudah bertekad menentang tirani dan menegakkan pemerintahan yang adil dan bersih. Mengapa kini Anda sibuk memenangkan kelompok Anda, dengan berbagai manuver, termasuk dengan bekerja sama dengan sistem yang zalim? Anda sudah berniat memperjuangkan Islam. Mengapa Anda menyerang sesama muslim, menyebarkan aibnya, untuk menonjolkan diri Anda sendiri? Mengapa kini Anda meletakkan kepentingan kelompok Anda, bahkan kepentingan pribadi Anda, di atas kepentingan Islam dan kaum muslimin?.
Anda sudah berhijrah, berjihad, tetapi Anda tidak melepaskan ego Anda. Hijrah dan jihad Anda kehilangan roh rahbaniyyah-nya. Kita sudah lama kehilangan roh dalam salat, puasa, haji, dan umrah kita. Dan kini kita kehilangan hijrah dan jihad kita. Tuhan, ampunilah kami!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar