SIAPAKAH SANG MUFASSIR
Oleh: Rahmat Santoso
I |
slam adalah agama terakhir, yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada kanjeng Nabi Muhammad SAW, dengan Al-qur’an sebagai kitab sucinya, yang berisikan pesan-pesan Ilahi sebagai petunjuk dalam menjalankan roda kehidupan. Al-Qur’an yang berisikan Pesan Ilahi tersebut yang bersifat Universal, yang merupakan petunjuk bagi umat manusia pada dasarnya merupakan kitab suci yang terdiri dari berbagai macam simbol yang masih membutuhkan penafsiran, demi terpahaminya pesan-pesan yang terkandung di dalamya.
Berbicara mengenai simbol dan pemahaman terhadap simbol pada dasarnya membicarakan pemaknaan dan cara pengungkapan makna. Simbol-simbol itu dapat dikatakan pada mulanya berawal dari pemaknaan manusia terhadap sesuatu, sehingga pembacaan terhadap satu simbol pada dasarnya adalah suatu usaha untuk menyingkap dan menangkap makna yang ‘dilekatkan’ terhadap simbol tersebut. Dari sinilah kemudian lahir beragam teori dan metode pemahaman yang merupakan titik tolak perkembangan penafsiran.
Sementara dalam peta pemikiran Islam, aktivitas yang menandai geliat intelektual dan dinamika pemikiran Islam adalah kata Tafsir, yang berarti menguraikan dan memjelaskan segala sesuatu yang dikandung Al-Qur’an. Tidak ada istilah atau term dalam Islam yang cukup menjelaskan proses penalaran yang lebih produktif dalam Islam selain kata tafsir. Tafsir, dalam pengertian yang lebih luas, adalah dialog antara teks Al-Qur’an yang memuat cakrawala makna di dalamnya, dengan horizon pengetahuan manusia dan problematika kehidupannya yang terus mengalami perubahan dan dinamika yang tidak pernah berhenti.
Dengan demikian, kekayaan dan signifikansi teks Al-Qur’an sangat tergantung pada capaian-capaian pengetahuan sang penafsir. Semakin tinggi tingkat pengetahuan dan keilmuan penafsir, maka makin beragam dan signifikan pula makna yang dihasilkan.
Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, melalui penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju-mundurnya umat. Sekaligus, penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.
Terlepas dari hal tersebut, memberikan interpretasi terhadap teks-teks Al-Qur’an berarti memberikan penjelasan terhadap makna yang terkandung di dalam teks tersebut. Bagaimana permasalahan umat dapat terselesaikan jika interpretasi terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dilatar belakangi oleh tendensi-tendensi indiviualisme ataupun kelompok, hegemoni ideologi. Sementara secara factual, tidak ada yang cukup bisa membatasi kepentingan-kepentingan ini. Teks normative Al-Qur’an pun tidak cukup eksplisit dalam menentukan jenis kepentingan dan juga pengetahuan yang layak dijadikan pedoman dalam penafsiran. Oleh karena itu, seorang mufassir haruslah terlepas dari segala tendensi yang dapat melahirkan penyelewengan makna, serta menghindari rigoritas penafsiran dengan semua dimensi negatifnya, dan menuju pada kearifan hermeneutis yang bisa melahirkan interpretasi yang bijak, dengan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Seorang penafsir, ketika ia menafsirkan sesuatu, seringkali ia tidak sadar dengan kondisi psikologis dan sosial dalam dirinya yang turut berperan dan menentukan pola dan hasil penafsirannya, sehingga tidak jarang searoang penafsir menganggap bahwa penafsirannya bersifat subyektif, tidak berpihak dan merepresentasekan makna teks yang paling benar.
Bahkan tidak jarang penafsir memandang apa yang ditafsirkannya sebagai suatu yang seharusnya, yang tepat, dan seperti yang dikehendaki Sang Pembuat teks. Pendirian semacam inilah yang sering kali meningkatkan tensi hubungan antar aliran, antara metode pemahaman dan antar corak penafsiran yang beragam. Klaim bahwa hasil penafsirannya adalah yang paling mendekati apa yang dikehendaki oleh Tuhan, membuat seorang menegasikan pemahaman dan penafsiran diluar yang ditafsirkannya. Dalam wilayah inilah sumber pertikaian intern umat beragama, karena pola kliam semacam inilah terdapat dalam seiap agama.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang mampu memberikan penafsiran yang demikian????. Apakah nama-nama seperti At-Thabary, Ibn Katsir, Al-Kurtubi, Allamah Muhammad Husain Thabathaba’i, Quraish Shihab, dan masih banyak lagi, telah mampu menguak setip detilnya dari makna yang terkandung dalam setiap teks Al-Qur’an???? wa Allahu A’lam bi Shawab adalah jawaban yang singkat namun cukup memberikan pemahaman baru bahwa setiap menusia yang mencoba menafsirkan ayat Al-Qur’an harus memenuhi kriteria seperti orang yang berhak dan telah diberikan izin oleh sang pembuat teks, dia tidak lain adalah Muhammad SAW yang mampu menafsirkan ayat sesuai dengan keinginan sang pencipta.
Jadi, hanya orang-orang yang suci, yang dekat dengan Allah dan Nabilah yang mampu menafsirkan dan menguak makna yang terkandung dalam teks-teks Qur’ani, kedekatan itu mencakup banyak hal baik yang dekat melalui nasab yang terpenting lagi kedekatan spiritual yang telah mampu menempuh empat perjalanan seperti diungkapkan oleh Ayatullah Mulla Sadhra yaitu: Pertama, perjalanan dari alam ciptaan menuju Allah. Kedua, perjalanan dalam Allah. Ketiga, perjalanan kembali dari Allah. Keempat, sebagai penyempurna semuanya, adalah perjalanan dalam ciptaan bersama Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar