Cari Blog Ini

Rabu, 12 Oktober 2011

Antara si “sesat” dan si “ustad”

By: Amiruddin/Solid
Di jaman wong ngedan sekarang ini, bukan cuman alat dan perlengkapan kehidupan yang ngedan tapi orang kafir juga ngedan-ngedan lho… mengapa saya katakan orang-orang kafir juga ngedan? Kata guru ngajiku dulu, orang sesat itu adalah orang yang ngakunya punya agama, namun ia mentuhankan dirinya sendiri, seperti kisah Syekhsiti Jenar pada sejarah para wali yang menyebarkan agama Islam beberapa abad silam. Karena dia uda di jalan yang salah maka perilakunya sangat jauh bahkan sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai keselamatan. Berbeda sama orang yang dikatakan selamat atau ustad, perbuatannya itu begitu aduhai, bibirnya sering dibasahi kalimat zikir, tutur katanya menyejukkan, tempat kunjungan wisatanya yakni Masjid bukan Losari, dan yang jelasnya dia tu ahli ibadah gitu.
Tapi kalau dipikir-pikir, mungkin benar kata ustadku, tapi itu dulu. Sekarang saya rasa uda nggak seperti yang sang guruku bilang, soalnya si sesat sekarang pada ketawa karena melihat “ustad” (pengajar agama) bingung hadapi pikiran-pikiran mereka. Ya… karena uda nggak seperti yang guru ngajiku bilang, maka dari itu akan kita buktikan makna si sesat dan si ustad.Oh ya, kenalin; namaku Umar bin Sadekah. Profesiku tukang sapuh tempat belajar salah satu organisasi mahasiswa di Makassar, tapi jangan khawatir lho, biar pekerjaanku sebagai tukang sapuh atau bahasa krennya klining servis, namun kekuatan akalku jauh lebih baik bila dibandingkan dengan teman seprofesiku, soalnya merekakan kerja di mol atau rumah sakit yang mungkin mereka dengar dan lihat adalah model pakaian terbaru atau juga tangisan kehilangan keluarga terhadap kepergian si mayit. Sedangkan saya bergaul bersama kaum intelektual lho, jadi nggak heran kalau saya sedikit cerdas karena sering kali mendengar dan melihat mereka berdiskusi.
Ada juga yang lain ni, biasanya selesai membersihkan dedauan-dedauan putih yang berisi coretan hitam maupun biru, saya biasa ngopi bareng lho ama kaum intelektual itu. emang sih sedikit bingung dengan pola pikir mereka yang cenderung membicarakan Tuhan, Nabi, bahkan akhirat sekalipun. Padahal dulu masa kecilku, ku nggak pernah dengar guru ngajiku menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan tempat tinggal Tuhan, apakah benar Nabi Saw. Suci apa nggak suci, dan apakah akhirat itu benar ada atau cuma dongeng belaka? Pokoknya kubingung banget sama pola pikir anak-anak itu, tapi kusenang soalnya mereka nggak pernah berhantam meskipun yang satu merasa bingung yang lain datang nambahin kebingungannya. Beda ama MUI hanya memperdebatkan persoalan haram dan tidaknya merokok sampai-sampainya berhantam. Saya nggak habis mikir, kalau mereka juga berdebat seperti apa yang didebatkan para mahasiswa di tempat ngopiku itu, kemungkinan besar mereka nggak mau jadi anggota MUI lagi.
Oya tempat ngopiku tepatnya di depan hotel berbintang banyak, tapi enggak usah saya sebutkan namanya ya karena nanti banyak yang cemburu sama aku. Jam ngopiku mulai jam 2 pagi sampai 5 pagi, siapa tau ada yang mau berlangganan juga bisa, ni nomorku 44432 murah ko’ sekali tarik, diskon lagi. He,he.
Ada yang saya lupa, kalau saya masih perjaka lho...umurku masih muda, btw kalo soal tampang ya cukup lumayan bisa diajak pergi keondangan dan satu lagi saya orangnya baik. Kalau bicara pengalaman, saya punya banyak pengalaman “saya pernah menjadi ketua umum ikatan dan kerukunan tukang sapuh se-jagad raya” dan kalau ditanya mengenai pengalaman yang paling berkesan; pengalaman yang paling berkesanku ketika kudikatakan kafir oleh seorang ustad yang rumahnya nggak jauh dari rumahku. Mungkin keseringan duduk ama mahasiswa2 itu sehingga sampai di kampung pola pikirku juga ikutan2 seperti mereka. Awalnya, saya gi ngelamun ketika saya masih bekerja di tempat para mahasiswa itu, kemudian datang seorang ustad bertanya kepadaku; apa kamu uda shalat apa belum? Saking tinggi daya ngelamunku, akhirnya jawaban mahasiswa2 itulah yang kupakai untuk menjawab; ku nggak mau shalat karena dalam shalatku aku pun celaka dan bukankah ketidakshalatanku adalah takdir Allah? “Astagfirullah, kamu telah sesat anak muda dan jangan engkau sebarkan virus kesesatanmu itu kepada orang lain.” jawab ustad itu. itulah pengelaman terindahku, pokok seru banget tuk dimaknai…
Aku kira sudah cukup untuk perkenalannya ya, bagaimana unikkan sejarah hidupku yang hampir sama dengan sejarah orang yang nggak pernah shalat, atau seperti sejarah para pengguna akal yang dikatakan kafir oleh ulama besar islam yakni Ibnu Taimiyyah, “barangsiapa yang menggunakan logika dalam agama, sungguh ia telah kafir.” Karena bagiku antara sesat dengan kafir hampir sama atau orang Makassar bilang, sebelas dua belas ji.. Bedanya aku hidup di abad sekarang sedangkan mereka di abad yang cuma bisa kita kenang sekarang.
Oya, saya mau kasi bocoran sama teman2 yang sangat rahasia bagi penggemar kajian yang pernah belajar logika dan filsafat yang tentunya untuk kalian yang bergelar mahasiswa. Ini sebenarnya sudah menjadi rahasia umum “rahasia umum yang terhormat” tapi jangan disebarkan nah karena nanti akan menjadi rahasia umum yang tidak terhormat. Sabar dulu ya, saya berpikir dulu sebentar karena saya ingat-ingat dulu pengalaman yang terdahulu waktu saya dikatakan sesat oleh ustad, nggak usa kusebutkan namanya soalnya beliau sudah tenang di alam sana.
Pertama yang ingin saya ceritakan, dulu waktu dikatakan sesat orang2 kampung pada menjauh dariku termasuk orang tuaku, karena pikiranku yang sedikit nakal dan sering membingungkan mereka, itu sih menurut mereka. Tapi sekarang uda beda men, saya uda sedikit “shalat”, berpuasa Ramadhan, mengeluarkan zakat, dan bahkan mengimani Tuhan dan Nabi yang sama seperti yang diimani mereka, namun tetap aja mereka katakan saya sesat! Saya jadi bingung dengan “pendakwah agama” sekarang ini, mereka berbicara bahwa “Islam” adalah agama yang membawa rahmatan lil alamin bagi segenap isi alam ini! Namun, saya merasa nggak gitu the, atau mungkin berlaku pada mereka yang sama pahamannya, karena saya rasa uda cukup kemarin saya dikatakan sesat, kenapa hari ini yang nota benenya saya uda sedikit melaksanakan kewajiban Ilahi kok tetap aja dikatain sesat hanya karena berbeda pahaman dalam memahami Islam.

Di jaman wong ngedan sekarang ini, bukan cuman alat dan perlengkapan kehidupan yang ngedan tapi orang kafir juga ngedan-ngedan lho… mengapa saya katakan orang-orang kafir juga ngedan? Kata guru ngajiku dulu, orang sesat itu adalah orang yang ngakunya punya agama, namun ia mentuhankan dirinya sendiri, seperti kisah Syekhsiti Jenar pada sejarah para wali yang menyebarkan agama Islam beberapa abad silam. Karena dia uda di jalan yang salah maka perilakunya sangat jauh bahkan sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai keselamatan. Berbeda sama orang yang dikatakan selamat atau ustad, perbuatannya itu begitu aduhai, bibirnya sering dibasahi kalimat zikir, tutur katanya menyejukkan, tempat kunjungan wisatanya yakni Masjid bukan Losari, dan yang jelasnya dia tu ahli ibadah gitu.
Tapi kalau dipikir-pikir, mungkin benar kata ustadku, tapi itu dulu. Sekarang saya rasa uda nggak seperti yang sang guruku bilang, soalnya si sesat sekarang pada ketawa karena melihat “ustad” (pengajar agama) bingung hadapi pikiran-pikiran mereka. Ya… karena uda nggak seperti yang guru ngajiku bilang, maka dari itu akan kita buktikan makna si sesat dan si ustad.Oh ya, kenalin; namaku Umar bin Sadekah. Profesiku tukang sapuh tempat belajar salah satu organisasi mahasiswa di Makassar, tapi jangan khawatir lho, biar pekerjaanku sebagai tukang sapuh atau bahasa krennya klining servis, namun kekuatan akalku jauh lebih baik bila dibandingkan dengan teman seprofesiku, soalnya merekakan kerja di mol atau rumah sakit yang mungkin mereka dengar dan lihat adalah model pakaian terbaru atau juga tangisan kehilangan keluarga terhadap kepergian si mayit. Sedangkan saya bergaul bersama kaum intelektual lho, jadi nggak heran kalau saya sedikit cerdas karena sering kali mendengar dan melihat mereka berdiskusi.
Ada juga yang lain ni, biasanya selesai membersihkan dedauan-dedauan putih yang berisi coretan hitam maupun biru, saya biasa ngopi bareng lho ama kaum intelektual itu. emang sih sedikit bingung dengan pola pikir mereka yang cenderung membicarakan Tuhan, Nabi, bahkan akhirat sekalipun. Padahal dulu masa kecilku, ku nggak pernah dengar guru ngajiku menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan tempat tinggal Tuhan, apakah benar Nabi Saw. Suci apa nggak suci, dan apakah akhirat itu benar ada atau cuma dongeng belaka? Pokoknya kubingung banget sama pola pikir anak-anak itu, tapi kusenang soalnya mereka nggak pernah berhantam meskipun yang satu merasa bingung yang lain datang nambahin kebingungannya. Beda ama MUI hanya memperdebatkan persoalan haram dan tidaknya merokok sampai-sampainya berhantam. Saya nggak habis mikir, kalau mereka juga berdebat seperti apa yang didebatkan para mahasiswa di tempat ngopiku itu, kemungkinan besar mereka nggak mau jadi anggota MUI lagi.
Oya tempat ngopiku tepatnya di depan hotel berbintang banyak, tapi enggak usah saya sebutkan namanya ya karena nanti banyak yang cemburu sama aku. Jam ngopiku mulai jam 2 pagi sampai 5 pagi, siapa tau ada yang mau berlangganan juga bisa, ni nomorku 44432 murah ko’ sekali tarik, diskon lagi. He,he.
Ada yang saya lupa, kalau saya masih perjaka lho...umurku masih muda, btw kalo soal tampang ya cukup lumayan bisa diajak pergi keondangan dan satu lagi saya orangnya baik. Kalau bicara pengalaman, saya punya banyak pengalaman “saya pernah menjadi ketua umum ikatan dan kerukunan tukang sapuh se-jagad raya” dan kalau ditanya mengenai pengalaman yang paling berkesan; pengalaman yang paling berkesanku ketika kudikatakan kafir oleh seorang ustad yang rumahnya nggak jauh dari rumahku. Mungkin keseringan duduk ama mahasiswa2 itu sehingga sampai di kampung pola pikirku juga ikutan2 seperti mereka. Awalnya, saya gi ngelamun ketika saya masih bekerja di tempat para mahasiswa itu, kemudian datang seorang ustad bertanya kepadaku; apa kamu uda shalat apa belum? Saking tinggi daya ngelamunku, akhirnya jawaban mahasiswa2 itulah yang kupakai untuk menjawab; ku nggak mau shalat karena dalam shalatku aku pun celaka dan bukankah ketidakshalatanku adalah takdir Allah? “Astagfirullah, kamu telah sesat anak muda dan jangan engkau sebarkan virus kesesatanmu itu kepada orang lain.” jawab ustad itu. itulah pengelaman terindahku, pokok seru banget tuk dimaknai…
Aku kira sudah cukup untuk perkenalannya ya, bagaimana unikkan sejarah hidupku yang hampir sama dengan sejarah orang yang nggak pernah shalat, atau seperti sejarah para pengguna akal yang dikatakan kafir oleh ulama besar islam yakni Ibnu Taimiyyah, “barangsiapa yang menggunakan logika dalam agama, sungguh ia telah kafir.” Karena bagiku antara sesat dengan kafir hampir sama atau orang Makassar bilang, sebelas dua belas ji.. Bedanya aku hidup di abad sekarang sedangkan mereka di abad yang cuma bisa kita kenang sekarang.
Oya, saya mau kasi bocoran sama teman2 yang sangat rahasia bagi penggemar kajian yang pernah belajar logika dan filsafat yang tentunya untuk kalian yang bergelar mahasiswa. Ini sebenarnya sudah menjadi rahasia umum “rahasia umum yang terhormat” tapi jangan disebarkan nah karena nanti akan menjadi rahasia umum yang tidak terhormat. Sabar dulu ya, saya berpikir dulu sebentar karena saya ingat-ingat dulu pengalaman yang terdahulu waktu saya dikatakan sesat oleh ustad, nggak usa kusebutkan namanya soalnya beliau sudah tenang di alam sana.
Pertama yang ingin saya ceritakan, dulu waktu dikatakan sesat orang2 kampung pada menjauh dariku termasuk orang tuaku, karena pikiranku yang sedikit nakal dan sering membingungkan mereka, itu sih menurut mereka. Tapi sekarang uda beda men, saya uda sedikit “shalat”, berpuasa Ramadhan, mengeluarkan zakat, dan bahkan mengimani Tuhan dan Nabi yang sama seperti yang diimani mereka, namun tetap aja mereka katakan saya sesat! Saya jadi bingung dengan “pendakwah agama” sekarang ini, mereka berbicara bahwa “Islam” adalah agama yang membawa rahmatan lil alamin bagi segenap isi alam ini! Namun, saya merasa nggak gitu the, atau mungkin berlaku pada mereka yang sama pahamannya, karena saya rasa uda cukup kemarin saya dikatakan sesat, kenapa hari ini yang nota benenya saya uda sedikit melaksanakan kewajiban Ilahi kok tetap aja dikatain sesat hanya karena berbeda pahaman dalam memahami Islam.
Bukankah mereka juga yang mengatakan bahwa perbedaan yang terjadi merupakan bagian dari rahmat Ilahi? Tapi kenapa dan kenapa… pengklaiman sesat itu terasa begitu bersahabat denganku. Apa mungkin saya mesti mengimani tuhan dan nabi yang lain dari mereka, apa mungkin saya mesti membohongi pahamanku? Itulah pertanyaan rasa putus asaku berada dalam naungan “orang-orang pintar Islam” hari ini, namun hal yang membuatku sabar adalah ketika kumeminta mereka untuk mampu menjamin keselamatan atas diriku jika pahaman merekalah yang kuturuti! Subhannalah, indahnya mereka berbohong. Apa kata mereka; persoalan keselamatan itu adalah urusan Allah dan kita cuma bisa berusaha berdasarkan petunjuk al-Qur’an dan sunnah Nabi Saw. Jika begitu adanya, kenapa kalian mengatakan aku sesat? Bukankah pahaman kalian juga masih fifti2 bagi kalian? Siapakah dan atas dasar apa yang menjamin bahwa perbuatan ibadah kalian hari ini sesuai dengan anjuran al-Qur’an melalui Rasulullah Saw? Jika “sahabat” (khulafah khurain sidin) yang menjadi jaminannya, bukankah mereka juga memiliki penafsiran dan pahamannya sendiri2, dan jika “ahli hadis” yang kalian jadikan sandaran keselamatan kalian, bukankah sebagian “ahli hadis” menolak pengklaiman kebenaran hadis tersebut? Jika ulama hari ini yang kalian percaya, bukankah mereka saling bertentangan dalam perkara agama sampai2 persoalan umat yang paling penting seperti kemiskinan tidak diperhatikan? Sekiranya kalian mampu menjamin keselamatanku, tanpa daya dan kekuatan kupasrahkan nasib imanku di atas kecerdasan dan hujah2 kalian.
Jadi harus dibedakan ya… antara si “sesat” dan si “ustad” di model etika Islam hari ini. Ada si “sesat” berperilaku ustad dan ada si “ustad” berperilaku layaknya orang sesat. Karena sekarang si “sesat” dan si “ustad” dibagi dalam dua tipe, ada yang dikatakan “sesat” tapi berperilaku layaknya seorang “ustad” dan ada yang berpenampilan “ustad” tapi perilakunya layaknya “seorang yang tak mengerti agama”.Tentunya si “sesat” yang berperilaku ustad berasal dari rakyat biasa atau orang awam yang tak tega mengklaim orang lain dengan penilaian sesat atau kafir sekalipun, mereka begitu baik dalam menghargai perbedaan dan si “ustad” berperilaku layaknya orang yang tak mengerti agama yakni kaum “alim”, “ahli ibadah” yang sering membicarakan masalah agama serta sering kali pula mengklaim umatnya atau orang lain dengan perkataan sesat maupun kafir, haram maupun halal, dan bid’ah atau bukan bid’ah.
Btw kalau teman-teman kepengen jadi orang sesat maka jadilah orang “sesat” yang berperilaku “ustad” karena makin banyak lho pahala yang didapat, soalnya membicarakan orang lain nyatanya itu nggak benar maka dosanya nambah dan jika benar itukan menambah kebaikan orang yang dibicarakan. Enak dong bicara maupun tidak bicara keselamatan masih menjadi misteri, tapi ketika bicara ia cuma berharap jadi pecinta orang2 yang Ilahi juga mencintai mereka, dan ketika mendengar pengklaiman mereka cuma bertanya; apakah kamu yakin dan mampu menjamin keselamatan atas kesesatan kami dengan keselamatan pahamanmu, itulah prinsip orang sesat yang berperilaku ustad.
Beda dengan si “ustad” yang berperilaku layaknya orang sesat, nggak dapat jaminan apa2 dari nash al-Qur’an maupun hadis Nabi Saw. karena banyak ayat yang melarang untuk tidak saling mengklaim, saling menyakiti, dan bahkan melarang membicarakan keburukan orang lain dengan tujuan untuk mengolok-ngoloknya. Saya rasa ketika kita mengatakan Nabi Saw. adalah manusia paling baik sejagad ini maka mustahil ada sang kajeng Nabi Saw. mengajari kita untuk mengklaim orang lain tanpa dasar keilmiahan atau kebenaran yang bisa kita tunjukkan. Dan yang cukup penting kalau tidak bisa jadi si sesat yang berperilaku ustad, alangkah baiknya engga’ usah jadi apa2 deh.....karna saya berani jamin kalau tidak ada jaminan kesejahteraan dan hukumannya berat2,,,,, perhatian cuma Allah yang bisa mengatakan ini sesat dan tidak sesat, ini yang selamat dan ini tidak, ini haram dan tidak haram, karena sampai hari ini kita belum pernah merasakan nikmatnya keselamatan (surga). Jika memang ingin mengatakan hal tersebut maka carilah dalil dan proses rasionalitanya bukan atas dasar taklid belaka, dan jika teman2 kepengen jadi tuhan2 berikutnya silahkan memperbanyak pengkaliman atas saudara2mu dengan perkataan, “you sesat dan saya selamat.”
Bagaimana asyik-kan jadi si “sesat” berprilaku “ustad”, karna memang dulu waktu saya dijatuhkan pengklaiman orang sesat, saya pernah mengadakan rapat yang dihadiri oleh para penerima hadiah sesat se-jagad raya yang membahas mengenai “kesejahteraan dan kelanggenan dakwah para ustad di masa-masa mendatang” dan rapat itu juga dihadiri oleh orang2 penting loh.. Dan saya sebagai mantan anggota bersyukur karna cita-cita tersebut telah terwujud walaupun sebenarnya diskriminasi terhadap orang yang benar-benar sesat. Mau lihat diskriminasinya dimana ni.....perhatikan dengan baik, kalau si sesat berperilaku ustad jika berbicara didengar oleh orang lain yang tentunya serupa dengan para ustad benaran yang berbicara, mungkin perbedaan model pakaian pendengar. Kalau ustad benaran yang berbicara maka model pakaian islamik (berjubah, baju koko, kopia hitam dan putih) menjadi piwai pertemuan itu, jika si sesat yang berperilaku ustad yang berbicara maka model pakaian macam-macam, ada yang robek2 celananya, baju kaos oblong seharga lima belas ribu rupiah, tanpa hiasan kepala bahkan kondrong2 rambutnya. Tapi yang paling lucu, sebenarnya mereka yang menghakimi para pelanggan pengklaiman sesat “yang selalu berteriak you sesat, kami selamat” mereka juga adalah calon-calon orang sesat benaran”...............dasar si sesat tidak pernah mau mengaku dan menghargai kinerja ustad, malah dengan nada sedikit geram ia meminta “tolong bedakan ko dong…antara si ustad dengan si sesat” sebagaimana adanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar