PENDAHULUAN
Umumnya, ulama mengatakan, ‘’istimbath’’ibnu ‘arabi memang benar bersumber dari kitabullah. Tetapi ada pula yang lain yang mengatakan bahwa ibnu ‘arabi bukanlah bernama ‘’muhyiddin’’ yang bermakna penghidup agama, akan tetapi dia adalah ‘’mahiyuddin’’ yang berarti penghapus agama, dengan dalih, apa yang telah diproduksi dari pemikirannya tidak berasal dari dan mencerminkan diri islam, baik sebagai agama maupun akidah. Mereka menuduh ibnu arabi sebagai orang yang merancukan agama melalui pemikiran filsafatnya yang dikemas dengan label agama. Memang para peneliti pemikiran ibnu arabi sampai detik ini selalu berada pada posisi perbedaan dan perselisihan.
Terlepas dari semua itu, ibnu arabi tetap dinilai sebagai penutup fase salafiyah, dimana karya-karyanya berlangsung sampai enam abad. Dan digelari sebagai ‘’lautan ilmu tasawuf’’ dia membangun ajaran tasawufnya, berdasarkan ajaran alam musyahadah (kesaksian-kesaksian), dan alam tajribah (alam yang telah dialami sendiri). Dia tidak menempu jalan dari bawah ke atas, melainkan sebaliknya dari ats ke bawah, tidak belajar di kolam-kolam berenang, namun langsung terjun kesungai ataupun mungkin di lautan. Dengan percobaan dan pengalamannya tersebut berhasil mengantarkan beliau pada tingkat paling atas atau pada lautan yang terdalam, bahkan dia tenggelam didalamnya. Namun demikian, kita juga perlu melihat dan membaca apa yang telah dialami oleh ibnu arabi secara mendalam tersebut, sehingga tidak dengan mudah mengeluarkan statemen yang tidak benar terhadap pelaku tasawuf dan tasawuf itu sendiri. Ilmu tasawuf merupakan ilmu yang terhormat, bahkan mereka yang terjun mendalaminya menyanjungnya sebagai ilmu kemanusiaan yang bernilai universal dan sebagai substansi islam yang teramat mendalam.ibnu arabi sebagai filosof agungdan sufi yang terhormat telah menganalisis masalah-masalah yang sangan rumit menurut jangkauan pemikiran dan hayalan msnusia umumnya, karena yang ini, akan didapati keindahan-keindahan rahasia yang begitu mengagumkan lagi sangat agung, seakan pikiran kita dibawah secara bertahap, lalu kembali datang dengan wajah baru dalam bentuk yang lebih bercahaya dan universal. Itulah keunggulan metode ibnu arabi dalam menulis dan mengangkat rahasia-ra hasia ilahi, didalam setiap karyanya.
Akhirnya, sungguh sebagai kebanggaan bagi kami, dapat memilih dan mempersembahkan salah satu karyanya dari beberapa karyanya yang monumental ‘’kalimatullah, kitab al-jalalah’’. Hal ini disebabkan beberapa pemikiran antara lain:
Di dalam tulisan ini, kami mencoba mengurai secara jelas tentang; rahasia dibalik lafadz allah, keesaan ilahi dalam lafadz allah, kesaksiaan atas zatnya dan yang ada hanya allah.
Besar harapan kami, semoga allah memberi petunjuk-Nya dan mamfaat melalui karya kecil ini, sehingga kami digolongkan dalam barisan hamba-hamba yang mendafat keridhohan-Nya, baik dalam ucapan maupun dalam perbuatan.sesungguhnya allah adalah zat maha baik dan maaha penyayang. Shalawat dan salam semoga selalu tetap dicurahkan kepada junjungan nabiyullah Muhammad sang kekasih allah.
Analisa itu berada di alam rasa dan ruh, sehingga metode yang dipergunakannya lebih baik memakai simbol dan isyarat dalam menta’birkan apa-apa yang tersurat dalam perasaan jiwanya.
Barangkali, yang demikian itulah penyebab mengapa sulit untuk memahami pemikiran filsafat sufistik ibnu arabi, sehubungan dengan di atas ibnu arabi mencoba menjembatangi dengan dua jalan logika:
1. Mantiq al-aql; mantik akal
2. Mantik al-dzauq; mantik rasa
Tasawuf islam sendiri secara global adalah alam rasa. Oleh karenanya ketika suatu hari, seorang murid ibnu arabi menceritakan kepadanya, “banyak orang yang mengingkari ilmu kita, mereka meminta bukti dan dalil pijakannya’’. Ibnu arabi menjawab: ‘’ jika ada seorang datang dan meminta bukti atau dalil ilmu rahasia tuhan, maka katakanlah kepadanya: apa bukti kalau madu itu manis? Orang tersebut pasti mengatakan kepadamu bahwa hal itu tidak dapat kita ketahui, kecuali dengan mencicipinya, lalu katakan kepadanya; demikian pula ilmu rahasia ketuhanan, yang sama sekali tidak berbeda dengan dunia madu!’’.
Memang betapa indah, apa yang dicapai oleh lisan batin, yang sementara tidak akan tercapai oleh lisan lahir. Maka apabila kita lakukan pendekatan lewat buku SAW, penghujung para nabi dan rasul.
-Sekilas Tentang Ibnu ‘Arabi
Dia adalah abubakar muhammad bin ali, berasal dari kabilah hatim at-tha’I, dan terkenal dengan sebutan ibnu arabi, dengan julukan muhyiddin (penghidup agama), dia adalah barzakhul arifin al-arif billah seorang pakar teologi.
Ibnu arabi dilahirkan di kota murcia; daerah dikawasan laut tengah. Ibnu arabi meninggal pada tahun 638 H. (1165-1240 M), di kota damaskus. Ibnu arabi mempunyai dua orang anak, setelah meninggal, mereka juga dikuburkan di tempat yang sama, sampai sekarang makam itu masih ramai doikunjungi.
Melalui kedzuhudannya, ibnu arabi menempuhnya melalui beberapa fase, sebelum masuk ke alam sufi, yaitu;
1. ibnu arabi menikahi wanita yang taqwa lagi wara’, yakni maryam bin abd bin abdurrahmanal-baji. Segala prilaku dan saran dari istrinya sangat mempengaruhi kezuhudannya.
2. Kekeramatan ayahnya, yang selama hidupnya menyertainya juga telah banyak mempengaruhi kehidupan dan pola pemikiran diri ibnu arabi
3. Jiwa tasawuf paman-pamannya, yang mana ibnu arabi selalu kontak dengan mereka, dan tidak jarang terjadi dialog yang serius, khususnya pada masa-masa mudanya.
4. Serangan sakit yang mendadak pada dirinya, yang pada ujungnya dapat disembuhkan melalui barakah surat yasin, dengan dibaca di atas kepalanya, dengan izin allah beliau sembuh dari penyakitnya.
5. Pertemuan beliau dengan beberapa tokoh sufi dan filosof islam.
6. Disamping itu, ibnu arabi sangat gemar membaca dan diskusi.
Kesemuanya itu, telah banyak membantu dan mempengaruhi pola paradigmatik ibnu arabi, disamping memang kondisi sosial saat itu sangat diwarnai kehidupan sufistik. Kehidupannya yang banyak diisi dengan petualangan, juga banyak andilnya dlm merubah pemikiran dan kepribadiaannya, sehingga ia menjadi seorang yang zahid, sufi sekaligus filosof.
-Rahasia di Balik Lafadz Allah
Sesungguhnya yang kami bahas dalam pasal ini adalah sebagian dari rahasia dan isyarat-isyarat yang terkandung di dalam lafadz al-jalalah. Kata ‘’ALLAH’’. Memiliki posisi zat, yang mempunyai beberapa sifat.setiap nama itu fana dalam zat-Nya, keluar masuk naik turun di dalamnya, dan Itu bagi ahli hakikat merupakan ketergantungan (ta’alluq) bukan ciptaan (takhalluq), yang pada dasarnya menunjukan bukti bahwa hanya pada zatNya saja, bukan untuk yang lainnya.disamping itu, lafadz ‘’allah’’, tampak diberbagai tempat dan tingkatan, yang tidak dibenarkan untuk mempersepsikan hakikat zat-Nya di tempat dan tingkatan tersebut. Lafadz yang berada di tempat dan tingkatan itu, adalah pemberi makna, seperti yang terkandung di dalam tiap-tiap nama dari asmaul husna, seka;ipun pada akhirnya lafdzul jalalah, berperan sebagai peliput dari semua asmaul husna, lafadz al-jalalah suci dari keterbatasan dan ghaib. Sedangkan sesuatu di alam material ini lemah. Pada waktu harakah dhammah dibaca di atas lafadz. Dengan harakat dhammah itu, tampak kata al-huwa di dalam lafadz, dan itu disebut dengan ghaib mujarrad maksudnya ghaib di dalam lafadz(bunyi). Sedangkan gaib dalam tulisan dan bilangan disebut dengan gaib mutlak. Penting untuk diKetahui bahwa, lafdz al-jalalah itu mengandung enam huruf, yaitu
1. Alif pertama
2. Lam permulaan, gaib diidgamkan
3. Lam permulaan, alam as-Syahadah dan diucapkan dengan tasydid
4. Huruf ha’ al-huwiyah
Sedangkan empat huruf sebagai ‘’ tanda ‘’di dalam lafadz adalah:
1. Alif kekuasaan
2. Lam awal as-Syahadah
3. Alif zat
4. Ha’ dari al-huwiyah
Ada satu huruf dari huruf-huruf di atas, yang tidak tampak, baik a yang dirasakan hari ini masih gaib di mata akal, dan yang masuk akal hri ini adalah hal-hal yang tampak.
Dari lafadz maupun pada nomor, akan tetapi terdapat indikasinya, yaitu huruf wau di dalam kata adapun huruf wau dari al-huwa jelas terdapat di dalam lafadz, dan huruf wau al-huwiyah terdapat dalam nomor saja secara singkat, makna huruf lam di dalam kata adalah (yaitu alam antara), yakni alam barzakh dan itu dapat dikenal dengan akal. Adapun makna huruf ha’ adalah alam gaib, dan huruf wau untuk alam syahadah, dan itu terbaca, sekalipun tidak tampak baik di dalam lafadz maupun urutan, dan huruf wau ini disebut dengan (yaitu disebut dengan gaib di dalam gaib). Atas dasar pengetahuan ini, dapat dibenarkan bahwa perasaan lebih utama dari pada akal. Karena apa yang dirasakan untuk konteks hari masih bersifat gaib di mata akal, dan yang masuk akal hari ini adalah hal-hal yang tampak. Lebih-lebih dengan keadaan alam akhirat nanti, dimana kekuasaan saat itu berada di tangan allah, dan kondisi yang ada nantinya lebih dapat dirukyat atau diketahui lewat perasaan. Penglihatan-penglihatan waktu itu mampu melihat kepada-Nya, akan tetapi rukyat perasaan adalah puncak dari pada pandangan tersebut, sedangkan yang menjadi milik akal hanyalah awal dari penglihatan.seandainya tanpa adanya puncak yang menjadi tujuan orang, dia tidak akan melihat awalnya. Dengan demikian, perhatikanlah rahasia ini bahwa, akhirat lebih baik dari pada dunia,seperti yang difirmankan oleh Allah:
‘’kamu menghendaki harta benda duniawiyah, sedangkan allah menghendaki (pahala) akhirat”. (Q.S. Al-anfal: 67)
‘’sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal”.(Q.S.al-a’la: 17)
Sifat akhirat adalah kekekalan, sebaliknya sifat dunia adalah fana’,tentu saja yang bersifat kekal itu lebih baik dari yang fana’. Ketahuilah bahwa mengenal allah merupakan awal dari ilmu pengetahuan, yang akan berpuncak kepada hakikat.
-Keesaan Ilahi dalam Lafadz Allah
Huruf lam pertama didalam lafadz Allah, adalah huruf al-muarraf(yang dikenal). Dan huruf at-ta’rif(penghususan). Sedangkan huruf alif yang pertama adalah bermakna Allah, dan tidak sesuatu bersamanya setelah itu, tinggal huruf lam kedua dan huruf ha.
Bila pembahasan diatas dilihat dari urutan nomor, maka huruf lam kedua adalah berarti adalah al-malik (raja). Maka dengan hilangnya huruf alif dan huruf lam pertama, yang tinggal adalah:”gambaran dirinya”, dan berupa lam al-malik sebagai lam kedua. Sedangkan huruf ha khinayah dari
Bila huruf ha dilihat dari artikulasi huruf, merupakan huruf yang dalam dan gaib dalam diri manusia, dan kegaiban huruf itu adalah yang paling jauh. Isyarat ini mengandung makna bahwa, Allah tidak memiliki sekutu. Keesaan Allah merupakan wujud akan isyarat huruf alif, dan huruf lam pertama sebagai simbol ma’rifat. Maka lam kedua memberi isyarat sebagai maqam malik.
Dengan adanya ide ma’rifat ini, lahir dan keluarlah wujud-wujud selainnya. Huruf ha mengandung isyarat alam dan huruf itu gaib, dan gaib itu adalah hanya bagi seluruh alam selainnya, sehingga mereka kemudian mengatakan bahwa allah itu zat yang gaib, dan itu adalah huwa.( ) . maka dengan huruf alif dia menyebut zatnya.
Ketika huruf wau gaib yang terdapat di dalam huruf ha, jika ia diucapkan dengan ha maka keduanya bermakna ruh, bila huruf ha itu dibaca berarti as-sakinah,yaitu diam atau tenang sebagai mana diamnya kehidupan bukan diam dari kematian.
-Kesaksian Atas zat-Nya
Hukum dari setiap nama, sesuai dengan khususannya di alam ini, yang kekhususan itu sendiri hanya merupakan tambahan bagi alam, atas dasar bahwa allah sudah menjadipusat dan penguasa.hukum dimaksud adalah sebuah kebingungan, yang berada dan terjadi di atas segala sesuatu, pada waktu sesuatu itu ingin diketahuidan disaksikan kehadiran uluhiyah adalah satu perbuatan dan itu adlah satu kesaksian yang hanya disaksikan oleh selainnya. Maka dari itu, setiap orang yang membicarakan alam kesaksian, sungguh tidak akan mengetahui(dengan sempurna), dia hnya akan menghayal, dan itu berarti dia berada pada posisi salah.dengan kesaksian yang demikian yaitu kesaksian ‘’hadhrah al-ilahiyyah al-fi’liyyah’’, mereka umumnya mengesahkan hal ini, sampai-sampai dikalangan para rasionalis dan kelompok ahli khiyas. Mereka berkhayal bahwa ma’rifat tentang dia itu lebih dahulu daripada ma’rifah tentang diri kita. Sebenarnya semua itu salah sebab mereka mengenl zat allah atau(uluhiyyah) dari sisi pembagian akal dimana mereka mengatakan segala yang wujud ini terbagi dua bagian, yaitu: bagian yang memiliki awal dan bagian yang tidak memiliki awal. Pendekatan mereka ini memang tidak salah, tetapi mereka tidak membedakan antara zat tuhan sebagai tuhan sebelum didahului pengenalan mereka tentang hakikat diri mereka, dan tuhan sebagai zat yang dikenal dengan benar disamping sebagai tuhan. Pembicaraan ini mengenai masalah uluhiyyah, bukan mengenai zat yang bersifat qadim saja yang mustahil baginya sifat ‘’ tidak ada ‘’.maka bagi mereka yang berpendapat salah seperti pernyataan di atas tentu tidak akan menempatkan uluhiyyah, yang biasa disebut allah kecuali setelah mereka mengetahui zat-Nya. Padahal syara’ mengatakan dan mengajarkan terlebih dahulu untuk mengetahui tentang ar-rububiyah, seperti yang disebutkan oleh rasulullah saw.; ‘’ man ‘arafah nafsahu faqad arafah rabbahu’’, dimana beliau tidak bersabda yang sebaliknya, ‘’ man arafa rabbahu faqad arafa nafsahu’’. Jika sifat ar-rububiyyah dilihat sebagai zat yang dekat dengan kita, maka ilmu kita tidak akan mengenalnya, kecuali dengan mengenal diri kita lebih dahulu, lantas dimanakah letak anda dan dimanakah letak uluhiyyah?.
Sebenarnya maqam ilahi telah dijelaskan oleh syara’, yaitu khadirnya merupakan ‘’kebingungan’’, seperti yang telah disabdakan oleh rasulullah saw, pada waktu belia ditannya: ‘’dimanakah tuhan berada sebelum diciptakannya langit dan bumi?’’. Rasulullah saw. Menjawab: ‘’Dia berada di al-ama’, baik itu dekat (qashr) ataupun jauh (mudd), diatasnya adalah udara dan di bawahnya juga udara. Sungguh pernyataan di atas merupakan pernyataan yang meniadakan, dimana kata qashr mengandung makna kebingungan, yang setelah itu digunakanpada namna allah. Oleh sebab itu, bashirah-bashirah dan mata hati menjadi kebingungan untuk mengenalnya’ sekalipun melewati berbagai penjuru wawasan. Karena dia tidak dibatasi oleh kata-kata ‘’dimana’’.
Sedangkan kata al-mudd, bisanya digunakan untuk arti ‘’awam’’, yakni udara yang mengandung zat air, yang mengandung muatan kehidupan, dari itu juga asal kehidupan. Dia dengan Zat-Nya tidak disebutkan dengan kata ‘’dimana’’, melainkan hanya disebutkan kepada-Nya ‘’wujud barzakh’’, yang ada di antara langit dan bumi. Di dalam barzakh-barzakh itu, sungguh manusia mengalami kebingungan.
Bagaimana dengan orang yang dalam kondisi kebingungan?. Mereka seperti melihat garis diantara bayangan dan matahari. Dengan demikian, pada dasarnya barzakh merupakan posisi kebingungan dan yang ada di dalamnya hanyalah kebingungan itu sendiri atas dasar ini, bagi setiap orang yang mendapatkan sesuatu di alam al-barzakh, dituntut danya kemampuan beradaptasi, dan tidak merasa asing di dalamnya. Ketika itu, bahwa engkau mengatakan bahwa dia yang ada, itu adalah allah, maka dia memang allah dan sebaliknya jika engkau mengatakan bahwa dia itu bukan allah memang dia bukan allah. Itulah sebuah kebingungan yang benar-benar membingungkan.
-Yang Ada Hanya Dia
Para ulama al-muhaqqiqun sepakat, allah tidak akan menampakkan diri pada seseorang dalam satu bentuk gambaran dengan dua kali kesaksian, dan tidak satu gambaran bagi dua orang, hal ini merupakan fleksibilitas.
Abu Thalib berkata:” sesuatu tidak sama dengan sesuatu”, tidak akan dilihat, kecuali oleh “sesuatu yang tidak sama dengan sesuatu” itu sendiri. Sebab, yang melihat adalah hakikat yang dilihat. Allah berfirman : “laisa kamistlihi syai-un” (Q.S. 42:1)
Seandainya ada seseorang yang mengatakan “laisa kamitslihi syai-un (tidak ada sesuatu seperti dia), maka sesuatu itu adalah dia. Jika huruf kaf yang berarti penyerupaan merupakan sifat atau hanya sekedar tambahan, maka bagaimana dengan sifat, maka abu thalib tidak akan mengatakan ungkapannya itu. Atau seandainya itu bukan merupakan sifat, maka dia bukanlah al-huwa(allah). Padahal “sesuatu” itu adalh al-huwa dan al-huwa adalah al-huwa, maka tidak ada huwa(yang lain) kecuali huwa.
Itulah allah, dia adalah al-huwa seperti yang kami telah kemukakan di depan. Betapa allah telah banyak mengajarkan rasulullah tentang al-maqamat(tingkatan-tingkatan), lalu berapa banyak allah telah membuka tabir rahasia kepadanya.
Berbeda halnya dengan akal, yang fungsinya terkait dengan alam gaib(cepat mengatakan sesuatu yang tidak dilihatnya sebagai yang giab). Sedangkan bagi al-barri ( allah) tidak ada sesuatu yang gaib baginya. Semua yang ada baginya merupakan alam as- syahadah, maka tepat sekali penggunaan kata al- bashar bukan al- aqlu.