Pembicaraan mengenai pendidikan dan peradaban sangat erat kaitannya. Peradaban haruslah dipahami sebagai keadaan kebudayaan. Secara sederhana, peradaban dapat diartikan sebagai keadaan kebudayaan dari suatu kelompok sosial yang menggambarkan tingkat dalam pencapaian tertentu dalam bidang-bidang kesenian, industri, ilmu pengetahuan, pemerintahan, moral dan wawasan pemikiran. Suatu tingkat pencapaian kebudayaan, tidak bisa tidak, pasti memerlukan suatu usaha, sarana atau sebuah proses. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa usaha atau ikhtiar, sarana dan proses tersebut adalah belajar. Edward T. Hall menegaskan bahwa Culture is learned behavior (Edward T. Hill, 1973: 38) Karena kebudayaan dipahami sebagai suatu yang dipelajari dan proses kuncinya adalah belajar, kemudian meneruskan apa yang dipelajari dan mengubahnya, maka dengan sendirinya hal tersebut melahirkan makna tentang adanya unsur pendidikan. Kemungkinan ini, karena pendidikan biasanya diartikan sebagai seperangkat proses penyebab belajar, yang tugasnya di masyarakat mencakup empat hal, yaitu : (1) meneruskan kebudayaan, (2) membantu individu memilih peranan sosial dan mengajari untuk melakukan peranan itu, (3) mengintegrasikan identitas individu dan subkultur ke dalam lingkup kebudayaan yang lebih luas, (4) menjadi sumber inovasi sosial dan kebudayaan.( Abdullah Fadjar , 1991: 3). Jika diteliti lebih jauh ternyata potensi-potensi dasar manusia dan budaya saling berinteraksi satu sama lain. Manusia mempunyai potensi dasar sebagai potensi yang melengkapi manusia untuk tegaknya peradaban dan kebudayaan Islam.Namun hal tersebut tidak dapat terjadi tanpa adanya proses pendidikan. Dengan demikian, Drikarya mengemukakan beberapa tugas pendidikan sebagai berikut : a. Membantu anak didik pada tarap humanisasi, yaitu menunjukkan anak didik pada perkembangan yang lebih tinggi melalui kebudayaan. b.Membantu anak didik pada tarap hominisasi, yaitu menjadikan manusia dari tarap potensial ke tarap maksimal yang dapat memberi arti hidup sebanyak-banyaknya. c. Pemanusiaan manusia ke tarap manusia paripurna. d. Pembudayaan manusia ke tarap berdikari. e. Internalisasi nilai-nilai yang disepakati (Abu Ahmadi, Nur Uhbiaty, 1991;70) Berdasarkan pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa tugas pendidikan adalah mempertinggi kecerdasan dan kemampuan dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi beserta manfaat dan aplikasinya, dan dapat meningkatkan kualitas hidup dengan memelihara, mengembangkan serta meningkatkan budaya dan lingkungan serta memperluas pandangan hidup sebagai manusia yang komunikatif terhadap keluarga, masyarakat, bangsa dan sesama manusia. Dengan demikian, keterjalinan hubungan fungsional antara pendidikan dan peradaban atau kebudayaan menunjuk pada dua arah pokok. Pertama, bersifat reflektif, dan Kedua, bersifat progressif. Arah yang bersifat reflektif artinya bahwa pendidikan menggambarkan corak dan arus kebudayaan yang sedang berlangsung. Ini sejalan dengan tugas pendidikan untuk meneruskan dan mentransmikan kebudayaan. Bersifat progressif dimaksudkan bahwa pendidikan memperbaharui dan mengembangkan kebudayaan agar kemajuan dapat tercapai. Ini sejalan dengan tugas pendidikan untuk mengubah atau mentransformasikan kebudayaan. Hampir menjadi semacam kesepakatan umum, bahwa peradaban masa depan adalah peradaban yang dalam banyak hal didominasi oleh ilmu pengetahuan (khususnya sains), yang pada tingkat praksis dan penerapan menjadi teknologi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa maju atau mundurnya suatu masyarakat di masa kini dan masa yang akan datang sangat bergantung pada tingkat penguasaan ilmu dan kemajuan sains khususnya. Oleh karena itu, tugas pendidikan Islam selanjutnya adalah mewariskan nilai-nilai budaya Islami dalam berbagai aspek kehidupan, karena kebudayaan Islam akan mati bila nilai-nilai dan norma-norma Islam tidak berfungsi dan belum diwariskan kepada generasi muslim berikutnya. Kenyataan menunjukkan bahwa keberadaan paradaban dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari lahirnya Islam itu sendiri. Islam lahir dengan membawa sejuta peradaban dan kebudayaan masyarakat, yang kalau diukur jarak waktu yang dipakai dalam tonggak-tonggak sejarah, Islam telah berhasil mencapainya hanya dalam tempo yang sekejap saja. Keberhasilan ini dapat diperoleh karena Islam memiliki kemampuan untuk memelihara prinsip dan identitasnya, dan pada saat yang sama, keberhasilan ini membuka kesempatan untuk menampilkan berbagai corak masyarakat yang masing-masing berdiri di atas prinsip dan identitas itu. Sejarah telah mencatat bahwa perkembangan budaya dan peradaban Islam telah mencapai kejayaannya pada masa khalifah Abbasiah di dunia Islam Timur yang berpusat di Bagdad, dan masa kekhalifahan Amawiyah di dunia Islam Barat dengan pusatnya di Cordova (Andalusia). Pada masa kejayaannya ini, kebudayaan dan peradaban Islam telah berkembang menjadi kebudayaan dan peradaban yang sangat tinggi, yang merupakan puncak budaya dan peradaban umat manusia pada masa itu. Hal ini bukan saja mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi kaum muslimin, tetapi juga membawa kemakmuran dan kesejhteraan hidup umat manusia pada umumnya. Namun puncak peradaban dan kebudayaan yang telah dicapai oleh umat Islam tidak dapat bertahan lama, bahkan kenyataan tersebut nampaknya telah menjadi hukum sejarah, bahwa kebudayaan suatu bangsa mengalami proses tumbuh dan berkembang secara dinamis menuju puncak kejayaannya, setelah itu mengalami proses kemandegan dan kemunduran. Demikian yang dialami oleh umat Islam, bahkan kenyataan tersebut telah berbalik menjadi kepahitan yang dirasakan oleh seluruh umat Islam. M. Syarif melukiskan beberapa penyebab terjadinya kemandegan dan kemunduran kebudayan dan peradaban Islam tersebut, sebagai berikut : a. Telah berkelebihan filsafat Islam yang bercorak sufistik yang dibawa oleh al-Gazali di dunia Islam Timur, dan filsafat Islam Ibn Rusd yang bercorak rasionalistik di dunia Islam Barat. b. Al-Gazali telah berhasil dan sukses di dunia Timur hingga gagasan-gagasannya merupakan suatu aliran terpenting. c. Ibn Rusyd berhasil pula di dunia Islam Barat hingga pikiran-pikirannya menjadi terpenting pula di alam pikiran Barat (M. Syarif: 1970: 141) Di samping ketiga hal ini, umat Islam, terutama kalangan pemerintah (Khalifah, Sultan, Amir-Amir) melalaikan ilmu pengetahuan dan kebudayaan dan tidak memberi kesempatan untuk berkembang. Kalau pada mulanya para pemegang pemerintahan sangat memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dengan memberikan penghargaan yang tinggi kepada para ilmuan, maka pada masa melemahnya kehidupan dan budaya umat Islam ini para ilmuan umumnya terlibat dalam urusan pemerintahan sehingga melupakan pengembangan ilmu pengetahuan. Terjadi pemberontakan-pemberontakan yang dibarengi dengan serangan dari luar, sehingga menimbulkan kehancuran-kehancuran yang mengakibatkan terhentinya kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di dunia Islam. Sementara itu obor pemikiran Islam berpindah ke tangan kaum Nasrani. Fazlur Rahman menjelaskan tentang gejala-gejala kemunduran intlektualisme Islam sebagai berikut : “Penutupan pintu ijtihad selama abad ke 10 dan 11 Merupakan telah membawa kepada kemacetan ilmu hukum dan ilmu intelektual, khususnya yang pertama. Ilmu-ilmu intelektual yakni teologi dan pemikiran keagamaan sangat mengalami kemunduran dan menjadi miskin karena pengucilan mereka yang disengaja dari intektualisme sekuler dan karena dan karena kemunduran yang disebut terakhir ini, khususnya filsafat dan juga pengucilannya dari bentuk-bentu pemikiran keagamaan seperti yang dibawa oleh sufisme”( Fazlur Rahman,, 1984: 270).
Cari Blog Ini
Jumat, 08 Februari 2013
Pendidikan Islam Dan Peradaban Modern
Rabu, 02 Januari 2013
“Al-Lubâb: Tafsir Ringkas tentang Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari al-Qur’an” — M. Quraish Shihab
AL-LUBÂB bisa diartikan sebagai substansi (jika dikaitkan dengan wujud) atau isi dan saripati (jika dikaitkan dengan buah). Di samping merangkum pengertian “pilihan terbaik dari segala sesuatu”, kata ini juga digunakan untuk melukiskan akal yang cerdas, pikiran yang jernih, serta hati yang tenang. Buku ini berjudul AL-LUBÂB karena menyajikan bentuk penafsiran yang ringkas dan padat.
Apakah Rasulullah Saw bermuka masam ketika melihat seorang fakir di antara para orang kaya?
Empat ayat pendahuluan surah ‘Abasa secara umum merupakan penjelas bahwa Allah Swt tengah menegur dan menyalahkan seseorang pada ayat-ayat ini; berdasarkan kronologi ayat ini, di sini orang atau orang-orang kaya dan hartawan lebih memiliki prioritas atas seorang buta yang mencari kebenaran, namun siapakah orang yang tengah dicela dan ditegur pada ayat ini? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli tafsir. Yang popular di kalangan ahli tafsir (mufassir) Ahlusunnah dan Syiah adalah bahwa sebagian pemuka Quraisy seperti Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal, Abbas bin Abdul Muthhalib dan sekelompok orang lainnya datang kepada Rasulullah Saw. Ketika itu, Rasulullah Saw tengah sibuk bertabligh dan menyeru mereka kepada Islam serta berharap semoga seruan-seruan ini tertanam dan membekas pada hati-hati mereka. Saat itulah, Abdullah bin Ummi Maktum yang merupakan seorang buta (tuna netra) dan fakir memasuki majelis Rasulullah Saw. Ia meminta supaya Rasulullah Saw membacakan dan mengajarkan ayat-ayat al-Quran kepadanya. Abdullah bin Ummi Maktum berkukuh mengulang permintaannya dan tidak bersikap tenang; karena ia tidak mengetahui bahwa dengan siapa gerangan Rasulullah Saw berbicara. Sedemikian Abdullah bin Ummi Maktum memotong pembicaraan Rasulullah Saw sehingga membuat beliau kecewa kepadanya dan kekecewaan ini terlihat pada raut wajah Rasulullah Saw. Beliau kemudian membelakangi Abdullah bin Ummi Maktum dan melanjutkan pembicaraannya dengan para pemuka Quraisy.
[1]. Silahkan lihat, Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 26, hal. 123-124, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1374 S. [2]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, Tafsir al-Mizân, Terjemahan Persia oleh Sayid Muhammad Baqir Musawi Hamadani, jil. 20, hal. 330, Daftar Intisyarat Islami ,Qum, Cetakan Kelima, 1374 S. [3]. Silahkan lihat, Tafsir Nemune, jil. 26, hal. 125. [4]. “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Qs. Al-Qalam [68]:4) [5]. Terjemahan Persia Tafsir al-Mizân, jil. 20, hal. 331-332. [6]. Tafsir Nemune, jil. 26, hal. 125-126.